BAB 28: Tongkat dan Pedang

43 5 2
                                    

Redwald tak tahu mengapa Profesor Gisbert ingin ia mendatangi ruangannya, jadi saat dia berdiri mengetuk pintu itu, Redd merasa lututnya lemas. Apalagi dengan berpasang-pasang mata yang menatapnya dengan penasaran, yang Redwald harap dia bisa menghalau tatapan-tatapan itu.

Untungnya pintu mengayun terbuka di hadapannya, dan Redwald, yang tak tahu apa-apa namun ingin segera lepas dari tatapan anak-anak di ruang-bersama, menyambut ajakan Profesor Gisbert untuk masuk.

Ruangan itu berdinding putih dengan banyak rak berisi buku serta pajangan, serta lukisan-lukisan dari para pendahulu asrama itu. Beberapa obor dan kandelar tergantung pada dinding, memberikan ruangan itu penerangan temaram. Sebuah meja yang dikelilingi oleh sofa terlihat di tengah ruangan, dengan dua cangkir berisi cairan merah dan senampan kue kering. Profesor Gisbert yang duduk di salah satu sofa mempersilahkan Redwald untuk duduk di hadapannya.

Begitu Redwald mengangguk dan mendudukkan diri, Profesor Gisbert memberinya secangkir minuman.

"Aku sudah mendengar apa yang terjadi di ruang kelas Mantra hari ini," kata Profesor Gisbert memulai percakapan, dan Redd tiba-tiba merasa perutnya melilit. Apa dia akan diberi detensi? "Aku ingin tahu mengapa kau terus menutup diri."

Redwald menggeleng—dengan diam-diam merasa lega karena nampaknya Profesor Gisbert tidak akan menghukumnya—membuat Profesor Gisbert menghela nafas.

"Aku tahu kau tidak nyaman dengan semua orang, yang bisa dibilang tak menyukaimu."

Mereka memang tak menyukaiku, batin Redwald. Dia mengerling, dan melihat para lukisan sedang mendengarkan obrolannya dengan Profesor Gisbert.

"Bisakah kau membuka tudung jubahmu?" pinta Profesor Gisbert lembut. "Aku juga ingin melihat wajahmu, jadi bisakah kau mengangkat kepalamu?"

Redwald mengangguk kecil dan dengan canggung menurunkan tudung jubahnya, tapi masih ragu untuk mendongak. Tanpa sesuatu menutup kepalanya, Redwald merasa aneh, seolah dia telanjang. Langsung saja dia merasa mulas dan gugup. Redwald ingin muntah.

"Redwald," kata Profesor Gisbert, dan Redwald, yang terkejut karena namanya disebut, mengangkat kepalanya. Profesor Gisbert tersenyum. "Nah, begini lebih baik."

Redwald tak pernah memperhatikan wajah Profesor Gisbert sebelumnya. Dia selalu sibuk menghindar dan menjauh, sampai tidak mengingat bagaimana wajah pria di hadapannya. Redwald harus mengakui bahwa wajah Profesor Gisbert mungkin saja tampan saat dia masih muda, tapi sekarang ... Redwald tak bisa menjelaskannya.

Keriput-keriput itu, begitu banyak, begitu tidak normal, hingga Redd sendiri tidak yakin itu alami karena penuaan. Lebih seperti sesuatu yang berasal dari kutukan. Akan tetapi, harus Redwald akui bahwa dibalik wajahnya yang tidak normal, Profesor Gisbert memiliki sifat seperti seorang ayah.

"Kau mirip dengan ayahmu, kalau boleh jujur," kata Profesor Gisbert sambil tersenyum, dan Redwald merapatkan bibirnya. Rahangnya mengeras. Dia tidak suka jika seseorang membicarakan ayahnya, terutama ayah yang 'itu'. Dia masih tidak yakin harus menganggap Griswold Climph sebagai ayahnya, sementara orang itu tak pernah ia lihat seumur hidupnya. Redwald lebih suka menyebutnya pria tak bertanggung jawab daripada seorang ayah.

Ayah macam apa yang membuat putranya menanggung malu dan hinaan dari banyak orang karena perbuatannya?

Redwald hanya memiliki satu ayah. Ervegil. Seorang pria yang memberinya lebih banyak kasih sayang daripada yang bisa ia terima, yang berkorban begitu banyak agar dia bisa berada di tempat ini sekarang. Seorang pria yang memberikan segala hal yang ia miliki untuk membuat Redwald merasa diterima, yang memberinya figur seorang ayah, yang mengajarinya cara membaca dan menulis, dan satu-satunya pria yang tidak pernah menatapnya seolah Redwald adalah sebuah kesalahan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 24, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Kingdom of AleasWhere stories live. Discover now