17. Pancarona ( Part 1)

0 0 0
                                    

17 Juli 2022

Hai, Jack.
Asalnya, hari Minggu ini, aku berencana istirahat saja. Apalagi luka di lengan belum sembuh benar. Untungnya tidak terlalu parah. Meskipun begitu, tetap harus sering diolesi obat luka cair yang dibelikan Pak Guntoro kemarin.

Oh ya, Jack. Malam setelah kejadian, bapak itu datang ke kosanku diantar pemilik warteg. Entah dari mana pemilik warteg itu tahu tempat tinggalku. Waktu kutanya, katanya dia tahu dan mengenal Pak Haji Romli.

Memang sih, aku sempat memberi tahunya kalau aku tinggal di sini. Pak Guntoro membawa banyak makanan dan juga buah-buahan. Terakhir sebelum pulang, amplop putih disisipkan ke tanganku dan mengatakan isinya buat berobat.

Jack, aku tahu apa yang diinginkan Pak Guntoro. Setidaknya dengan datang ke kosanku dia punya itikad baik dan tanggung jawab. Satu hal lagi, mungkin dia mengharapkan aku tidak bercerita kepada siapa pun. Apalagi aku terluka yang bisa saja melebar masuk ke ranah hukum.

Begitulah, Jack, terkadang kebaikan itu muncul karena ada sebab akibat atau hadir karena ada sesuatu yang diinginkan. Aku memahami dan tentu saja maklum, bagaimana pun juga, Pak Guntoro ingin menjaga marwah keluarga dan orang tuanya.

Jack, tadi pagi aku mengganti rencana. Segalanya bisa berubah 'kan? Kuputuskan untuk kembali berkeliling. Bagaimana pun juga, tinggal di kamar tanpa aktivitas dan makanan cukup merepotkan. Bayangkan, Jack. Di sini aku sendirian tanpa siapa pun. Mau makan, ya harus keluar, jalan sendiri. Tidak mungkin menunggu makanan datang begitu saja. Memangnya turun dari langit lewat burung pelikan seperti dalam dongeng. Kecuali, ada seseorang datang mengantarkan. Mau pesan makanan lewat aplikasi hijau, sayang sekali. Mahal, Jack! Memangnya berapa penghasilanku saat ini?

Jack, aku memutuskan keliling ke beberapa tempat sekaligus. Aku tidak memilih mangkal di satu tempat saja. Sekalian cuci mata juga. Setidaknya aku bisa membuka cakrawala lain yang selama ini belum diketahui. Aku ingin memiliki koleksi pengalaman hidup yang banyak, Jack. Tidak masalah 'kan? Jika koleksiku berbeda dengan orang lain. Setidaknya, dengan mengumpulkan berbagai pelajaran kehidupan dalam memori bisa membuatku memahami arti hidup.

Jack, kalau bicara koleksi, aku jadi teringat sesorang yang kutemui belum lama ini. Dia pernah memintaku menjahit sepatunya yang kutaksir sangat mahal. Tanpa diminta dia bercerita tentang koleksi laki-laki tampannya. Aku sempat terperangah saat itu. Bagaimana tidak, usianya sudah tidak muda lagi. Kerutan dan garis senyum yang ketara di wajah menyiratkan betapa panjang perjalanan waktu yang dimilikinya. Mungkin, dia seusia Ibu. Oh, tidak! Rasanya tak etis kusandingkan wanita itu dengan perempuan tercinta yang selalu menjaga kehormatan diri.

Jack, sepanjang aku mengerjakan apa yang menjadi pekerjaanku, sepanjang itu pula dia membuka semua rahasianya. Wanita itu mengatakan betapa nyamannya berbincang denganku yang memiliki wajah tidak cocok menjadi seorang pekerja kasar. Sumpah, Jack! Baru kali ini aku jengah dan risi dipuji seperti itu. Mungkin, kalau bukan karena bayaran yang cukup tinggi, rasanya lebih baik aku minggat dari sana dan menghindarinya segera saat itu.

Jack, awalnya aku tidak menyukai cara bicaranya yang sering diselipi embusan rokok kretek dari bibirnya yang menghitam. Batuk-batuk buatan yang sengaja kulakukan nyatanya tak membuat wanita itu berhenti. Justru, aku mendapat kekehan suara parau, keluar dari tenggorokan yang terkontaminasi nikotin itu.

Jack, banyak yang ingin kutulis kejadian tadi, tetapi harus kupending dulu. Ada pesan dari Ibu yang masuk ke ponselku, tentang Bapak. Aku harus menelepon dulu. Nanti kusambung lagi.
Bye, Jack.

JEJAK LANGKAH SI TUKANG SOL SEPATUWhere stories live. Discover now