6. Tak Terduga

1 0 0
                                    


Jakarta, 6 Juli 2022

Hai, Jack,
Hari ini kuputuskan berkeliling ke daerah Rawamangun. Dari Rawasari, Cempaka Putih, aku menyeberangi jalanan besar menuju Jalan Haji Ten.

Asal kamu tahu, Jack, jalanan besar yang selalu penuh dengan kendaraan berkecepatan tinggi itu merupakan perbatasan, memisahkan Rawasari di Jakarta Pusat dan Rawamangun di Jakarta Timur. Targetku saat itu mangkal dan beristirahat di Pasar Sunan Giri setelah menyusuri perumahan.

Seperti biasa, sebelum berangkat, aku sarapan nasi uduk Mak Lela. Pagi-pagi sudah terbiasa berebut antrian dengan emak-emak berdaster yang terkadang suka menyerobot dan cemberut jika gorengan yang dimaunya habis diambil pembeli lain. Untungnya Marni, anak Mak Lela, orangnya gesit. Meskipun sedang hamil dan kelihatan payah, dia tetap  bergerak kesana kemari, mengaduk tepung serta sayuran untuk adonan bakwan dan tahu.

Selain Marni yang super sibuk, ada Mpok Nina, kakaknya, ikut membantu Mak Lela melayani pembeli. Yang aku perhatikan, Mpok Nina berbeda dari adiknya. Dia lebih kalem dan tidak banyak bicara seperti ibunya yang asli Betawi. Begitulah, Jack. Ibarat satu pohon, ada cabang dan dahan yang berbeda, dalam keluarga pun pasti ada sifat dan karakter penghuninya yang saling bertolak belakang.

Kudengar dari cerita penghuni kosan beberapa hari lalu, Mpok Nina itu dulu hidupnya enak dan cukup berada. Suaminya pebisnis sekaligus pemasok alat-alat berat untuk salah satu BUMN yang berkantor pusat di Jakarta. Namun, karena dia posisinya sebagai istri kedua yang disembunyikan, tentu saja tidak bisa mengklaim atau menunjukkan diri secara bebas.

Katanya orang juga, setelah sepuluh tahun pernikahan dan memiliki dua anak, rahasia mereka terbongkar. Istri pertama menuntut suaminya menceraikan Mpok Nina. Sang suami terpaksa memenuhi permintaan itu karena sebagian besar modal bisnis yang dimiliki ditopang keluarga besar istri pertamanya. Mpok Nina sempat depresi dan kembali pulang ke rumah Mak Lela.

Hmm ... Jack,
Aku tidak tahu jika berada di posisi suami Mpok Nina, tapi setidaknya aku bisa meraba perasaannya. Mungkin, suami Mpok Nina mengalami dilema saat itu. Satu sisi dia punya hak menikah lagi dan sudah memiliki anak, satu sisi bisnisnya akan hancur karena apa yang dimilikinya selama ini ada campur tangan istri pertama dan keluarganya yang kaya. Aku sering sekali mendengar kisah seperti ini. Terkadang, rumah tangga bisa hancur dan berantakan, tapi ada yang tetap bertahan, meski sudah tidak sama lagi kondisinya.

Eh, Jack!
Aku bertemu lagi gadis yang tempo hari membentakku di lapak Mak Lela. Dia rupanya mahasiswa kedokteran di kampus negeri. Dih, calon dokter jutek banget ya, Jack! Bagaimana nanti berhadapan dengan pasiennya. Yang ada kabur duluan dan kapok datang lagi. Begitu pemikiranku saat itu.

Gadis itu rupanya anak pemilik rumah di depan jalanan besar. Aku mendapat info dari Mak Lela sewaktu kutanya karena penasaran.

Aku heran, Jack. Orang tuanya tidak sejudes dia, bahkan sangat sopan dan ramah memperlakukan orang lain. Aku tahu, karena bapaknya pernah memanggil untuk mereparasi beberapa pasang sepatu sebelum diberikan kepada orang lain. Ibunya juga tidak pelit, Jack. Selagi aku menjahit, dia membawakan gorengan dan minuman dingin. Kedua juga sempat mengajakku ngobrol. Saat itu, Anneke, nama gadis itu, tidak ada di rumah.

