BAB 8: Anak yang Diinginkan dan Tidak Diinginkan

111 22 2
                                    

Begitu Alan sampai di rumahnya, ia terhenyak mendapati banyak sekali orang di sana. Ia berpikir, dan bingung mengapa tetangga-tetangganya berkumpul di sana, seolah ada sesuatu yang terjadi dan ia tidak tahu. Mungkinkah sesuatu memang terjadi? Tapi apa? Jika benar ada hal yang terjadi, pasti ia akan mendapat kabar.

Mereka semua terlihat murung dan beberapa diantaranya terlihat seperti telah menangis. Kesedihan ada dimana-mana, dan Alan yang tak mengerti kenapa hanya bisa mengerutkan keningnya dengan ekspresi ingin tahu yang besar. Tak biasanya seperti ini. Ada hal aneh, dan ia tidak mengetahuinya.

Alan melewati sejumlah tetangganya yang menatapnya dengan prihatin, seolah-olah Alan telah divonis kanker stadium akhir. Berbagai macam kata tak jelas mereka dengungkan, dan Alan semakin tak mengerti. Ia berjalan terus menuju ruang tamu tanpa memedulikan tatapan para tetangganya itu, dan mencoba untuk tidak memikirkan hal-hal buruk. Memangnya apa yang bisa terjadi?

Saat akhirnya ia sampai di ruang tamu dengan menggendong ranselnya di pundak, Alan bisa melihat beberapa orang sanak-saudara yang biasanya menatapnya seperti parasit. Mereka semua duduk dengan gelisah di sofa, semuanya menunduk dengan kepala terkulai seolah sedang menunggu putusan hakim. Ia ingin bertanya, tetapi semua suaranya berhenti sebelum ia sempat mengucapkannya. Bahkan disaat seperti ini pun mereka masih terlihat sinis padanya, sesuatu yang tak pernah ia ketahui mengapa.

Seorang pamannya, yang Alan tak ketahui namanya menatapnya seolah dia adalah seorang yang tidak diharapkan, dan Alan menunduk untuk menghindari tatapannya. Tatapannya memaku pada lantai seolah berharap keramik-keramik itu akan menelannya. Ia tak pernah suka tatapan pamannya itu, seolah dia bersalah atas sesuatu yang buruk, yang ia lakukan di masa lalu. Ia tidak tahu, dan sudah lelah bertanya, tapi tak seorangpun yang sepertinya ingin untuk memberitahunya.

Sebuah pemikiran melintas di kepalanya, sesuatu seperti mengapa mereka tiba-tiba berada di sana. Biasanya mereka berkunjung hanya saat Natal, dan itu pun tidak setiap tahun. Hanya pada saat ada acara tertentu mereka bertemu, dan itupun dilalui tanpa ada percakapan. Mereka bertingkah seolah Alan akan menelan mereka hidup-hidup jika mengajaknya berbicara, atau paling tidak, mengubah mereka menjadi tikus. Alan pernah mendengar mereka membicarakan hal aneh tentang ia yang mengubah sebuah cangkir teh menjadi seekor tikus saat masih kecil. Saat itu Alan hanya menggeleng-geleng atas pembicaraan mereka begitu tak masuk akal. Mungkin saja tikus itu menaiki meja dan menyenggol cangkir itu, sehingga orang-orang berpikiran bahwa Alan—yang tidak juga mengerti mengapa ia yang menjadi tersangka—yang merubah cangkir itu menjadi tikus.

Alan takut untuk bertanya, takut mereka akan mencacinya atau menghakiminya atas hal yang tidak ia ketahui. Ia sudah benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi hingga rasanya kepalanya akan meledak karena begitu banyak pertanyaan di dalam kepalanya. Punggungnya tiba-tiba mendingin dan ada butir-butir keringat yang muncul dari dahinya. Ia bingung dengan semua hal ini dan ia kesal karena tak seorangpun yang ingin memberitahunya mengapa mereka semua bertingkah aneh.

Biasanya Alan sangat peka terhadap sesuatu, tetapi untuk saat ini, ia tidak memiliki satupun petunjuk. Ia merasa seolah-olah kemampuannya untuk berpikir telah hilang. Seandainya ia bisa membaca pikiran, ia tidak perlu berharap seperti orang idiot, berharap seseorang akan memberinya informasi yang saat ini dibutuhkannya. Ayolah, siapapun!

Menunggu mereka berbicara padanya, hanya akan membuatnya berdiri di sana selama waktu yang diperlukan untuk membangun sebuah apartemen. Alan memutuskan untuk pergi ke kamarnya dan berganti baju, mungkin berdiam disana sampai seseorang menyadari kalau ia ada di sana. Di belakangnya, ia bisa mendengar salah satu bibinya yang menyebutnya anak tidak tau diri atau semacamnya. Alan sakit hati, tentu saja. Tapi karena ia sudah terlalu sering mendengar itu saat mereka berkunjung, terlebih jika tidak ada orangtuanya disana, maka ia hanya menganggapnya angin lalu. Biarkan perkataan mereka itu seperti seekor lalat.

The Kingdom of AleasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang