2. Pelajaran Pertama

5 0 0
                                    

Dear Jack,
Hari ini pertama kalinya aku jadi tukang sol sepatu. Banyak hal baru kutemui. Namun yang jelas, perjalanan dari pagi sampai sore membuatku lelah sekali.

Pagi tadi, aku bangun lebih cepat dari biasa. Pukul setengah lima subuh, pada saat itu adik-adikku pasti masih tergolek manja di tempat tidurnya. Aku terbangun karena suara azan dari masjid terdengar sangat kencang. Seperti sengaja diarahkan Tuhan kepadaku. Anehnya, tetangga sebelahku, pasangan suami istri, kamarnya hening tidak terdengar aktivitas apa pun.

Jack,
Aku masih kesal sama perlakuan Bapak tempo hari. Raya dan Ping, hanya bisa diam memandang. Entah senang atau sedih melihat kakak julidnya pergi sambil membawa satu ransel besar, kotak kayu, dan karpet kecil. Sebelum berangkat kemarin, Ibu membekaliku sekantong besar makanan kering hasil olahannya.

"Buat lauk teman makan nasi selama seminggu, jadi Aryo enggak perlu beli laukan lagi. Biar ngirit ya, Nak!"

Saat itu Ibu memandangku sambil berkaca-kaca, sedangkan Bapak hanya menepuk pundakku tanpa berbicara apa pun. Hingga akhirnya, taksi membawaku pergi dari rumah.

Mengenai kosan, terus terang aku kurang nyaman, Jack. Deretan kamar-kamar sewaan masih bangunan lama, memanjang dari ujung ke ujung, mengingatkan aku pada lorong-lorong sebuah rumah sakit tua di Bandung. Meskipun terlihat bersih dan rapi dengan jajaran pot bunga sebagai hiasan, kosan itu kesannya gelap, dingin, dan kurang pencahayaan matahari karena posisinya tepat di belakang gedung tinggi milik sekolah menengah.

Aku terpaksa mengambil kamar ini, Jack. Itu pun hasil pencarian tukang ojek kepercayaan Mpok Narti, tukang nasi uduk langganan yang jualannya di seberang Rumah Sakit TNI AL Mintohardjo. Memang, sih, kosannya murah dan sederhana. Dinding-dindingnya semi permanen, setengah tembok, setengahnya dari triplek tebal.

Hei, Jack!
Jangan berpikir aku mendapatkan kamar mandi di dalam, ya, karena kosan bertarif lima ratus ribu rupiah perbulan itu hanya berisi kamar kosong dengan satu meja kecil di sudut untuk menyimpan barang. Cermin ukuran sedang tergantung di pintu sisi dalam. Tidak ada fasilitas lain lagi.

Untuk mandi atau cuci baju, ada tiga kamar mandi di luar, berderet di ujung lorong, diapit kamar 10 dan 20. Cukup jauh dari kamar 13, kamarku. Untuk alas tidur cukup karpet. Namun, aku beruntung, pemilik kosan, Pak Haji Romli, memberiku kasur busa dan bantal saat aku datang ke rumahnya untuk membayar sewa kosan. Saat itu beliau memang tengah merapikan gudang belakang.

Wih, baik juga tuh Bapak, Jack. Kukira dia pelit dan galak. Malahan, aku sempat diajaknya makan bersama malam itu, tetapi aku menolaknya karena harus membereskan kamar.

Jack,
Selesai mandi tadi, kupilih setelan kaos oblong dan celana jin. Topi rimba biru tua yang biasa dipakai naik gunung menutupi kepalaku. Tidak lupa sepasang sandal jepit buat alas kaki. Entah kenapa, saat itu timbul perasaan aneh, tidak percaya diri, dan malu membuncah di dada.

Dalam bayanganku, aku pasti berkeliling masuk keluar kampung sambil berteriak kencang. "Sol patu ... Sol sapatu!"

Kalau tidak berkeliling, ya, mangkal, menunggu orang yang memanggil atau membutuhkan. Itu pun kalau ada. Kalau tidak ada, bagaimana aku membiayai hidup? Dompet dan kartu ATM diminta Bapak sebelum pergi. Untung ponsel tetap di tanganku. Diam-diam aku membawa uang tiga ratus ribu.

Sabar, Aryo, kamu pasti bisa!

