4. Kutemukan yang Hilang

1 0 0
                                    

Jakarta, 4 Juli 2022

Hallo, Jack,
Pernahkah merasa bosan menjadi diary? Andai kamu orang, pasti jawab ya. Benar 'kan? Nah, aku merasakan hal itu tadi pagi. Aku bosan jadi tukang sol, padahal baru dua hari. Rasanya malas untuk bangun pagi dan menyiapkan makanan sendiri.

Biasanya, Ibulah yang menyediakan sarapan, lengkap dengan teh manisnya. Sekarang, aku harus berburu nasi uduk atau lontong sayur ke depan gang. Telat sedikit, dagangan Mak Lela habis diborong emak-emak berdaster penghuni gang yang suka gibahin anak dan suaminya.

Kemarin saja, waktu aku menunggu antrian, ada ibu gendut berambut merah curhat ke tetangganya, jika sang suami ketahuan punya istri muda. Ekspresinya waktu bercerita ... hi, horor bagiku. Duh! Dia jadi pusat perhatian saat itu. Memangnya tidak bisa curhat di rumahnya saja? Masa mesti buka aib di luar, sih, Jack? Aku kadang bingung dengan sifat perempuan. Susah dimengerti. Bagiku, diam dan pura-pura tidak peduli adalah jalan terbaik. Apalagi, aku satu-satunya makhluk Tuhan berjenis laki-laki di sana.

Asal tahu saja, Jack. Meskipun aku terlihat tidak peduli dengan obrolan tadi, telinga tetap kupasang baik-baik. Sepertinya aku berbakat jadi spionase. Penasaran juga, apa isi obrolan mereka. Ah, pantas suaminya mendua dan jarang pulang, ternyata seperti itu istrinya, begitu dugaanku setelah mendengar curhatan si emak setengah baya itu.  Tangannya yang penuh gelang emas bergerak ke sana kemari.

Jack, selagi asyik mendengar obrolan mereka, tanpa sengaja kutangkap Mak Lela tengah memandangku dalam-dalam. Risih juga diperhatikan nenek gemoy gemar guyon itu. Beberapa ibu muda ikut-ikutan tingkahnya.

"Tong, lu yang nyewa kamar 13 di kosannya Pak Haji Romli ya? Banyak noh yang cerite. Beneran, ye, ganteng juga lu. Tapi ... ngomong-ngomong, kenapa jadi tukang sol, sih? Muke kayak gini mah, pantesnya gawe di kantoran atawa pengusaha gitu. Lagian juga, enggak sayang tuh kulit jadi gosong? Coba kalau si Marni belum kawin, udah Emak jodohin lu same dia."

Wah, si Emak kepo, Jack!

Saat itu  aku hanya bisa mesem saja. Di belakangku, terdengar kasak-kusuk ibu-ibu muda itu. Sempat kudengar, salah satu ibu berbisik kepada temannya, kalau aku mirip artis Korea yang berperan jadi tentara Korea Utara. Temannya kemudian menimpali, kalau aktor itu main di drama yang judulnya ada Alhambra-nya. He he.

Benar 'kan? Semua orang bilang aku ini mirip Hyun Bin, meskipun aku tidak pernah menonton dramanya, tapi aku tahu, wajah kami ada kemiripan pada mata serta hidung, sama-sama punya lesung pipit juga. Ping pernah memperlihatkan foto si aktor beberapa waktu lalu. Beda tipis, hanya nasib saja jadi terlihat jauh.

"Hei, Bang! Minggir dikit, dong! Dipuji emak-emak genit malahan kegeeran. Noh, yang mau beli masih ngantri."

Jack, aku kaget setengah mati dibentak seperti itu tadi. Terdengar dekat sekali di telinga. Ternyata, gadis berambut sebahu di belakangku tengah menatap garang. Sialan dia, Jack! Baru saja aku dipuji setinggi langit oleh para emak, malahan dijatuhkan gadis muda judes.

Duh, rasanya ingin kucolek pakai cabe mulut pedasnya itu. Untungnya Mak Lela langsung menimpali dengan gaya kocaknya, jadi aku tidak terlalu dibuat malu. Aku penasaran sama gadis itu, Jack. Dengan cueknya dia memilih gorengan dan meminta Mak Lela membungkus nasi uduk dan lontong. Masa, sih, dia tidak tertarik menggodaku seperti para ibu muda itu.

