13. Tentang Mala (part 1)

1 0 0
                                    

13 Juli

Hai, Jack,
Hari ini aku ingin cerita perjalanan dan apa yang kulihat seharian tadi. Seperti biasa, sih. Namun, aku tadi teringat Mala. Sedang apa ya, dia? Bagaimana kuliahnya? Kangen juga, sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Hampir tiga minggu. Dia tidak tahu apa yang kulakukan selama ini. Chat terakhir kami beberapa waktu itu, lho, Jack. Tidak panjang. Saat itu kukatakan jika aku ada pekerjaan di luar kota. Mala pasti heran.

Mala, maafkan aku ya! Suatu saat nanti pasti akan kuceritakan semuanya.

Jack, pertemuanku dengan Mala pertama kali bisa disebut pertemuan yang tak terduga, sekitar setahun yang lalu. Beberapa bulan setelah berpisah dari Sarah. Sepeninggal gadis itu, aku tidak ingin membuka hati dulu kepada perempuan mana pun.

Bagiku, fokus kepada diri sendiri dulu dan mengapai cita-cita memiliki usaha sendiri, meski proses ke arah sana begitu sulit dan terjal. Namun, semenjak mengenal Mala, niatku terpatahkan dan tentu saja, hatiku mulai meleleh dari kebekuan.

Jack, aku lupa kapan tepatnya. Sekitar bulan April kalau tidak salah. Saat itu, Komunitas Sabda Alam, komunitas pecinta alamku yang di Bandung, berencana melakukan pendakian ke Gunung Gede Pangrango, Cianjur, meski masih kondisi pandemi. Kebetulan, bulan tersebut, Gunung Gede Pangrango dibuka untuk umum, setelah sebelumnya ditutup. Tentu saja, ada aturan ketat. Kami harus mengurangi jumlah penghuni tenda dan sudah melakukan tes PCR.

Jack, kami semua rindu gunung, air dan tumbuhan, rindu melihat hamparan edelweis yang cantik, bunga simbol keabadian, di area Surya Kencana. Duh, Jack, kalau sudah di sana, hawa sejuk dan segar terasa sekali. Jauh dari hiruk-pikuk dan kebisingan kota. Aku paling suka  saat memandang panorama arunika, swastamita, dan kerlip bintang yang menghiasi langit malam. Seperti kembang api yang memercikan cahaya indah berbagai warna dan penuh pesona.

Tak hanya itu, Jack. Di sana ada telaga Biru, begitu menenangkan kala memandangnya,  letaknya di tengah hutan yang sering kulewati. Biru karena banyak ganggang biru penghuni telaga tersebut. Aku juga merindukan air terjun di Curug Cibeureum. Gemuruh dan percikan air pembawa ion-ion negatif seperti nyanyian alam yang tak pernah berhenti untuk berdendang menyuarakan keindahan dan keselarasan jiwa.

Jack, saat itu, salah satu temanku, Gabriel, mempunyai rencana mengajak pacarnya dalam pendakian tersebut. Namun, ketika waktunya tiba, pacar Gabriel membatalkannya karena ada urusan keluarga, padahal lelaki tinggi besar itu sudah mempersiapkan segalanya. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba Gabriel datang membawa Mala, adiknya yang baru lulus sekolah. Nama lengkapnya Kemala Gabriela Ananditya.

Mala memang anak lulusan SMA saat itu, sekilas seperti anak baru gede yang manja dan selalu tergantung kepada abangnya. Itu  pandangan awal sebelum naik gunung. Bahkan, Gabriel rela dianggap pengasuh bayi oleh kami, teman-temannya—sambil bercanda, Jack—ketika Mala memintanya untuk menyuapkan makanan.

Tak hanya itu, abangnya selalu mengikat rambut panjang sang adik saat terlihat terurai atau berantakan. Gabriel memang sayang sekali. Kulihat seringkali dia memeluk dan mencium kepala Mala. Aku? Boro-boro seperti itu kepada Ping, Jack. Yang ada adik yang manis itu korban keisenganku yang berakhir dengan tangisan dan omelan Ibu.

Jack, ternyata pemikiran aku berubah tentang gadis muda itu. Setelah mengenalnya lebih jauh dan ada interaksi obrolan selama perjalanan naik gunung, justru kulihat pembawaannya yang tenang dan dewasa, serta pemikiran yang melebihi usianya membuatku sedikit takjub dan heran.

Bayangkan, Jack. Menurut dia, laki-laki itu cara berpikirnya dengan logika, berbicara langsung dan  jelas bila menginginkan sesuatu. Hal itu berbeda terbalik dengan perempuan yang sering menggunakan perasaan dan kode setiap menyampaikan sesuatu. Jadi wajar jika laki-laki terlihat seperti orang bodoh atau tidak peduli terhadap wanitanya.

Hmm ... benar juga, sih. Kenapa aku tidak pernah berpikir ke arah sana selama ini? Kupikir aku memang tidak memahami Sarah dan keinginannya. Hingga akhirnya berakhir dengan perpisahan.

Sarah lagi, saat itu kenapa aku harus teringat lagi dia?

Mala banyak memberikan pengaruh positif padaku. Kami selalu berkomunikasi dan bertambah akrab setelah perjalanan itu. Apalagi, Gabriel dan Mala pindah ke Jakarta beberapa bulan kemudian. Seiring dengan diterimanya Mala di Stikes Jayakarta. Mereka menempati rumah kakeknya di daerah Petamburan.

Perlahan, aku mulai menyukainya. Tuhan, kenapa aku kembali berhubungan dengan wanita yang berlatar belakang dunia keperawatan? Sumpah, Jack, aku sepertinya ditakdirkan untuk itu. Perbeda usia lima tahun tidak menjadi penghalang. Aku terus terang kepada Gabriel tentang perasaanku kepada adiknya.

"Yo, ini bukan sekadar teman atau kedekatan di antara kita, makanya gue ngizinin lu deketin Mala. Lebih dari itu! Gue percaya, lu bisa jagain dan bimbing dia. Inget, Mala segalanya buat gue. Jangan sekali-kali bikin dia nangis."

Begitu kata Gabriel saat kuungkapkan semuanya. Gabriel tahu siapa dan bagaimana aku, Jack. Tahu juga tentang kandasnya hubunganku dengan Sarah. Yeah, pintu restu sudah kudapat saat itu. Kupikir, untuk mendapatkan Mala akan lebih mudah lagi. Apalagi aku juga sudah mengenal ayah dan ibunya. Namun, tebakanku salah, Jack. Salah besar.

Jack, besok kusambung lagi ya tulisan ini. Barusan aku diminta Pak Sugeng datang ke rumahnya. Ada beberapa pasang sepatu yang harus kuperbaiki.

Bye, Jack! Sampai besok malam ya.

JEJAK LANGKAH SI TUKANG SOL SEPATUWhere stories live. Discover now