9. Patah Hati

1 0 0
                                    

9 Juli 2022

Selamat Idul Adha, Jack.
Hei, tumben ya, aku memberi salam. Aku ingin kamu tahu kalau di hari kesembilan ini, aku punya kisah baru yang ingin kutulis pada lembaran putihmu. Hmm ... Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu jika kamu jadi aku hari ini. Yang jelas, aku merasakan kekecewaan.

Jack, sebagian umat muslim ada yang memilih hari ini untuk salat sunah Iduladha, termasuk masjid di dekat kosanku. Namun, kudengar beberapa masjid di tempat lain, salat idnya besok. Mereka mengikuti keputusan pemerintah. Pak Sujiwo yang biasa salat di  masjid Nurul Amanah, masjid dekat kosan, katanya mau salat besok Minggu di tempat lain.

Enggak kenapa, Jack, memang sering terjadi perbedaan penghitungan untuk masalah penentuan hari raya, tapi jangan sampai terjadi keributan saja. Dua pendapat sama-sama punya alasan kuat. Dua-duanya juga benar. Begitu kata salah satu ustad kondang yang sering berceramah, aku menontonnya di YouTube kemarin. Aku kurang mengerti juga mengenai apa itu hisab dan rukyat, Jack.

Aku sendiri tadi pagi ikut salat. Kenapa aku mengambil hari ini? Karena Pak Haji Romli memintaku membantunya di masjid untuk pemotongan hewan qurban. Jadi sekalian salat saja. Ah, Jack, aku memang masih sering bolong salat, kadang malas, tapi, entah kenapa, saat Pak Haji mengajak ke masjid, rasanya adem hati ini. Mungkin saatnya aku belajar agama lebih rajin lagi.

Jack, aku melihat Anneke di barisan saf depan perempuan. Saat itu dia tidak sendiri, ada ibunya dan seorang perempuan cantik. Kupikir dia kakaknya Anneke. Mirip sekali wajahnya hanya terlihat sedikit dewasa. Mereka memakai baju kembaran, gamis putih polos dengan jilbabnya.

Kudengar, kakaknya Anneke itu seorang polwan yang bertugas di Surabaya. Suaminya dokter tentara di rumah sakit besar. Hmm ... keluarga Anneke memang orang-orang berpendidikan dan punya profesi bagus. Aku? Apalah aku ini, Jack! Tidak ada yang bisa dibanggakan.

Selesai salat, aku mengikuti Pak Haji Romli ke halaman kiri masjid tempat hewan-hewan qurban berada. Ada tujuh sapi dan sepuluh kambing. Gemuk-gemuk semua. Kupandangi hewan-hewan itu, mereka terlihat pasrah. Lantunan takbir, tahmid, dan tasbih mengalun dari dalam masjid. Terdengar lenguhan sapi dan embikan kambing. Mungkin itulah bentuk pengabdian para binatang kepada Tuhannya. Aku jadi teringat cerita Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail. Kamu pasti tahu 'kan kisah kedua Nabi itu, Jack?

Hei, Jack. Di sana ada bapaknya Anneke, beliau jadi panitia. Duh,  rasanya sungkan melihat dia, Jack. Beliaunya, sih, biasa saja padaku, maksudku, tetap ramah. Alhamdulillah, kupikir, bapaknya Anneke akan marah padaku jika tahu putri bungsunya bergaul dan mengajakku makan di restoran.

Tidak, dia tidak membahas hal itu. Namun, ketika selesai acara pemotongan dan daging-daging itu dibagikan, beliau memintaku ke rumahnya selesai Salat Zuhur. Entah mau apa. Aku hanya diminta datang saja. Aku deg-degan, Jack.

Aku minta izin pulang dulu saat itu. Tidak mungkin 'kan aku ke rumahnya dengan baju bau kambing. Apa kata mereka? Meskipun aku tukang sol sepatu, tetapi harus memiliki nilai tinggi. Setidaknya, dengan wajah mirip Hyun Bin aku bisa menarik simpati siapa pun, termasuk keluarga Anneke.

