19. Es Campur Kehidupan

0 0 0
                                    

19 Juli 2022

Hai, Jack
Kemarin, perjalananku kembali menyusuri gang kecil di sebuah perkampungan padat penduduk yang jarak antar rumah hanya sebatas tembok pemisah belaka.

Rumah-rumah itu berderet panjang dengan lebar tidak lebih dari tiga atau empat meter. Tidak ada pagar apalagi halaman pembatas pada sisi samping. Teras pun hanya selebar dua-tiga ubin keramik ukuran 30x30 cm. Bahkan, beberapa rumah tidak memiliki beranda atau selasar sama sekali. Pintu rumah langsung terbuka ke jalanan atau gang. 

Anak-anak kecil berlarian kesana kemari dengan riang memainkan bola plastik tanpa alas kaki apa pun. Baju dan tubuh basah bermandikan peluh. Kulit mereka gosong terkena sengatan matahari. Tak terlihat beban berat melintas di wajah-wajah polos itu. Tawa berderai diselingi teriakan saling memanggil supaya mendapat lemparan si bundar. Apa yang mereka rasakan adalah kebebasan berkawan, senasib sepenanggungan, tak peduli gang sempit menjadi arena permainan. Aku teringat pernah seperti mereka di tempat yang berbeda.

Jack, di Jakarta memang susah menemukan ruang publik berupa tanah lapang atau lahan kosong luas untuk sarana anak-anak menuntaskan imajinasi dan kebebasan bermain berbiaya murah atau gratis. Tidak seperti di kampung-kampung di daerah lain atau Jakarta pinggiran.

Kalau pun ada fasilitas memadai dan mendukung, seperti Gelora Bung Karno Senayan, orang tua mereka harus rela merogoh kocek lebih dalam untuk membeli tiket, ongkos, dan jajan tentunya. Sayang, tidak semua mampu memenuhinya. Maka tak heran, acapkali halaman; sekolah, taman, dan perkantoran yang notabene terbuat dari paving blok serta badan jalan menjadi sarana gratis ajang permainan.

Namun, selama belasan hari menyusuri perumahan, aku melihat banyak ruang publik yang ditata baik dan cantik oleh Pemerintah Provinsi DKI. Mungkin aku baru menyadari keberadaannya dan tahu setelah berkeliling.

Selama ini aku kemana saja, Jack? Sampai tidak tahu perkembangan kota Jakarta. Ah, mainku sering ke gunung, laut, padang stepa dan sabana, serta hutan yang tidak penuh dengan manusia. Aku seperti manusia yang tersesat di rimba Jakarta. Ibarat orang kampung main ke kota.

Jack, kemarin itu aku melihat tulisan besar-besar pada sebuah taman dengan bangunan permanen beraneka warna di tengah-tengahnya, RPTRA CERIA.  Banyak anak yang didampingi orang tuanya bermain di lapangan terbuka yang asri dengan pohon-pohon rindang. Tak hanya itu, sebagai orang berolah raga dan sebagiannya lagi berkumpul sambil menikmati jajanan yang ada di sekitar taman itu.

Hmm ... jika saja masa kecilku sudah ada  tempat seperti ini di dekat rumah yang dikontrak Bapak dan Ibu, mungkin aku tidak akan pernah pindah ke Bandung, Jack. Aku masih ingat, Bapak mengungsikanku ke tempat Nenek karena takut aku kehilangan masa bermain anak-anak yang alami di alam terbuka. Tak mungkin juga kehilangan masa kecil di Jakarta.

Namun, aku bersyukur, pengalaman hidup di kampung yang penuh kegembiraan nyatanya menjadi kisah paling menarik dan ditunggu teman -teman anak Jakarta kala bercerita di depan kelas masa SMA.

Jack, kubayangkan, jika dulu taman ini ada di dekat rumah, Ibu dan Bapak pasti menemaniku belajar sepeda, bermain perosotan dan ayunan, naik tangga besi, atau bermain bola. Setelah puas, kami mungkin menikmati semangkuk es campur yang dijual pedagang yang mangkal di sana.  

Jack, aku membayangkan masa kecil saat itu karena kulihat ada tukang es campur tengah dikerumuni ibu-ibu. Air liurku ikut terbit, apalagi matahari tengah bersinar dengan garangnya. Sejenak melepas lelah dan juga mengenang masa lalu.  Seperti biasa, aku mengantri di belakang ibu-ibu. Tidak mungkinlah berani nyerobot, bisa-bisa diamuk mereka dengan letusan kata-kata ceriwisnya.

Sumpah, Jack, aku hormat sekaligus sungkan kalau sudah berhadapan dengan "pasukan khusus" golongan wanita ini. Aku tidak ingin nasibku seperti bapak pemilik mobil merah yang diberondong celotehan ketus tiga ibu muda berpakaian olah raga beberapa saat sebelum aku memesan semangkuk es campur yang penuh warna-warni dari buah dan sirup.

Walaupun harus menunggu dengan sabar dan lama, akhirnya semangkuk minuman favorit keluargaku akhirnya berhasil kunikmati di bawah rindangnya pohon mangga. Rasa lelah terbayarkan. Jack, angin sepoi-sepoi berhasil membuatku terlelap. Entah berapa lama aku tertidur beralaskan tanah. Rasanya segar dan otot kembali rileks saat azan ashar berkumandang dari masjid terdekat.

Ah, Jack. Memang benar, jika aku banyak berkelana, semakin banyak yang kutahu akan semesta ini. Semangkuk es campur yang terdiri dari alpukat kuning, kelapa putih, cincau hitam, kolang kaling merah, tape, kacang hijau, dan parutan es seolah mendeskripsikan bahwa dalam cawan kehidupan manusia tersaji banyak rasa, pengalaman, tekanan dan juga ujian yang menyatu membentuk manis, asam, dan dinginnya kehidupan.

JEJAK LANGKAH SI TUKANG SOL SEPATUWhere stories live. Discover now