11. Dua Sisi yang Berbeda

1 0 0
                                    


11  Juli 2022

Hai, Jack,
Hari ini aku berkeliling ke daerah Kemayoran. Dari Galur tinggal menyeberang saja. Bisa juga dari Cempaka Putih, tetapi aku memilih Galur karena lebih dekat dari kosan. Ngirit waktu dan tenaga sih, niatnya.

Prinsip yang kupegang, aku harus menyukai setiap perjalanan yang berbeda supaya hati ini senang dan damai. Bukankah segalanya akan terasa ringan jika kita menikmatinya, Jack?

Bagiku pula, berkeliling sebagai tukang sol memberi banyak pelajaran kehidupan dari sisi lapisan bawah. Menyusuri perkampungan, keluar masuk gang, dan bertemu orang-orang baru dengan karakter berbeda.

Jack, Kemayoran itu identik dengan penduduknya yang asli Betawi. Kamu tahu 'kan bagaimana sifat dan karakter mereka. Orang Betawi itu cenderung memiliki banyak anak, berkeluarga besar, dengan ikatan persaudaraan yang kuat, Jack. Makanya jarang sekali yang merantau ke luar Jakarta, kecuali keturunan atau generasi mudanya. Anak muda Betawi zaman sekarang, banyak yang terbang ke berbagai daerah dan negara lain. Tentu saja itu dipengaruhi tingkat pendidikan dan juga pekerjaan.

Satu ciri yang masih menempel pada orang Betawi itu, mayoritas mereka generasi lama, banyak sekali yang memiliki tanah dan kontrakan. Seperti Pak Haji Romli itu, Jack. Pak Haji, rupanya orang Betawi asli Kemayoran. Beliau menikah dengan perempuan Sunda, Bu Haji Sifa. Nah, si Kemuning perpaduan keduanya. Cara bicara Kemuning yang unik, sedikit ceplas-ceplos, dan rada galak diambil dari garis bapaknya, tapi raut wajah turunan Ibu. 

Jack, Pak Haji Romli termasuk orang kaya, pemilik banyak lahan. Selain mempunyai toko di Tanah Abang, beliau juga mendapat warisan dari orang tuanya berupa lima belas rumah kontrakan dan lima puluh pintu kosan. Wih, juragan kontrakan itu, sih. Kebayang tidak, Jack. Dulu orang tua Pak Haji Romli seperti apa? Pak Haji sekarang tinggal duduk manis dan kipas-kipas uang. Belum lagi katanya ada beberapa hektar tanah yang dimilikinya di daerah Bogor dan Depok.

Kamu tahu, Jack,
Kalau orang Betawi lagi sedang berkumpul, rame sekali. Aku seperti sedang menonton film yang dibintangi Benyamin Sueb, Haji Bokir, atau Mpok Nori saat itu. Terkadang, sekilas seperti orang yang sedang berdebat atau bertengkar, padahal aslinya tidak.

Aku sering tertawa sendiri jika mengingat pernah tersinggung dulu gara-gara intonasi seorang teman Betawi. Bahasa dan logat Betawi mereka masih kental, berbeda dengan orang-orang pendatang di ibu kota yang menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu.

Oh ya, Jack, ada kejadian yang membuatku geleng-geleng kepala tadi. Ini tidak ada hubungannya dengan orang-orang Betawi. Namun, saat itu aku masih di kawasan Kemayoran dekat dengan apartemen-apartemen mewah.

Saat itu aku tengah minum di sebuah warung depan jalan besar. Seorang pria memintaku datang ke kosannya yang cukup bagus. Berbeda dengan kamarku yang sederhana, deretan kosan tempat dia tinggal berbentuk bangunan modern dan tertata rapi, setiap kamar ada AC-nya dengan kamar mandi di dalam. Mungkin harga bulanannya lebih dari satu juta.

Orangnya ganteng, gagah dan kulit wajahnya mulus sekali. Seperti selebgram laki-laki yang suka muncul di instagram. Mungkin juga dia bekerja di perusahaan bonafide yang selalu memperhatikan pentingnya menjaga penampilan dan bentuk tubuh. Kulihat sepatunya juga bagus, buatan anak negeri, tetapi yang edisi premiumnya.

Aku sangat kenal dan tahu perusahaan pembuat sepatu itu. Bapak pernah menceritakannya padaku. Kulihat kerusakannya hanya sedikit, jahitan terlepas di bagian kiri luar. Aku mereparasinya di sebuah ruangan semacam lobi khusus untuk menerima tamu. Ruangan itu tepat di depan kamar si pria.

"Say, jangan gitu dong sama eike. Eike tuh, cinta banget banget sama kamu, Darling. Apaan, sih? Enggak jelas banget, deh. Enggak ... enggak! Jangan gitu, dong."

....

"Apalagi? Duh, Darling. Aku enggak bisa! Apaan, sih? Jangan putusin aku, Brandon."

Jack, saat itu aku seperti tersengat laba-laba. Panas, dingin, dan merinding. Campur aduk perasaanku. Pria itu sepertinya sedang menelepon seseorang di ujung sana. Pintu kamarnya sedikit terbuka. Asalnya, aku mendengar pelan saja, tetapi setelah agak lama, tiba-tiba suaranya melengking disusul tangisan.

Gila,Jack!
ria gagah dan ganteng itu terisak seperti gadis yang tengah patah hati. Yang membuatku tambah kaget, tadi dia menyebut nama laki-laki. Pacarnya? Sumpah, aku jadi punya pikiran lain. Jangan-jangan dia ....

Jack, aku buru-buru menyelesaikan pekerjaanku. Aku takut terjadi sesuatu, apalagi dari dalam kamar terdengar suara benda dibanting. Sepatu itu kusimpan di depan pintu. Setelah itu aku pergi dari sana. Biarlah, pekerjaanku tadi tidak dibayarnya, ikhlas yang penting aku keluar dari tempat itu. Bahkan, sebelum itu, aku pernah dibayar dengan terima kasih saja oleh kakek tua yang tidak membawa uang sepeser pun, tetapi pulangnya dijemput sedan mewah.

Tadi sempat kulihat beberapa lelaki gagah dan tampan turun dari mobil. Apakah kosan mewah ini memang penghuninya sebagian besar seperti itu? Sudahlah, Jack. Aku tidak ingin berpikir jelek. Biarlah, itu jadi urusan mereka dengan Tuhan. Aku hanya ingin menjalani kehidupan ini dengan normal.

Jack, hari ini aku menulis sedikit saja, ya. Besok aku ingin bercerita hal lain. Aku capek sekali, belum mandi. Tadi, sepulang dari Kemayoran, aku diminta membantu Bu Haji Sifa membereskan rumah kontrakan yang di depan gang. Pengontraknya hendak masuk tiga hari lagi.

JEJAK LANGKAH SI TUKANG SOL SEPATUWhere stories live. Discover now