BAB 9: Penyusup Tampan di Jendela

122 30 1
                                    

Alan tak memiliki penyangkalan apapun. Setelah bibinya menjelaskan semuanya kepadanya tentang apa yang terjadi, ia merasa tak ada haknya lagi untuk berada di dalam rumah itu. Mungkin ini yang dimaksud Bibi Margareth dengan 'sesuatu yang terjadi'.

Dengan perasaan kesal dan terkhianati, Alan memindahkan semua pakaian dan barang-barangnya ke dalam koper, dan beberapa barang ke dalam kardus. Beruntung ia dibiarkan untuk mengambil benda-benda itu, karena kebanyakan ia beli sendiri dengan uang tabungannya. Jumlahnya tidak seberapa, karena Alan tidak suka kamarnya penuh dengan barang-barang tak berguna. Hanya ada sekoper pakaian, dan sebuah kardus berisi barang-barang elektronik dan sepatu-sepatunya. Hanya ada 3 pasang sepatu.

Ia mengepak semua barang-barangnya itu dengan tergesa, menghiraukan tatapan bibinya yang menunggu sambil bersedekap di ambang pintu. Tatapannya mengarah kepada Alan, seolah menjaganya jika saja ia mencoba memasukkan ranjangnya ke dalam koper. Alan mencoba untuk tidak mendengus.

Sambil menahan gejolak di dadanya yang membuatnya ingin membanting sesuatu, Alan mengangkat barang-barangnya dan memindahkannya ke trotoar di depan rumah, yang saat ini bukan lagi rumahnya. Sulit dipercaya ia telah diusir dari tempat ia tumbuh selama hampir seumur hidupnya, setidaknya setelah ia diangkat menjadi anak.

Alan berjalan melewati ruang tamu untuk membawa barang terakhirnya, dan ia melihat, dengan begitu jelas bahwa pamannya dengan sembunyi-sembunyi telah memberikan pengacara tadi sebuah amplop. Bahkan Alan tak perlu bertanya untuk mengetahui apa itu. Sebenarnya ia sudah curiga begitu mendengar kalau ia tidak mendapat apa-apa dari Charles dan Amelia, tetapi ia merelakan itu semua. Biar saja paman dan bibinya mengambil apa yang seharusnya menjadi haknya. Toh, ia cuma anak angkat, dan bisa dibilang kalau ia hanya menumpang di tempat ini. Kematian orangtua yang telah mengangkatnya bisa dibilang sebagai akhir dari hidupnya di rumah ini. Sekarang, ia harus berpikir untuk tinggal di mana mulai sekarang.

Begitu membuka pintu depan, Alan dikejutkan dengan munculnya Bibi Margareth. Ia sepertinya hanya kembali ke rumahnya untuk berganti pakaian, dan saat ini ia berdiri di depan pintu seolah sudah mengetahui kalau Alan sudah diusir. Tanpa mengatakan apa-apa, ia menarik lengan Alan dan membawanya menuju mobilnya yang sudah terparkir di depan rumah. Barang-barang Alan yang ia letakkan di trotoar telah berpindah ke bagasi, dan Bibi Margareth membantu Alan menaikkan kopernya ke dalam bagasi dan lalu menutupnya.

"Mulai sekarang, kau akan tinggal bersama bibi," kata bibi Margareth, dan ia menarik lengan Alan dan memintanya untuk duduk di kursi penumpang. "Duduklah dulu, dan bibi akan kembali sebentar lagi."

Tanpa membiarkan Alan mengatakan apapun, bibi Margareth menutup pintu dan berjalan menuju 'bekas' rumah Alan, dan masuk ke dalamnya. Alan tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan di dalam sana, tetapi Bibi Margareth keluar dari rumah itu 5 menit kemudian, dan wajahnya menunjukkan perasaan puas seolah dia berhasil melakukan sesuatu di dalam rumah itu. Dari wajahnya, Alan mengetahui kalau itu bukanlah hal yang buruk.

Bunyi pintu berdebum membuat Alan tersentak kembali ke dunia nyata, setelah ia melamun selama beberapa saat.

Mobil melaju, meninggalkan rumah itu di belakang. Alan menatapi bangunan kelabu itu dari kaca spion, entah mengapa ia merasa rindu. Mungkin karena ia tinggal di sana selama seumur hidupnya, dan sekarang ia harus meninggalkan tempat itu setelah mengetahui bahwa ia bukanlah anak kandung dari orangtua yang mengadopsinya.

Alan melamun lagi, mengabaikan Bibi Margareth yang sedari tadi terus mencoba untuk mengajaknya bicara. Saat ini, Alan sedang berpikir, jika ia bukan anak kandung dari Charles dan Amelia, maka siapa orangtua kandungnya? Apa mereka masih hidup? Apa mereka merindukannya? Memikirkannya membuat Alan meringis. Jika merasa memang akan merindukannya, maka mereka tidak akan membuangnya. Mereka akan merawatnya sampai saat ini, dan bukannya meninggalkannya di depan pintu rumah seseorang, menunggu pemilik rumah itu untuk menemukannya. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasa kecewa pada mereka. Ia kecewa karena tidak diberikan kesempatan untuk mengetahui siapa orangtuanya yang sebenarnya. Ia bahkan tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Mungkin pernah, saat ia masih kecil. Ia selalu bertanya-tanya, mengapa ia tidak mirip dengan kedua orangtuanya. Rambutnya dan matanya yang hitam sama sekali tidak menurun dari orangtuanya; ayahnya memiliki rambut pirang dan mata hijau, sedangkan ibunya memiliki rambut dan mata berwarna coklat. Mungkin sekarang ia mengerti kenapa; ia bukan anak dari mereka. Ia harus menerima kenyataan ini mulai sekarang.

The Kingdom of AleasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang