DELAPAN - MAHESA

96 6 0
                                    

Suara itu terucap parau

Tentang aku dan kau

Tidak seharusnya kata itu terucap

Jika saja kau tidak membuatku lenyap

Hai, Malam

Aku mendendam

Mengapa kau mampu menghilang

Justru aku yang mengenang

Aku gila, Aku murka!

Untukmu yang menjauh seketika

Dan dendam yang kucipta

Semoga bukan karenanya..

Sudah terlalu lama aku patah hati. Dan hari ini aku ikatkan ikrar pada diriku sendiri untuk tak lagi mengingat Biru. Dan aku sudah terlalu cukup untuk mencari tahu dimana keberadaan Biru.

Biru menghilang, dan malam itu kali terakhir aku bertemu dengan Biru. Aku sudahi semua hingga titik ini, titik dimana aku sudah mulai jenuh dengan perasaanku sendiri.

Jika kamu tak ingin patah hati maka jangan sesekali kamu terbuai oleh lelaki, karena lelaki mempunyai segudang alasan untuk dicintai bahkan dibenci pada saat kamu patah hati.

TIGA BULAN KEMUDIAN Aku mencoba untuk menyibukkan diri sendiri. Sudah terlalu lama aku tersungkur bahkan tertatih hanya sekedar untuk berjalan. Sudah cukup, aku tak ingin kembali terluka juga tak ingin membuat hatiku nestapa. Biar dia pergi dengan caranya sendiri dan biar aku bangkit dengan caraku sendiri.

Aku masih benci hujan dan malam hari, tak ingin semua itu terjadi, terkadang aku pulang hingga larut malam. Maya terkadang membingungkan apa yang sedang aku perbuat, karena dia tahu bahwa pekerjaanku tidak mengharuskan aku pulang bahkan lembur hingga tengah malam. Bukan,bukan itu. Aku hanya ingin membuat diriku lelah lantas tidur cepat tanpa memikirkan apapun. Dan itu menurutku berhasil.

"Gue pulang duluan Na" Maya menepuk pundakku lembut. Aku menyuruhnya untuk pulang karena aku berhasil menangkap Maya menguap beberapa kali.

Aku mengangguk, jariku masih menari diatas keyboard ketika Maya berlalu dengan rekan kerja yang lainnya. Malam itu, tak banyak karyawan yang memilih lembur, hanya beberapa yang bertahan mengejar dateline , salah satunya Risma, Perempuan yang berada di jajaran meja Maya.

Beberapa kali terdengar sumpah-serapah yang keluar dari mulut Risma, mengutuk komputer yang ada didepannya. Padahal jelas-jelas komputer miliknya itu tergolong baru, begitulah ketika karyawan yang sudah benar-benar lelah dengan pekerjaan yang diberikan atasannya lebih memilih untuk mencaci maki komputer didepannya dibanding mengeluh pada atasannya atas pekerjaannya yang tak kunjung selesai.

Ketika Risma sibuk dengan komputernya, pandanganku tertuju pada seorang lelaki yang sedang mencari-cari sesuatu di laci pantry. Ruangan pantry berada di depan barisan mejaku, jadi sangat jelas kalau ada orang yang keluar-masuk pantry. Aku memerhatikan dengan saksama, lelaki itu masih mondar-mandir seperti mencari sesuatu.

Dibelakang Risma memasang pandangan terganggu dan nyaris berdiri. Aku kemudian mengambil alih, tahu aku berdiri Risma tersenyum lalu kembai mencaci maki komputernya. Aku berjalan menghampiri lelaki itu. Mungkin dia anak baru, batinku. Karena aku tahu bahwa selain office boy karyawan lama pun akan tahu tata letak barang yang ada didalam pantry.

"Permisi,mas maaf sedang mencari apa ya?"

Si lelaki itu terdiam lalu mencari sumber suara, dia membalikkan tubuhnya, dan alangkah terkejutnya aku ketika tahu bahwa lelaki yang sedang aku tegur adalah CEO dari perusahaanku, Mahesa.

