8. Kenangan

1 0 0
                                    

8 Juli 2022

Halo, Jack!
Tidak terasa, sudah delapan hari aku menjalani pekerjaan yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Aku hanya melihat Bapak dengan benang, jarum kait, sol, dan sepatu-sepatu itu tanpa tahu apa yang beliau kerjakan bertahun-tahun silam. Yang aku tahu, Bapak pekerja keras dan disiplin sekali.

Jack, aku sempat menelepon Bapak kemarin. Kukatakan ada titipan amplop dari Koh Ahin, entah berapa isinya. Aku tidak berani membukanya. Selain itu, aku juga memberitahukan beliau jika sepatu kulitku yang hilang itu ada di Poncol. Kuungkapkan betapa kesal aku melihatnya, tapi semuanya sirna saat Koh Ahin memberikan sepatu baru dari tokonya.

Sebal! Bapak hanya bisa tertawa, Jack, mendengar semua ceritaku. Kenapa, sih,  dia harus seenteng itu? Aku masih kesal dengan hilangnya sepatu yang teramat aku sayangi, eh, ini malahan dbilang harus dikhlaskan. Aneh! Namun, kecewaku sedikit terobati. Beliau menyuruhku untuk menyimpan amplop itu dan boleh menggunakannya jika memang terdesak sekali. Hmmm ...

Jack,  sikap beliau sepertinya turun ke Raya, si kutu buku anak SMA kelas dua yang sering jadi contoh kehidupan dalam cerita novel ala keluarga besarku.

Raya bukan tipe anak yang senang bermain atau nongkrong setelah pulang sekolah. Dia lebih suka berdiam diri di kamar sambil belajar atau bereksperimen dengan benda-benda bekas. Jika kedua aktivitas itu selesai, dia tak segan membantu pekerjaan Ibu atau Bapak. Meskipun begitu, teman-temannya banyak. Sempurna sekali dia bukan?

Kok  bisa, ya, Jack?
Entah dengan cara apa dia menjaring teman seusianya bisa akrab atau rela menyambangi rumah asal bisa belajar dan ngobrol dengan Raya. Temannya dari berbagai tingkatan kasta kayaknya. Raya emang berbeda denganku yang lebih suka tantangan di luar rumah.

Hari ini, aku memutuskan untuk berkelliling lagi, Jack. Rencananya ke Kayumanis, tetapi sebelum itu singgah dulu ke Pasar Sunan Giri, mengambil peralatan sol yang kutitipkan di tukang bakso. Lumayan jauh perjalanan tadi. Namun, aku beruntung, Mas Kandar, tukang ojek penghuni kosan nomor 17, menawarkan tumpangan ke Rawangun. Dia ada orderan mengambil  paket di sana.

Jack, sepanjang perjalanan tadi aku masih mengingat kebersamaanku dengan Anneke. Gila, ya, Jack. Aku si tukang sol berani menyimpan harapan kepada dokter cantik. Apa aku terlalu bermimpi tinggi? Bagaikan pungguk merindukan bulan, kata orang. Mengharapkan sesuatu yang tak mungkin digapai. Mungkin, aku terlalu gegabah juga. Bisa jadi, Anneke sudah punya pacar atau tunangan. Mana tahu 'kan? Lagi pula, aku juga sudah punya Mala. Perempuan satu-satunya yang mengisi hari-hariku dua tahun belakang ini.

Sewaktu perjalanan pulang, Anneke kemarin bercerita banyak tentang kegiatannya. Kutangkap dari pembicaraannya, dia bukan orang yang senang membanggakan diri. Dia juga katanya sedang sibuk koas di rumah sakit.  Aku saat itu hanya jadi pendengar saja. Sesekali dia bertanya tentang keluargaku. Ya, kujawab jika keluargaku hidup dari dunia persepatuan. Eh, dia malah berseloroh, Jack! Katanya suatu saat aku harus menjadi pengusaha sepatu. Aku hanya bisa mengaminkan. Semoga saja. Bukankah kata-kata adalah doa?

Jack, kutinggalkan sejenak cerita tentang Anneke. Nanti kalau Tuhan mengizinkan lagi aku bertemu dengannya, pasti kutuliskan di lembaran putihmu. Sekarang, aku mau bercerita padamu tentang pertemuanku dengan seseorang hari ini.

Tadi siang, saat aku mangkal di Pasar Kayumanis, tepatnya di emperan jalan besar dekat warung nasi Padang, kulihat seorang kakek tengah berbelanja sayuran.  Jalannya terpincang-pincang. Kudengar dia menawar seikat kangkung dan meminta harga miring dengan alasan uangnya kurang. Saat itu aku tidak terlalu memperhatikannya karena sedang menjahit sepatu dan sandal pemilik warung.

