3. Cumbuan Jakarta

3 0 0
                                    


Hallo, Jack,
Jika kemarin aku mendapatkan pengalaman pertama mencari pelanggan di daerah Galur, sekarang aku ingin bercerita tentang hari kedua. Ternyata, mencari uang dengan kondisi serba terbatas dan kekurangan itu memang sangat sulit. Segalanya harus diperjuangkan dengan keras demi kelangsungan hidup.

Tadi pagi, kuputuskan melangkah ke kawasan Senen. Cukup berjalan kaki ke Sentiong, menyusuri Kramat Raya dan Kwitang, akhirnya tiba di tempat tujuan. Sebagian orang menyebut kawasan ini dengan sebutan Planet Senen. Lucu, ya, kenapa bisa dinamai itu? Ada yang bilang, sebutan itu erat kaitannya dengan Senen sebagai daerah hitam kala itu.

Hmm ... kadang aku sering berpikir, Jack. Seperti apa, sih, Senen dulu. Sampai terkenal seperti itu. Planet Senen itu meliputi Pasar Senen, Stasiun Senen, Gelanggang Remaja Senen, dan Bioskop Grand. Semua masih ada sampai sekarang, kecuali bioskop Grand.

Jack,
Sayang sekali, bioskop Grand hanya kenangan dan menyisakan jejak nyata sebagai gedung tua terbengkalai, tidak berfungsi lagi.  Bahkan sempat terbakar beberapa tahun silam, meskipun bangunan kokohnya masih berdiri angkuh di  Simpang Lima Senen. Jack, asal kamu tahu, bioskop itu sudah ada sejak zaman Belanda, sekitar tahun 1920-an. Wow! Warisan Kolonial. Menyedihkan memang. Terkadang, kemajuan zaman mempengaruhi kondisi bisnis juga, sih.

Menurut berita yang pernah kubaca, sekitar tahun 1950-an, bioskop ini identik dengan citra negatif. Memang, sih, Senen saat itu kesannya kumuh, banyak maling dan copet, serta tumbuh prostitusi terselubung. Pokoknya, Senen dulu ibarat titik hitam yang merusak citra Jakarta sebagai ibukota negara. Bersyukur, pada era sekarang, kesan itu sudah hilang. Aku melihat kawasan Senen saat ini merupakan tempat bersih, rapi, dan cukup aman.

Kamu tahu 'kan, Jack. Dulu aku sering diajak Ibu belanja di Pasar Senen. Pusat perdagangan legendaris. Namun, sejak masuk sekolah dan Bapak memindahkanku ke Bandung ikut Nini dan Aki, aku tidak pernah menginjak daerah itu lagi sampai selesai SMA. Nah, baru beberapa tahun ini kembali ke Jakarta. Namun, aku jarang melewati tempat ini karena Bapak memboyong keluarga pindah dari Pulogadung ke Jakarta Selatan.

Pukul sembilan pagi tadi, aku sudah di Stasiun Senen. Sesampainya di sana, kucari toilet umum. Sejak semalam aku bocor. Perut sakit sekali. Untungnya, aku segera minum obat. Entah itu karena kebanyakan makan sambal sewaktu pulang dari Galur, atau karena roti dari anak kecil itu. Duh, Jack. Kenapa aku jadi suuzan begini, ya?

Jack,
Kulihat banyak sekali orang di Stasiun Senen. Saat itu, aku merasa tempat yang kudatangi membawa rezeki. Kembali doa kulangitkan, semoga ada orang yang sepatu atau sandalnya rusak dan mereka diarahkan Tuhan menuju tempat dudukku yang tidak jauh dari peron.

Topi rimba kupasang agak menutupi wajah, supaya paras mirip Hyun Bin-ku tidak terlalu menarik perhatian. Jack, terus terang, aku takut ada teman atau siapa pun yang mengenalilku, termasuk Mala, kaget dengan kondisiku saat itu. Aku belum siap untuk menjelaskannya.

Jack,
Tiga puluh menit aku duduk di samping mobil hitam metalik. Kurasa mobil itu milik orang kaya. Ah, bosan rasanya saat itu. Kuputuskan membeli sebotol minuman dari pedagang asongan.

Ahai, Jack, ada seseorang datang. Kupikir dia orang pertama yang butuh pelayananku. Seorang bapak tua gemuk mendekat. Di belakangnya, perempuan berhijab membuntuti sambil menyeret koper. Kurasa mereka suami istri. Bapak itu kemudian duduk di sebelahku. Sang istri mengambil tempat di sampingnya.