"...Eh,maaf pak saya tidak bermaksud___"

"Oke, its oke. Saya hanya sedang mencari kopi. Kebetulan di pantry lantai atas kosong, kamu tahu dimana?"

MAHESA RANGGA ADITYA adalah seorang CEO di perusahaanku. Mahesa sebenarnya hanya terpaut usia yang tak beda jauh denganku, kita berdua hanya terpaut tiga tahun. Mahesa sempat menjadi perbincangan hangat karena wajahnya yang rupawan juga dengan karisma nya yang menawan. Mahesa menjadi trending topic para karyawati, khusunya Maya.

Maya sangat tergila-gila dengan Mahesa. Setiap hari, disetiap jam istirahat. Maya selalu membahas tentang Mahesa. Ah anak itu.

" ...Permisi..mbak?" Mahesa mengibaskan tangannya, membuyarkan lamunanku tentangnya.

"Oh, iya maaf.. maaf Pak"

Aku membuka laci biasa mang Diman menyimpan kopi sachet , teh celup dan sereal. Namun malam itu aku tidak menemukannya. Tidak seperti biasanya mang Diman lupa buat nyetok kopi.

"Biasanya sih disimpan di sini Pak, tapi stock nya kosong Pak"

Mahesa didepannku mengangguk.

"Okelah gak apa-apa" Mahesa berlalu dengan cangkir kosong berwarna biru muda ditangannya

"Oh iya. Kamu lembur?" Mahesa membalikkan tubuhnya . matanya lurus terarah menatapku yang berada dibelakangnya.

" Iya Pak" singkatku

"Nama kamu Kanaya, Bukan?"

Aku mengangguk dan dia mengangguk memastikan bahwa dia tidak salah orang.

Dari mana dia tahu namaku? Ketemu juga ga pernah

***

Jam 23.00 aku berkemas untuk pulang, membereskan ini-itu untuk kemudian aku lanjutkan esok hari. Risma sudah pulang terlebih dahulu dengan mulut yang masih ngoceh, kali ini Risma mengoceh kepada lawan bicara di ponselnya. Dan mungkin itu pacarnya.

Setelah mematikan komputer aku berjalan menuju lift, aku melemaskan peregangan kepalaku. Memutar ke arah kanan dan kiri, merefleksikan kepenatan pekerjaan.

Ketika aku berada di dalam lift dan pintu lift nyaris tertutup, seorang lelaki berlari menuju lift. Dan dia adalah Mahesa, buru-buru aku menahan laju lift dan akhirnya dia masuk dan kita berdua di dalam lift. Aku dan Mahesa saling diam ketika lift bergerak turun. Senyap. Hingga pintu lift terbuka, mengundang karyawan yang berada di lantai bawah untuk masuk lift. Wajah kusam terlihat jelas dari beberapa karyawan. Sama seperti aku, sudah tidak karuan.

Aku berjalan dalam temaram malam. Aku lebih memilih untuk berjalan kaki karena aku ingin menghirup udara malam. Jakarta masih ramai, lalu-lalang kendaraan masih berseliweran walau tidak seramai siang hari. Dari arah belakang sebuah mobil berwarna hitam mengkilat mensejajarkan diri denganku. Kaca mobil dibuka, terkejutnya aku bahwa didalam mobil itu adalah Mahesa.

"Mau bareng?" katanya

"Nggak. Makasih Pak"

"Kamu ke Jalan Marthadinata kan? Kita ke arah yang sama. Naik"

Aku menurut, rasanya tidak enak hati jika aku menolak ajakan atasanku. Kita saling diam, dari sudut mataku aku melihat jelas bahwa Mahesa sesekali memperhatikanku. Yang aku lakukan hanya terpaku pada dashbord mobil berwarna biru tua, ada perasaan campur aduk dalam hatiku. Ingin rasanya aku cepat-cepat sampai, bukan apa-apa. Rasanya canggung jika aku terlalu dekat dengan Mahesa.

To Be a Continued...

RUANG LUKA (END)Where stories live. Discover now