Aku melihatnya di depan Pasar Sunan Giri. Gadis itu tidak menyadari kehadiranku yang terhalang gerobak bakso. Apalagi, aku memakai topi rimba dan masker. Kondisi belum sepenuhnya bebas pandemi membuatku masih sering menggunakannya di alam terbuka, jadi aku bisa melihat sekeliling tanpa dikenali.

Anneke sepertinya sedang membeli sesuatu. Jarak dua puluh meter membuatku jelas melihat apa yang dilakukannya. Di sampingnya, ada seorang ibu dan bocah berusia sekitar lima tahun. Kupikir, keduanya hendak membeli barang yang sama dengan Anneke.

Tiba-tiba dari belokan melaju sebuah motor berkecepatan kencang, sepertinya hilang kendali. Saat itu, Anneke sudah berjalan menjauh dari pedagang tadi. Kejadiannya begitu cepat, motor itu menghantam keras ibu dan anaknya. Suaranya cukup keras. Bahkan, gerobak pedagang itu pun terlihat miring dan rusak.

Jack,
Aku dan orang-orang yang melihat segera berlari ke arah kejadian. Suasana gaduh dan tegang. Teriakan permintaan tolong terdengar. Tempat itu penuh dengan kerumunan orang-orang. Kulihat ibu dan anaknya terkapar. Namun, si ibu terlihat parah, ada beberapa bagian tubuhnya mengalami pendarahan, sedangkan anaknya masih bisa duduk, meskipun terluka. Dia menangis seraya memanggil ibunya.  Beberapa wanita berusaha membujuk si bocah. Sementara si pengemudi motor terduduk lesu dengan wajah pucat, dijaga beberapa orang. Omelan pun melayang kepadanya.

"Tolong, jangan berkumpul di sini semua. Kasih kelonggaran, supaya ada oksigen buat bernapas. Kasihan ibu dan anaknya."

Jack!
Si Anneke itu yang bicara! Dia balik lagi rupanya. Dia juga meminta beberapa orang menghubungi petugas medis. Setelah itu, dengan cekatan Anneke memeriksa kondisi keduanya sambil berlutut. Dia kemudian membuka tas besar yang dibawanya. Jack, kamu tahu apa isinya? Peralatan kesehatan cukup banyak dan kulihat ada kotak P3K. Dengan cepat dia menekan, lalu menutup bagian luka terbesar dengan perban. Anneke juga sempat bertanya kepada ibu itu, mengalami  sesak atau tidak. Ibu itu mengangguk pelan.

Kudengar Anneke meminta izin untuk melonggarkan ikat pinggang dan kancing baju paling atas. Dia juga meminta orang-orang untuk mencari benda untuk menopang kaki perempuan itu. Aku berlari ke tempat menyimpan kotak sol dan membawa tempat duduk kayu. Setelah itu kuberikan padanya. Ketika menerimanya, Anneke menatapku, hal itu membuat grogi.

"Mas, jangan melongo gitu. Tolong kaki ibunya diangkat, ganjel pake bangku, ya. Aku mau obatin adek kecil dulu."

Saat itu, aku kaget, Jack. Sumpah!
Anneke kembali berbicara padaku, tapi lebih lembut dan seperti meminta pertolongan. Dengan perasaan sedikit aneh menggelayut di dada, aku segera melakukan apa yang yang dimintanya. Gadis itu kembali fokus mengobati luka-luka di di tubuh si bocah yang masih terisak di sisi ibunya.

Jack,
Entah kenapa, ada perasaan haru menyeruak melihat semua itu. Berulang kali aku mengalihkan pandangan kepada Anneke, bocah, dan ibunya. Aku seolah melihat diriku sendiri sewaktu kecil. Persis seusia bocah itu. Aku pernah merasa ketakutan akan kehilangan Ibu saat perempuan yang kucintai itu dirawat di rumah sakit. Saat itu, aku  hanya bisa menangis dan memegang tangan Ibu sambil menatap wajah pucatnya .

Harapanku membesar saat seorang dokter perempuan datang dan memeriksa. Dengan lembut, dokter muda itu mengatakan jika Ibu bisa sembuh asal obatnya diminum. Kini, fragmen yang pernah kulakoni, seolah terulang kembali kepada bocah itu, dan Anneke, memang belum menjadi dokter, tetapi dia sudah menjalankan tugasnya sebagai calon dokter dengan menolong orang yang membutuhkan.

JEJAK LANGKAH SI TUKANG SOL SEPATUWhere stories live. Discover now