16. Hujan Petang, Kopi, dan Warisan

0 0 0
                                    

16 Juli 2022

Jack, langkah kakiku menyusuri jalanan dan perkampungan sudah menginjak belasan hari, tak terasa setengah bulan berlalu. Andai dihitung berdasarkan ukuran satuan panjang, entah berapa kilometer tanah dan beton beraspal tersentuh alas kakiku. Rasa sakit dan kulit yang melepuh sudah tidak terasa lagi. Selama itu pula, aku sedang melakukan satu persatu adegan dalam fragmen drama kehidupan yang sesungguhnya. Bagiku, inilah arti perjuangan.

Biasanya, aku menghabiskan waktu dengan mengikuti kata hati, Jack. Kapan dan bagaimana aku bertindak hanya berdasarkan keinginan dan egoku. Terkadang, aku tidak peduli semesta di luar duniaku. Bagiku, melakukan apa yang nyaman dan tidak meninggalkan jejak kepalsuan kepada orang lain sudah cukup. Jack, seharusnya aku banyak bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada keluarga yang tidak pernah mendoktrin apa pun kepadaku. Aku baru menyadarinya sekarang.

Jack, begitu banyak manusia di sekitarku.  Setiap hari pasti bertemu orang baru dengan berbagai kondisi, tujuan dan karakter, meskipun orang-orang yang kita kenal tetap berada dalam lingkaran kehidupan. Itu pun datang dan pergi, meninggalkan jejak baik atau buruk. Mereka saling tarik menarik dan memberi pulasan takdir untukku.

Hidup itu nyatanya tidak tentang hitam dan putih, Jack. Namun, ada merah, kuning, jingga, dan gradasi lain yang saling menyempurnakan satu sama lain. Seperti hujan dan kemarau, malam dan siang, serta ada dan tiada.

Jack, Jakarta sekarang sering diguyur hujan. Seperti kemarin, hujan petang datang menjelang matahari menuju peraduannya. Hujan yang dirindukan, menyesapkan aroma petrikor pada hidung, mengalirkan kesejukan. Aku menyukai hujan, Jack. Andai tidak dalam topeng seorang tukang sol, rasanya aku ingin bermandikan air tumpahan langit dalam langkah-langkah panjangku.  Menikmati sensasi pukulan-pukulan imajinasi yang terasa hingga tulang.

Aku menikmati tetesan hujan yang turun sore itu, Jack. Ditemani secangkir kopi pekat di warung tegal langganan. Kulihat, butiran-butiran bening itu seolah berlomba menjadi molekul terkecil lalu meluncur deras, bermain penuh kegembiraan, hingga akhirnya mengalir penuh kepasrahan atas titah Tuhan menuju tempat yang diinginkan.

Namun sayang, Jack. Hujan petang itu tak bisa kunikmati dalam ketenangan dan keheningan seperti biasa. Padahal aku tengah merindukan suasana itu. Semuanya karena harta warisan.

Jack, entah kenapa, setiap mendengar harta warisan, sering terasa ada yang menohok jantungku. Meskipun, aku belum pernah bersinggungan atau membicarakan hal itu sebagai satu keseriusan. Mungkin karena aku dan adik-adik terbiasa dengan wejangan Bapak dan Ibu sejak dulu.

"Bapak dan Ibu tidak memiliki banyak harta untuk dibagikan sama kalian, jadi jangan berebut warisan jika Bapak dan Ibu sudah enggak ada di dunia ini. Cukuplah kalian menuntut ilmu, gapai cita-cita setinggi bintang di langit, Bapak ikhlas. Bapak bakal paksakan nyari biayanya sebisa mungkin."

Seperti itulah kata-kata Bapak yang terekam di dalam memori otakku, Jack. Sungguh, awalnya aku tidak memahami apa yang tersirat. Bukankah setiap anak berhak mendapat bagiannya jika memang ada? Begitu pemikiranku saat itu. Hingga akhirnya, aku bisa mengerti karena sebuah kejadian petang tadi.

Hujan deras yang mengguyur membalut Jakarta dalam kedinginan. Secangkir kopi mungkin mampu menghangatkan jiwa yang tengah lelah. Saat itu, dalam warteg, hanya ada empat orang pembeli. Aku, perempuan berhijab, laki-laki bertopi merah yang tengah mengobrol dengan laki-laki gendut. Mereka sepertinya kakak beradik, dari wajah ada kemiripan.

