DUA BELAS - DEAR BIMBANG

45 2 0
                                    

Aku menarik diri dari keramaian

Penat seperti tersengat

Aku menelusuri hati sendiri

Seberkas sapaan halus masih tersirat

Pengganggu ulung hadir tiba-tiba

Kau mampu merasuk dan merusak

Bukan salah dirinya, karena aku juga mau

Lonceng berbunyi bersahutan tak setuju

Raja istana murka, marah dan menggila

Lalu aku masuk kembali

Dan membiarkan pengganggu itu ada

Diantara bingkai harapan yang kubuat sendiri

Aku berjalan ditengah kesendirian, segala kemungkinan yang terjadi harus aku jawab hari ini. Aku memikirkan tentang perasaan tak bernama bahkan tak ku kenali. Perasaan yang tengah diberikan oleh seseorang. Seseorang itu menungguku, menunggu segala kesimpulan tentang perasaan yang ada dalam diriku untuknya, agar dirinya tidak lelah-lelah membuang waktu yang kusebut pengorbanan, aku tak mau dirinya kecewa atas bimbang yang kupunya. Aku belum menyukainya namun aku tidak ingin menyakitinya. Karena hal tersulit dalam ruang rasa adalah memberikan sebenar-benarnya pembenaran tanpa menyakiti lalu membuat dirinya patah tak berkesudahan.

Hari ini aku putuskan untuk bertemu Mahesa. Aku ingin membicarakan tentang jawaban yang ada dalam diriku, aku tidak ingin Mahesa menunggu terlalu lama pun demikian denganku yang tak ingin berlama-lama mengasuh perasaan yang ku tak punya. Pagi ini aku mendatanginya di ruangan kerjanya. Mahesa tidak ada diruangan, menurut sekretarisnya, Mahesa sedang dalam perjalanan ke Solo untuk menghadiri sebuah acara. Dan lagi aku harus menyimpan jawaban ini untuk waktu yang tepat untuk segalanya lebih siap.

Malamnya Mahesa menelponku, menanyakan kabarku dan berlanjut pada pembicaraan-pembicaraan tentang hatiku. Aku mengutarakan maksudku hari ini, maksud memberikan jawaban tentang apa yang Mahesa tunggu. Mahesa tak ingin membicarakannya di telepon dan aku setuju,karena bertemu secara langsung akan lebih baik akan jauh lebih paham. Mahesa akan kembali ke Jakarta esok hari setelah urusan di Solo selesai. Aku mengakhiri perbincangan dengan Mahesa dengan saling melempar kata selamat malam.

Suara pintu rumahku diketuk beberapa kali, aku menuruni tangga lalu membuka pintu rumahku. Darren.

"Hai Nay. Nay sorry banget ganggu waktunya, but do you have a coffee?"

Aku menghabiskan malam dengan dua cangkir kopi bersama Darren di belakang rumahku, melumatkan kisah masing-masing hingga malam melarut. Darren membicarakan pasiennya yang akhir-akhir ini memburuk, Darren menceritakan tentang kemauan yang sangat kuat pasiennya untuk bertahan hidup namun satu-satunya cara agar dia kembali pulih adalah dengan mendapatkan pendonor hati, dan itu membuat Darren benar-benar kalut. Darren beberapa kali melepaskan nafasnya, mengorganisir kekalutan agar reda sejenak walau rasa kalut masih tersirat dari wajahnya.

"How about Mahesa?"

Entah apa yang ada dalam pikiran Darren menanyakan tentang Mahesa. Namun tak ada salahnya jika aku menceritakan tentang Mahesa karena aku ingin tahu bagaimana jawaban dari sudut pandang seorang lelaki. Aku menceritakan tentang apa yang aku alami, tentang perasaan yang tak pernah hadir namun dipaksa untuk hadir.

RUANG LUKA (END)Where stories live. Discover now