Selang beberapa menit, kakek tua itu didekati pria muda berpakaian loreng lengkap dengan sepatu dan baret khasnya, dia seorang tentara. Dari corak seragam dan warna baret yang dipakainya, aku tahu, kalau pria itu anggota TNI AL dari korps Marinir berpangkat Sertu. Wah, aku jadi teringat cita-citaku dulu, ingin jadi Tentara Angkatan Udara. Sayang, Jack, Tuhan sepertinya tidak mengizinkan aku menjadi abdi negara.

Kakek tua itu rupanya tidak tahu jika seseorang tengah mendekatinya. Ketika dia menyadarinya, kulihat dari balik topi, kakek tua itu kaget sekali. Seolah terpana dan mengingat sesuatu. Detik itu juga, tentara itu menciumi tangan si kakek dan memeluknya erat.

Jack, mereka bertangisan disaksikan orang-orang yang sedang belanja bahkan ada yang merekamnya dengan ponsel. Aku sendiri terharu, Jack, meskipun tidak mengenal mereka. Kayak ada yang menaruh bawang di mata.

Jack, tiba-tiba aku terpaku saat itu. Sumpah, aku seperti terlempar ke masa lalu, menarikku untuk menelusuri masa-masa sekolah yang penuh perjuangan dan jauh dari orang tua. Jack, aku sepertinya mengenal tentara itu! Ya, aku tahu siapa dia.

Jack, tentara itu Alan. Alan Yusari!
Pasti dia. Aku yakin sekali saat itu meskipun dia berubah sekarang. Berbeda sekali dengan Alan saat kami satu sekolah di SMP. Badannya lebih berisi dan tegap, kulitnya bertambah gelap, tetapi aku sangat mengenal roman wajah dan senyumannya yang jarang terukir. Aku tidak tahu apa hubungan Alan dengan kakek tua itu. Kenapa Alan ada di Jakarta pun aku tidak mengerti. Dulu kami satu kelas di SMP negeri di Bandung.

Jack, Alan yang kukenal dulu adalah anak ceking, sering kelaparan, dan selalu terlambat masuk sekolah. Yang kutahu saat itu, kedua orang tuanya sudah meninggal dan dia tinggal di rumah salah satu bibinya yang memiliki anak banyak.

Aku pernah melihat Alan di pasar sedang memanggul beras. Saat itu, dia hanya menunduk sewaktu aku mendekatinya untuk meyakinkan pandangan. Alan tidak berkata apa pun.

Setelah itu, hari-hari kemudian, aku terbiasa melihat Alan bekerja serabutan setelah pulang sekolah. Dibanding teman yang lain, mungkin saat itu aku orang yang sering didekati Alan untuk ngobrol, meskipun jarang. Tidak pernah sedikit pun dia mengeluh tentang kehidupan yang dijalaninya. Dia sering meminjam buku catatanku dan mengembalikannya ke rumah.

Selepas SMP, aku tidak tahu ke mana Alan melanjutkan sekolah. Yang aku dengar dia tidak ada di Bandung. Ada yang bilang; Alan pergi ke Medan, ada juga kabar katanya dia jadi tukang bangunan. Aku benar-benar kehilangan kontak. Hingga tadi siang aku bisa melihat langsung keberadaannya. Ah, Jack, mataku memanas. Rasanya ada bola-bola air mata yang siap meluruh ke pipi. Aku harus menemui Alan.

Sayang, Jack. Alan sudah pergi dari tempat itu bersama si kakek. Kenapa aku tidak menyadarinya tadi? Lamunanku terlalu lama.

Saat kutanyakan kepada pemilik warung, katanya tentara itu membawa di kakek ke dalam mobil dan mereka sudah pergi. Tiba-tiba perasaan sedih, senang, dan kecewa bercampur aduk dalam dadaku. Andai tadi aku tidak banyak melamun, mungkin aku bisa ngobrol dengannya. Namun, di sisi lain aku merasa lega. Alan baik-baik saja sampai saat ini.

Jack, aku berharap, suatu saat bisa bertemu Alan kembali dalam kondisi berbeda. Aku ingin tahu perjalanan hidupnya setelah kami berpisah sepuluh tahun lalu. Ah, Jack kutatap langit Jakarta saat itu, dan aku yakin, langit yang sama tengah menaungi Alan juga.

JEJAK LANGKAH SI TUKANG SOL SEPATUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang