BAB 3: Penyakit Kepala Suku

153 31 0
                                    

Reislynn mungkin tak mengharapkan semua ini terjadi, tapi karena ia tidak bisa mengubah takdir, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa ia lakukan saat ini hanya pasrah dan menguatkan hati. Apapun yang terjadi, ia harus memastikan agar janjinya untuk membawa Alistair ke dunia manusia terlaksana. Dan dengan berada di perkampungan suku Brebeux, ia sudah melakukan setengah dari janjinya.

Reislynn bisa merasakan banyak sekali tatapan yang menancap di punggungnya saat ia mengikuti lelaki itu entah menuju kemana. Tapi sepertinya, seperti yang Reislynn katakan, mereka akan menemui kepala suku.

Para anggota suku Brebeux yang kebetulan mengetahui kedatangannya (Reislynn yakin kalau semua orang yang ada disana sudah mengetahui kalau dia datang) mengintipnya dari balik jendela rumah mereka, memberinya pandangan mencela, seolah dia adalah kotoran yang mengotori lantai rumah mereka. Mereka semua lalu berbisik-bisik dengan tatapan mereka yang menilai, mulai bergumam dalam kata-kata kasar yang sayangnya tidak Reislynn dengar.

Jujur, Reislynn terganggu dengan tatapan mereka semua, tapi ia putuskan untuk tidak terlalu peduli dan melanjutkan perjalanannya. Lagipula ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun, jadi untuk apa mempermasalahkannya? Ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan saat ini.

Dari dekat perbatasan, mereka berjalan terus ketengah-tengah desa. Orang-orang tidak berhenti mengintip Reislynn dari balik jendela rumah mereka, memberinya tatapan menghina seolah Reislynn adalah binatang paling menjijikan yang pernah mereka lihat. Reislynn sayangnya sudah berhasil menghalau tatapan-tatapan itu, dan ia tidak peduli lagi.

Sudah tentu mereka mengetahui maksud kedatangannya kemari. Ya, ingin menggunakan portal. Sudah menjadi tradisi bagi mereka untuk melayani para Perampas itu dan meminjami mereka satu-satunya harta mereka yang tersisa. Portal. Ya, benda itu adalah peninggalan leluhur mereka yang tidak akan mereka berikan kepada siapapun. Bahkan jika para Perampas-sebutan mereka untuk para penyihir-mengancam mereka dengan tongkat dan membunuh mereka semua, mereka tidak akan menyerahkannya begitu saja.

Reislynn yang tidak tahu apa-apa, mengikuti langkah tergesa dari lelaki tua itu dengan wajah yang ia buat senetral mungkin. Bisikan-bisikan masih terdengar di setiap langkahnya, dan Reislynn mengintip lewat sudut matanya. Para anggota suku yang sudah sepuh dan memiliki tato di seluruh tubuhnya, merekalah yang mengintip dan berbisik-bisik kepada anak dan cucu mereka, memberikan gambaran tentang betapa mengerikannya para penyihir dan apa yang mereka lakukan terhadap kaum mereka di masa lalu.

Mereka sampai di depan bangunan besar yang dindingnya terbuat dari kayu dan beratap ilalang. Jendela-jendela yang memiliki tirai-tirai dari kulit binatang yang lusuh bergerak-gerak dalam tiupan angin. Terlihat cahaya oranye dari dalam bangunan itu, menandakan ada orang yang berada di dalamnya. Pun dengan asap kelabu yang muncul dari cerobong asap, membumbung ke atas dan menghilang dalam hembusan angin.

"Disinilah tempatnya," kata lelaki tua tanpa berbalik, memandang lurus bangunan besar di depannya. Ia berjalan mendekati pintu kayu dan mengetuknya beberapa kali. Terdengar seruan dari dalam, diikuti dengan suara langkah kaki tergesa.

Pintu berderit terbuka saat seorang wanita membukanya sedikit. Ia mengintip dari lubang pintu untuk melihat siapa yang datang. Ia terlihat cemas, dan dari dalam bangunan itu Reislynn mendengar suara merintih seseorang yang sedang kesakitan.

"Ada apa, Zarek?" kata wanita itu kepada lelaki tua. Ia masih berdiri di depan pintu yang terbuka sedikit, seolah tak memperbolehkan seseorang untuk masuk ke dalam.

Lelaki yang akhirnya Reislynn ketahui bernama Zarek itu mendekatkan wajahnya dan berbisik-bisik kepada si wanita. Segera saja perhatiannya tertuju pada Reislynn yang berdiri di belakang Zarek.

Seperti yang Reislynn perkirakan, wanita itu memberinya pandangan mencela tanpa sebab, seperti kebanyakan orang di sana. Reislynn menggigit pipi dalamnya, menahan keinginan untuk berteriak dan bertanya apa yang salah dengan dirinya, dan mengapa mereka semua terlihat begitu membencinya. Dia tidak suka dengan tatapan mereka semua, walaupun ia bersusah-payah untuk menahan hasrat untuk mengamuk.

The Kingdom of AleasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang