5. Hadiah Kebaikan

1 0 0
                                    


Jakarta, 5 Juli 2022

Jack, apa kabar?
Mudah-mudahan kamu tidak bosan mendengar keluhanku. Hari ini aku memutuskan berkeliling ke daerah Pasar Baru, seperti janjiku kepada Bapak kemarin. Tadi, aku mengambil rute dari kosan menuju Senen. Dari sana, barulah aku berjalan dan melewati beberapa titik penting, seperti; RSPAD, Lapangan Banteng, dan  Kantor Pos Jakarta Pusat, hingga akhirnya sampai di tujuan. Lumayan, Jack. Cukup menguras keringat perjalanannya.

Eh, Jack ...
Masih ingat sepatu kulit buaya yang kutemukan di Pasar Poncol kemarin? Sampai detik ini aku masih penasaran, siapa yang berani mengambil dan menjualnya? Meskipun penjual itu menurunkan harganya menjadi lima ratus ribu, tetap tak sanggup kubeli saat itu dan merelakan dibeli orang lain.

Ah, Gila! Itu sudah sangat murah untuk sepasang sepatu kulit handmade berkualitas bagus, apalagi edisi terbatas. Uangku enggak mencukupi. Suatu saat, aku ingin balik lagi ke sana, nyari pembelinya untuk membelinya lagi. Aku belum rela jika sepatu itu bukan lagi milikku.

Shit! Sudahlah, Jack.
Sekarang, hal itu jangan dibahas lagi, deh. Aku hanya ingin bercerita sewaktu pergi ke Pasar Baru tadi. Di sana, aku sengaja tidak menggelar kotak dan menerima reparasi sepatu seperti biasa. Kotak itu aku titipkan ke tukang parkir yang menjaga mobil-mobil pengunjung di area dekat sungai. Tidak jauh dari gerbang kokoh yang bertuliskan "Passer Baroe 1820".

Saat itu, aku mengganti sandal jepit dengan sepatu kets yang sengaja dibawa. Topi dan masker tetap kupakai untuk menutupi wajah dari pandangan orang. Setelah itu, aku menyusuri  lorong lebar yang memisahkan toko-toko di dua sisi. Lorong itu juga dipakai para pedagang emperan menjajakan dagangannya. Biasanya, harganya lebih murah, Jack.

Kata Kakek almarhum, Pasar Baru sudah ada sejak zaman Belanda, sekitar tahun 1820-an. Bisa dikatakan, Pasar Baru salah satu dari tiga pasar legendaris dalam sejarah Jakarta, setelah Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang. Kedua pasar yang kusebut tadi, lebih dulu dibangun, sekitar tahun 1730-an.

Wilayah Pasar Baru dulunya adalah perkampungan masyarakat Tionghoa, maka wajar, pemilik toko-toko yang tersebar dari ujung ke ujung sebagian besar keturunan. Menurut pelajaran sejarah yang kuingat dulu, Pasar Baru merupakan kawasan pertokoan elit karena lokasinya tidak jauh dari kediaman orang-orang kaya Batavia dan ekpatriat.

Jack, di kawasan Pasar Baru yang kudatangi, sebagian besar toko-toko itu menjual sepatu, kain, peralatan olahraga dan musik, serta toko arloji. Tadi, aku melewati toko tekstil dan gorden India, bagus-bagus. Asli diimpor dari negaranya karena sang pemilik adalah orang India asli yang sudah lama bermukim di Indonesia sejak dulu. Mereka keturunan pedagang India yang datang berbarengan dengan pedagang Tionghoa.

Di sana, suasana multikultural terasa sekali. Duh, Jack, kalau lihat baju-baju India dan aksesorinya yang banyak manik dengan warna mencolok, mengingatkanku pada film-film Shah Rukh Khan dan Kajol. Dulu, aku sering nonton filmnya dengan Ibu.

Jack, aku ingat permintaan Bapak untuk menemui seseorang di kawasan itu. Berbekal keterangan sekuriti toko pakaian besar, aku segera mencari tempat yang dimaksud.

Saat berjalan, tiba-tiba seseorang menabrak dengan cepat dari arah kiri. Aku tidak menyadari keberadaannya sebelum itu karena fokus melihat nama toko yang sedang dicari. Untunglah orang itu tidak apa-apa, hanya terjatuh kemudian bangun sendiri. Namun, bahu kananku terasa sakit. Kuperhatikan yang menabrakku tadi. Dia laki-laki muda, sepertinya enggak jauh denganku. Badannya sedikit gemuk berkulit kecokelatan. Dia meminta maaf dan segera berlalu.