Hanya itu, Jack, yang kutanamkan di hati sebelum kaki melangkah. Di luar, beberapa pasang mata, seolah-olah menyelidik saat pintu luar kukunci. Pandangan mereka saat itu terbayang sampai sekarang, seperti hendak menguliti setiap bagian tubuh. Bikin ciut. Aku hanya mengangguk saja sewaktu melewati kumpulan ibu-ibu kaum penggibah.

Jack,
Seharian tadi, aku keluar masuk kampung. Masih di Jakarta Pusat. Tepatnya di Galur, kata orang sering sekali jadi tempat tawuran. Entah apa yang dipermasalahkan. Bisa jadi karena lingkungan sosial yang padat dan tingkat pendidikan kurang tinggi, begitu menurut penelitian sebuah lembaga pemberdayaan, aku membacanya di koran terbitan sore beberapa tahun silam. Kupikir itu butuh diskusi serius antar penduduk dan pemerintah setempat, selain itu juga butuh kesadaran dari masyarakatnya.

Pukul dua siang tadi, kakiku melepuh, Jack. Sakit. Mungkin karena gesekan tali karet sandal ditambah sengatan matahari. Sudah sesiang ini belum ada satu orang pun yang butuh tenaga dan keahlianku. Aku pun istirahat di bawah pohon rindang, di belakangnya mengalir sungai yang airnya hitam dan bau. Tidak jauh dari situ, kulihat anak kecil bebas bermain pasir dan mengaduk-aduk got dengan bilah bambu.

Duh, padatnya penduduk di sana enggak menjamin aku cepat punya pelanggan. Apa mungkin penampilanku dan juga kotak-kotak ini yang terlihat masih baru yang bikin mereka ragu? Atau, mereka jarang memakai sepatu? Saat itu terlintas pemikiran seperti itu.

Jack, perutku keroncongan, lapar karena tadi pagi aku tidak sempat sarapan. Kulihat ada warteg di seberang tempat dudukku, tetapi aku tahan. Siapa tahu ada rezeki datang dengan mengirimkan orang-orang yang sandal dan sepatunya rusak. Semoga ada sepatu yang copot solnya. Boleh 'kan aku berdoa seperti itu, Jack? Namun, setengah jam berlalu, tapi tanda-tanda calon pelanggan tak terlihat hilalnya. Aku menelan ludah, perut ini semakin melilit. Aku paksakan berdiri, meskipun mata berkunang-kunang.

Saat aku berdiri, tiba-tiba ada sesuatu benda berat menghantam. Entah apa. Aku pusing saat itu dan tidak bisa berkonsentrasi, hampir saja ambruk. Untung ada seseorang menahan tubuh dan membawaku ke bangku. Seorang bapak tua berkopiah menolongku saat itu. Ternyata, aku ditabrak anak-anak yang berlari mengejar burung terbang. Bapak itu memberiku segelas teh manis hangat setelah sebelumnya meminta kepada pemilik warteg.

Tiba-tiba, anak yang mengaduk-aduk got itu datang dan memberikan roti tanpa pembungkus kepadaku. Dia ternyata cucu bapak tua itu.

"Nih, buat Abang. Abang pasti belum makan. Tadi di dekat rumah kakek ada orang jatuh juga, katanya belum makan udah tiga hari."

Jack, setelah berterima kasih, aku bingung harus bagaimana saat itu. Buang, jangan? Aku tidak bisa berkata apa pun.

Bayangkan, Jack! Tangannya kotor dan sisa-sisa lumpur mengering masih terlihat. Jorok sekali. Sungguh, Jack. Aku benar-benar mati kutu. Bapak tua itu mengangguk. Terpaksa roti itu diterima dan kumakan karena lapar. Meskipun, perutku mual. Aku tidak mungkin membuangnya di depan mereka. Mereka sudah begitu baik menolongku tadi. Sudahlah.

Setelah merasa lebih baik, aku pamit dan berkeliling lagi, Jack. Syukurlah, di dekat jembatan besi, ada seorang ibu yang memanggilku. Tiga pasang sepatu sekolah anaknya rusak, dan itulah uang pertama yang kudapat dari hasil kerja sebagai tukang sol.

JEJAK LANGKAH SI TUKANG SOL SEPATUWhere stories live. Discover now