1. Permintaan Aneh Bapak

10 2 0
                                    

Hai, Jack. Apa kabar?
Ternyata, cukup lama aku tidak membuka dan menulis di lembaran putihmu ini. Maaf, ya! Biasanya kamu selalu ada di ransel lusuhku dan menemani perjalanan hidup ini.
Baiklah, Jack. Aku ingin bercerita tentang kegundahanku beberapa waktu lalu. Kamu tahu apa yang terjadi? Aku sibuk sekali. Rasanya kepala ini mau pecah, untung saja aku masih punya kewarasan.

Sebal!

Andai aku bisa terbang ke langit biru, terus terjun ke sungai yang dingin dan dalam. Pasti ikan-ikan di sana kaget, lalu menggigit kepala dan tubuhku. Mungkin, dengan begitu amarah di dada bisa terburai.

Ini gara-gara Bapak. Bapak kandung yang wajahnya mirip denganku. Ya, gara-gara lelaki sepuh yang selalu disiplin dan memegang teguh aturan hidup itu. Aneh deh, apa sih, maunya beliau? Aku sudah jadi anak baik selama ini, tetapi katanya aku belum jadi laki-laki sejati.

Memangnya lelaki sejati versi Bapak itu seperti apa? Katanya pula, aku belum punya sesuatu yang bisa dibanggakan buat masa depan. Terus, usaha aku selama ini apa? Nyari kerja ke sana kemari tanpa minta bantuan orang dalam. Bah, Bapak memang tidak punya hati nurani!

Kamu tahu akhirnya bagaimana?
Bapak meminta aku jadi TUKANG SOL SEPATU! Kuulang lagi, TUKANG SOL SEPATU. Puas?

Gila! Masa aku harus terjun ke dunia persepatuan dan tetek bengeknya juga, sih? Jangan mentang-mentang kehidupan keluarga kami ditopang dari pekerjaan yang berhubungan dengan alas kaki manusia, Bapak seenaknya menyuruhku meneruskannya. Aku ingin berbeda dari yang lain! Namun ... Bapak maunya aku, bukan adik-adik.

Bapak berkata, "Aryo,kalau mau sayang keluarga, kamu harus bisa nerusin usaha Bapak, coba dulu jadi tukang sol sepatu. Bapak lihat kamu mampu."

Duh, Bapak, apa harus seperti itu? Seharusnya Bapak tanya dulu. Begitu 'kan aturannya, Jack? Aku mau minta bantuan Ibu supaya bicara sama Bapak, tapi perempuan lembut nan bijaksana itu cuma mengangguk dan mendukung niat Bapak. Lho, ada apa ini? Tidak biasanya beliau begitu. Ibu selalu bertanya dulu dan mendiskusikannya denganku. Kenapa Ibu ada di barisan Bapak kali ini? Ibu acapkali membelaku. Apa ini sebuah hukuman?

Sumpah! Aku tidak pernah punya pikiran ke arah sana. Dulu, berharap apa yang aku lakukan untuk masa depan tidak lagi berhubungan dengan dunia persepatuan. Apalagi jadi tukang reparasi sepatu rusak. Namun, Bapak tidak bisa dibantah. Sulit berargumentasi karena alasanku tidak kuat. Akhirnya, aku harus ikuti aturannya.

Dear Jack,
Aku memang santai selama ini. Sadar sekali. Usia 25 sudah bikin apa? Sudah bisa apa? Sudah jadi apa? Sudahkah memanfaatkan waktu yang diberikan Tuhan selama ini? Nah, ini yang belum bisa aku jawab dengan tepat sewaktu Bapak menanyakan semuanya.

Aku katanya terlalu egois, punya dunia sendiri tanpa memikirkan orang lain dan orang-orang yang menyayangi. Kata Bapak pula, kalau aku terlalu banyak mimpi tanpa mau berusaha mewujudkannya, ibarat mobil tanpa roda. Seperti khayalan yang menggantung di langit biru, tanpa berniat terbang untuk menggapainya. Seperti orang miskin yang ingin kaya raya, tetapi tidak mau berikhtiar dan menjalani segala rintangan.

Bah, aku pusing dengar petuah Bapak. Terlalu panjang. Mau kulawan dengan kata-kata yang sudah disiapkan di otak, tetapi Ibu menatapku dengan pandangan pengharapan.