Awalnya tidak ada yang aneh, Jack. Semua berjalan biasa. Pemilik warteg melayani pembeli. Aku juga baru menyelesaikan pekerjaan dan berniat pulang ke kosan, tetapi hujan memaksaku berteduh. Secangkir kopi dan goreng pisang panas menjadi pesanan sore itu.

Jack, kedua laki-laki itu sepertinya membicarakan hal serius tentang harta peninggalan orang tuanya. Aku sengaja menjauh dari mereka dan memilih bangku dekat jendela kawat yang menghadap jalanan. Ah, bukan urusanku kan, Jack? Namun, telinga ini jelas-jelas mendengar tiap detail ucapan keduanya saat itu, mereka menyerang satu sama lain. Tidak ada lagi adab saling menghormati. Aku melirik perempuan berhijab itu yang sepertinya sedang menunggu hujan reda. Seperti halnya aku, wajahnya terlihat tidak nyaman dengan suasana.

Napas dan intonasi naik turun, saling memburu dari si topi merah dan si gendut. Aku hanya diam terpaku. Kopi di hadapanku belum habis dan curahan air dari langit belum juga reda. Namun, entah bisikan halus dari mana, tiba-tiba si topi merah membentak dan langsung melayangkan pukulan kepada lawan bicaranya.

Aku terkesiap, Jack. Ini bukan lagi tentang keluarga dan saling memahami satu sama lain dalam ikatan sedarah, tetapi menjadi persaingan dan merasa paling berhak atas apa yang tidak pernah mereka usahakan. Andai saja orang tua mereka masih ada, mungkin wajah tua yang pasi penuh penyesalan bercucuran air mata. Harta yang sejatinya menjadi pengikat hubungan, menjadi seonggok masalah penuh ego dan emosi.

Lengkingan suara, makian kasar, suara benda tumpul beradu dan dibanting, serta kaca pecah terdengar ramai  diiringi gemuruh hujan petang yang semakin lebat. Pemilik warung hanya bisa berteriak ketakutan melihat tempatnya hancur berantakan. Aku hanya bisa melerai, menahan salah satu hingga akhirnya, sebuah sabetan benda tajam menggores lengan kiriku.

Jack, saat itu si topi merah mengambil pisau dari keranjang buah di atas lemari pajang makanan. Matanya melotot penuh amarah.  Dia kehilangan kendali, tidak lagi menghiraukan adiknya, laki-laki gendut, yang kepalanya berdarah karena hantaman piring. Entahlah, Jack. Saat itu aku tidak bisa lagi berpikir panjang. Aku harus meleraikan mereka. Aku tidak tahu berapa lama tadi, sampai akhirnya si topi merah berlalu dan menyuruh si gendut bertanggung jawab atas kerusakan yang telah terjadi.

Jack, aku pulang setelah Magrib berlalu. Hujan masih mengguyur Jakarta saat itu. Aku paksakan pulang ke kosan setelah luka-luka itu diobati pemilik warung dan istrinya. Laki-laki gendut itu berulang kali meminta maaf atas kejadian tadi. Dia orang baik dan sangat bertanggung jawab dengan memberikan sejumlah uang pengganti. Bahkan, dia mengajakku ke dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut. Aku menolaknya. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin terlibat dan berujung panjang. Laki-laki gendut itu memberikan kartu nama dan berharap aku segera menghubunginya jika terjadi sesuatu. Aku membacanya sekilas, Guntoro Adisaputro, nama yang tertera di sana.

Jack. Warisan memang ibarat bara api. Panas dan mudah melelehkan hal-hal di sekelilingnya. Dan aku tidak ingin seperti itu.  Aku tidak tahu apa penyebab utama Pak Guntoro dan kakaknya  berselisih. Kejadian tadi bukanlah awal, tetapi lanjutan dari rentetan masalah yang belum bertemu titik temunya.

Jack, saat ini aku sepertinya merasa demam. Entah karena kehujanan atau akibat luka goresan pisau tadi. Aku harus istirahat dulu. Bye Jack.

JEJAK LANGKAH SI TUKANG SOL SEPATUWhere stories live. Discover now