Kamu tahu, Jack? Setelah membersihkan diri, aku segera mencari pakaian yang terbaik dari dalam tas ransel. Ada kemeja pendek dan celana bahan, hanya itu yang bagus dan satu-satunya. Yang lain, kaos dan celana jins, itu pun sistem pakainya cukepak alias cuci kering pakai.

Andai kamu ada di sebelahku, kamu akan melihat bagaimana gagahnya aku melangkah menuju rumah Anneke yang berada di depan jalan besar, Jack. Rumahnya besar dan memiliki halaman luas.

Setelah menguatkan jiwa, aku memasukinya. Kulihat ada empat mobil terparkir di sana. Pak Gusti, bapaknya Anneke yang membukakan pintu saat aku datang, padahal dalam bayangan, gadis berambut sebahu itu yang menyambut kedatanganku dengan senyuman termanis. Mata bulatnya berpendar memancarkan keteduhan.

Aduh, Jack, rasanya aku tengah kasmaran dan jatuh cinta pada gadis itu. Terlalu melambungkah harapan ini? Aku takut jatuh dan sakit, Jack.

Memang Jack, aku yang tidak mawas diri. Tidak bisa mengukur dan tidak tahu malu. Di sana, Anneke memang tersenyum padaku, bahkan dia mengajakku untuk makan bersama keluarganya. Di meja, banyak makanan khas lebaran. Aku jadi teringat Ibu, Bapak, dan adik-adikku. Apakah mereka juga tengah berkumpul merayakan lebaran haji ini?

Jack, saat itu, aku tersanjung dan merasa dihargai. Bayangkan, seorang bapak yang anak gadisnya kusukai, meminta datang ke rumahnya. Coba, bayangkan, buat apa?

Namun, di saat yang bersamaan ada laki-laki gagah yang selalu di dekat gadis itu. Dia tampan dan terlihat seperti bukan  orang biasa-biasa saja. Tubuhnya tinggi menjulang dengan hidung mancung. Anneke terlihat mesra dan selalu tersenyum padanya. Siapa dia? Laki-laki itu menatapku seolah ingin tahu.

Tiba-tiba, aku cemburu pada kedekatan mereka, Jack!

"Aryo, saya mau minta bantuan kamu, makanya kamu saya panggil. Bisa? Apa hari ini enggak ada kerjaan lain?"

Saat berbicara, aku diajak Pak Gusti ke ruangan belakang, dekat taman dan dapur terbuka. Tentu saja, aku bingung dengan pertanyaan Pak Gusti. Bukankah dia memintaku datang karena hari ini sedang perayaan lebaran, bukannya tadi di masjid bilangnya mengajak makan dengan keluarga? Atau, pemikiranku pendek saat itu? Namun, aku tidak ingin terlihat bodoh. Maka aku katakan jika saat itu aku tidak sedang ada pekerjaan lain.

"Kamu bisa benahin paviliun sebelah? Nanti malam keluarga Rangga, pacarnya Anneke akan datang ke sini. Rencananya, paviliun samping akan jadi tempat istirahat mereka. Saya tadi melihat pekerjaanmu di masjid rapi banget. Tenang, nanti saya bayar kamu. Sekarang, kamu makan dulu. Masakan istri saya enak banget."

Jack!
Aku saat itu tidak sanggup lagi menjawab. Ternyata, oh ternyata. Aku hanya dibutuhkan tenaga saja. Bukan untuk mendekatkanku pada anaknya. Pecah sudah kaca-kaca harapan di hatiku. Aku patah hati. Tiba-tiba, aku teringat kepada Mala. Pasti ini hukuman Tuhan buatku yang telah mencoba berpaling dari perempuan baik itu. Pupus sudah. Aku tidak boleh lagi berharap.

Kamu pasti penasaran, apakah tadi aku mengerjakan tugas yang disuruh Pak Gusti? Tentu saja, aku tidak mungkin menolaknya. Jangan sampai Pak Gusti, Anneke, dan penghuni rumah mewah itu tahu jika hatiku tengah terkapar sedih.

Sudahlah, Jack! Sampai di sini dulu aku menulis. Rasanya lelah sekali, tapi aku belum mencuci baju yang dipakai untuk memotong daging qurban tadi.
Bye, Jack.

JEJAK LANGKAH SI TUKANG SOL SEPATUWhere stories live. Discover now