Jack, setelah itu, aku kembali menyusuri pertokoan hingga beberapa ratus meter. Cukup jauh juga. Kuputuskan untuk membeli air mineral yang dijajakan salah satu pedagang gerobak minuman.

Sialan, Jack! Keparat!
Uang yang kusisipkan di kantong belakang celana hilang! Raib. Sialan, apes sekali aku saat itu. Aku tersadar, saat hendak membayar minumannya. Mbak penjual sepertinya menyadari jika uangku sudah dicopet. Kukatakan saja beberapa waktu sebelumnya, ada laki-laki yang tiba-tiba menabrakku dan segera berlari setelah itu. Dengan sedikit malu, kukembalikan air mineral itu.

Sungguh, Jack. Aku merasa kesal saat itu. Mau minum saja sulit rasanya. Uang pun tidak ada. Nanti malam mau beli makanan pakai apa? Apa harus menunggu amplop dari orang dermawan yang tiba-tiba muncul? Atau ... mengambil daun, lantas digosok ke tangan dengan mengucapkan mantra simsalabim yang nanti berubah jadi uang? Tentu tidak, Jack. Aku hidup di dunia modern, bukan dunia Aladin dan jin penolongnya.

Jack, dengan perasaan dongkol, aku tetap melanjutkan pencarian. Sampai akhirnya kulihat salah satu gerai ayam goreng. Menurut sekuriti, toko yang kucari berada di  perempatan jalan, berseberangan dengan gerai tersebut. Perempatan jalan itu salah satu jalurnya menuju Gang Kelinci yang terkenal dengan bakminya.

Aku melihat sebuah toko sepatu bergaya art deco. Bangunan itu terlihat berbeda dari toko-toko di sisi kanan-kirinya. Toko itulah yang dimaksud Bapak. Aku segera menghampiri dan masuk. Meskipun bangunan tua, tetapi di dalamnya sangat bersih dan tertata rapi. Aku yakin, pemiliknya adalah orang yang sangat memperhatikan kebersihan dan pintar mengatur tata ruangan.

Jack, aku melihat di rak-rak, koleksi sepatu berbahan kulit semua. Modelnya beraneka macam. Modern, mengikuti perkembangan zaman, dan berkualitas tinggi. Seorang pelayan wanita menghampiri. Kukatakan padanya jika aku ingin menemui pemilik toko Berjaya.

Jack, tidak perlu lama menunggu si pemilik toko datang. Seorang lelaki tua berwajah oriental dengan tubuh masih gagah. Ah, Jack, kurasa dia kurang ramah, malah terkesan berhati-hati. Aku memperkenalkan diri dan menyebut nama Bapak.

Wow,  saat kusebut nama Bapak, sontak pemilik toko itu terbelalak dan berubah ramah. Bahkan, dia mengajakku duduk di sebuah ruangan samping rak-rak sepatu. Aneh, apakah dia sangat mengenal Bapak ya?

Tak hanya itu, dia meminta karyawannya membawakan jus alpukat dan air mineral. Pucuk dicinta ulam tiba, Jack. Aku yang kehausan sejak pagi, segera meminumnya begitu pesanan tiba.

Koh Ahin, nama pemilik toko itu, banyak bercerita jika dulu Bapak sering sekali membantu menjahit sepatu-sepatu buatan tangannya sejak ditinggal tiga orang karyawan. Sejak itu saat itu, usahanya yang hampir karam, kembali naik dan banyak pembeli. Pantas saja kalau begitu.

"Jahitan tangan Bapakmu sangat rapi, kuat,  dan sangat halus. Tidak ada yang bisa menandingi, ini yang jadi keunggulan sepatu buatan saya, Yo. Tapi, sejak Bapakmu memutuskan untuk tidak lagi bergabung, saya maklumi dan mengerti. Yang jelas, kamu harus bangga sama dia."

Saat itu, ada yang bergetar dalam hatiku, Jack. Bapak banyak pengalamannya. Pantas dia ingin aku mengikuti jejaknya. Bapak meninggalkan kesan baik di mata Koh Ahin.

Ketika hendak meninggalkan toko itu, Koh Ahin memberikan amplop putih untuk Bapak. Selain itu, beliau juga menyuruhku memilih sepatu yang dipajang. Woow, tentu saja aku mau, Jack. Koh Ahin juga berharap bisa bertemu kembali dengan Bapak dan mengenang masa dulu.

Ah, tapi aku masih marah sama Bapak. Kenapa aku harus serepot ini, sih?

.

JEJAK LANGKAH SI TUKANG SOL SEPATUWhere stories live. Discover now