Aku berharap mereka melepaskan sandal yang dipakainya seraya memintaku menjahit karena putus talinya atau apalah. Namun, apa yang kuharapkan tidak terjadi apa-apa. Hmm ... mereka hanya duduk saja.

Sekilas, aku tidak melihat hal aneh atau mencurigakan dari keduanya. Kudengar keduanya berbincang dengan suara pelan. Lebih mirip berbisik. Saat itu aku lebih memilih memandang ke depan, melihat orang-orang berlalu lalang. Hingga akhirnya, meski samar, terdengar isakan. Duh, Jack .... ibu itu menangis. Air matanya tumpah ruah, mengalir deras membasahi sela-sela jari tangan yang ditutupkan ke wajahnya.

"Ibu ndak nyangka, Pak. Didit tega sekali sama kita. Dia berani meninggalkan Gusti Allah. Menantu kita juga samanya. Kurang suka kalau Ibu nasehatin. Jakarta udah bikin Didit lupa asal-usulnya. Gusti Allah ndak tidur, ya, Pak. Ibu lebih tenang tinggal sama si Siti, anak kita yang hidup sederhana di kampung."

Saat itu, aku tidak bisa berkata apa-apa, Jack. Aku ingat Ibu. Mungkinkah Ibu pernah mengadukan kelakuanku kepada Bapak sambil menangis seperti ibu tadi? Jack, hatiku terasa seperti disayat-sayat. Sumpah, tidak tega rasanya.

Kulihat dari sudut mata, bapak itu membelai punggung istrinya dengan lembut. Beberapa kalimat penghibur diucapkan pelan seraya tangan yang satunya menghapus tangisan si ibu. Aku terpaku sambil mengusap air mata yang diam-diam tergenang di pelupuk. Aku tidak tahu, permasalahan apa dalam keluarga mereka. Namun, sedikit aku bisa menyimpulkan jika anaknya melakukan hal yang tidak berkenan di hati orang tua itu.

Jack, tiba-tiba ibu itu terbatuk-batuk. Aku yang ikut larut dengan suasana waktu itu, refleks mengambil air mineral yang tadi kubeli  Bapak itu memandangku sesaat, dan berterima kasih setelah kukatakan jika air itu masih baru dan buat minum istrinya. Setelah memberi minuman, bapak tua itu mengajakku berbicara. Kulihat istrinya menyeka air mata dengan sapu tangan.

"Nak, sedikit banyak tadi kamu pasti denger omongan kami, ya. Enggak kenapa, memang istri saya ini lagi sedih. Putra kami yang paling dibanggakan karena udah sukses di Jakarta, ternyata melakukan hal yang tidak kami sukai. Dia dan istrinya sering melakukan perjudian. Bahkan, salat aja sudah ditinggal. Itu yang bikin ibunya menangis. Kami baru tahu itu dari pembantu rumah tangganya. Dan sekarang, mereka akan bercerai karena udah tidak ada harta yang dimiliki."

Jack, saat mendengar semua itu, aku hanya bisa mengangguk. Pak Suripto dan Bu Maryam, nama kedua orang tua itu, banyak  menasehatiku agar tidak mudah terjerumus ke hal sama. Didit, putra mereka, terlena gemerlap kehidupan Jakarta. Lingkungan telah membuat laki-laki 35 tahun itu menuhankan harta hingga lupa caranya bersyukur dan menjauhi larangan-Nya.

Dear, Jack ...
Pak Suripto dan istrinya mungkin masih dalam perjalanan panjang selama sebelas jam menuju Surabaya dengan kereta ekonomi Kertajaya. Tiga jam sudah aku mengobrol dengan mereka sambil mereparasi sepatu-sepatu.

Alhamdulillah, sejak aku menjadi pendengar curhatan Pak Suripto, ada delapan pasang sepatu datang silih berganti. Saat Pak Suripto pamit karena keretanya sudah tiba, aku pun kembali berjalan menyusuri daerah Senen.  Hingga Magrib menjelang, aku memutuskan pulang ke kosan.

Jack, aku banyak memetik ilmu dari kejadian tadi di Stasiun Senen.

JEJAK LANGKAH SI TUKANG SOL SEPATUWhere stories live. Discover now