Jack,
Aku memutuskan untuk tidak berkeliling dulu. Boleh, dong, aku minta libur sehari ini saja. Please, deh! Toh, Bapak tidak tahu. Aku ingin istirahat sebentar. Ponsel yang sudah tiga hari kumatikan, segera kubuka. Penasaran, mungkin ada pesan penting.

Ada pesan masuk dari Ibu yang bertanya kabar, beberapa kawan sepermainan menanyakan kapan aku akan bergabung kembali di klub pendaki gunung, mereka berencana akan melakukan pendakian ke Gunung Rinjani menjelang 17 Agustus. Ada lagi, Jack, pesan dari Mala. Gadis itu sedikit marah karena aku sulit dihubungi, dia memintaku meneleponnya segera.

Aku kangen dia, Jack. Namun, aku belum bisa terus terang. Saat itu pesannya kujawab jika aku tengah berada di luar kota.

Hei, Jack, ada pesan dari Bapak. Apalagi yang beliau mau dariku? Hmm ... Pesannya membuat keningku berkerut. Aku diminta berkeliling ke daerah Pasar Baru dan melakukan sesuatu. Aku hanya membalas pesannya dengan singkat saja. Setelah itu, ponsel segera kumatikan lagi.

Tiba-tiba aku punya rencana lain. Uang di dompet hasil keliling digabungkan dengan uang simpanan. Saat itu, aku langsung menghitung berapa dana yang bisa kupakai dan kusimpan untuk beberapa hari ke depan. Pukul sepuluh, aku memesan ojek online. Hari ini, kaki kuberi kesempatan untuk santai sejenak. Aku pergi ke Poncol, pasar loakan dekat Stasiun Senen.

Jack, Pasar Poncol sekarang terlihat rapi. Berbeda dengan sepuluh tahun lalu saat Bapak mengajakku berburu peralatan dan barang-barang bekas. Banyak jenis barang dijual di sana. Bahkan, tadi kulihat ada sesebapak berhasil mendapatkan kursi roda yang dimaunya dengan harga miring. Kondisi masih mulus dan asli tentunya.  Padahal kata beliau, jika membeli baru di toko alat medis, kursi roda itu berkisar lima jutaan. Dia cukup mengeluarkan dana sekitar satu juta saja.

Hei, Jack,
Pasar Poncol terkadang jadi surga buat pemburu barang antik. Banyak orang luar Jakarta berdatangan ke tempat itu. Jika sabar dan ulet, mereka bisa menemukan barang peninggalan zaman Kolonial. Tadi aku sempat menguping lelaki perlente menawar koin-koin tua, koin Benggol, uang logam Belanda buatan tahun 1945 yang terbuat dari tembaga berwarna kemerah-merahan.

Setelah puas melihat-lihat dagangan di deretan kios luar dan mendapatkan benda yang kumau, aku menyusuri bagian dalam.  Kios-kios ada dua lajur, mengapit lorong panjang dari jalanan besar hingga ke belakang. Sejauh mata memandang, barang yang dijual bermacam-macam jenisnya. Memang sih, cenderung ke barang maskulin, khusus peralatan dan perlengkapan laki-laki.

Jack,
Ketika kulewati pedagang sepatu bekas, aku melihat sepatu yang sangat kukenal baik. Bahannya kulit dengan tali-tali kuat. Aku segera mendekati dan langsung memegangnya. Dari tampilannya saja sudah kutahu apa merek pabriknya.

"Itu sepatu bagus, Mas. Jahitan rapi, dipakenya enak. Bahan kulit buaya, baru dipake beberapa kali kata yang jual. Cocok banget buat Mas ganteng, nih. Ambil tuh, harganya satu juta. Kalau di toko aslinya, barunya bisa lebih dari tiga juta. Katanya, edisi terbatas."

Gila! Aku kaget saat pedagang itu berceloteh, Jack. Itu 'kan sepatu hadiah Bapak yang hilang tiga bulan lalu! Itu punyaku, aku yakin banget.

Aku lupa bagaimana hal itu terjadi. Yang jelas, aku tidak menemukannya di rumah. Aku tahu itu milikku, di bagian dalam ada insial namaku yang sengaja dicetak khusus. Sialan, benda itu sudah beralih pemiliknya.

JEJAK LANGKAH SI TUKANG SOL SEPATUWhere stories live. Discover now