Sumpah, Jack!
Aku paling tidak kuat melihat itu. Takut mengecewakannya. Padahal bibir ini ingin mengeluarkan pendapat di depan Bapak dan mengatakan jika aku bukan anak kecil yang selalu diatur. Aku bebas menentukan apa yang menjadi pilihan hidup, termasuk masa depan.

Jack,
Sehari setelah keputusan Bapak agar aku segera ke Bandung untuk belajar dengan Mang Kurnia, Ibu datang ke kamar ini. Seperti biasa, beliau bercerita banyak, segala hal. Tentang aku si pemberani dan usil sewaktu kecil. Mata Ibu berbinar dan bibirnya selalu tersenyum kala mengingat kenangan itu. Ah, Ibu, aku tidak bisa menyakiti hatinya.

Kamu tahu apa yang dikatakan Ibu? "Aryo anak ibu, ikuti kemauan Bapak ya, Nak! Tunjukkan kalau Aryo mampu dan bisa. Usaha keluarga kita harus ada penerusnya supaya kehidupan tetap berjalan. Demi masa depan. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Aryo juga udah selesai sekolahnya. Sudah lama main-mainnya. Andai saja kamu sudah memiliki usaha sendiri, tentu Bapak tidak akan menyuruh Aryo seperti ini. Kamu anak laki-laki, punya tanggung jawab besar pada keluarga."

Duh, Jack,
Aku hanya bisa terdiam dan mengangguk, tidak ada alasan lain. Baiklah, Pak! Demi Ibu, aku akan menuruti kemauanmu. Demi keluarga kita agar tetap bertahan hidup. Namun, jika aku tidak berhasil sesuai keinginan Bapak, jangan salahkan aku suatu saat nanti. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri.

Selama dua bulan itulah aku fokus di Bandung, Jack. Tidak ada waktu buat cerita apa pun. Aku tidak hanya belajar menjahit manual, tetapi juga keluar masuk pabrik dan toko mencari bahan kulit dan mempelajari banyak hal. Lumayan juga. Beruntung, Mang Kurnia sabar membimbingku, ilmunya diturunkan semua. Kini aku sudah selesai dan kembali ke Jakarta.

Dear Jack,
Kupikir selesai sudah tugasku. Setelah itu, aku pasti ditempatkan Bapak di salah satu tempat mangkal yang dimilikinya. Bapak punya sepuluh cabang usaha. Aku memprediksikan akan mendapat tempat terbaik dengan pelanggan terbanyak. Dari situ, gampanglah aku merekrut orang kampung untuk membantu mengerjakan pekerjaan supaya bisa berleha-leha sebentar dengan teman-teman dan kekasihku, Mala.

Dengan segudang rencana, aku pikir semua mudah dilakukan. Namun nyatanya, aku harus mendapat lagi tantangan. Ujian yang bikin aku mati kutu dan pastinya berat. Bapak benar-benar keterlaluan padaku. Apalagi, sih, maunya Bapak?

Bayangkan aku yang ganteng begini, menurut orang mirip Hyun Bin, diwajibkan berkeliling keluar masuk kampung dengan berjalan kaki untuk mencari orang yang membutuhkan tukang sol sepatu. Selama satu bulan. Tak hanya itu, aku harus tinggal sendiri di kosan. Untuk makan sehari-hari uangnya dari hasil kerja mengesol sepatu. Oh my God!

Dear Jack,
Apakah aku bisa dan harus melakukan hal itu? Permintaan Bapak memang aneh. Aku tak habis pikir, tetapi Ibu kembali menguatkan. Dengan mata berlinang beliau mengatakan jika aku bisa dan mampu melewati semuanya.

"Aryo anak ibu, sejak dari kandungan, Aryo kuat dan selalu bisa melewati semua rintangan. Ibu bangga, Nak. Kamu adalah pemenang. Pemenang tidak pernah terjatuh hanya karena satu tembakan, dia butuh banyak tembakan supaya bisa berlari kencang menuju titik tujuan."

Baiklah, aku siap jalani semuanya. Hari ini aku akan segera pindahan dan membawa barang-barang ke kosan. Tidak banyak yang dibawa, hanya beberapa pasang baju, alat-alat sol sepatu, alquran dari Ibu, dan kamu tentunya.

JEJAK LANGKAH SI TUKANG SOL SEPATUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang