12. Masa Lalu

1 0 0
                                    

12 Juli 2022

Halo, Jack,
Jika kemarin aku menulis hal yang tak sengaja kutemui dan bikin merinding, kali ini aku ingin bercerita tentang sisi lain Kemayoran. Mengenai dua tempat penting yang melemparkanku ke masa lalu. Tempat itu bernama ... Pekan Raya Jakarta dan Wisma Atlet Kemayoran.

Dulu, waktu aku kecil, Bapak dan Ibu sering mengajakku ke PRJ. Senang sekali karena tidak setiap bulan bisa ke sana. Kamu tahu 'kan, Jack. Pekan Raya Jakarta atau dulu disebutnya Jakarta Fair, hanya diadakan setahun sekali selama sebulan dari Juni sampai Juli, dalam rangka menyambut ulang tahun Jakarta. Kalau menurut cerita Bapak, diadakannya pameran ini pertama kali sebagai bentuk bangkitnya perekomian  setelah kejadian G30S/PKI.

Jack, bisa dikatakan, pameran berskala besar ini sebagai bentuk penyatuan semua pasar malam yang ada di kota ini. Mungkin, saking banyaknya pasar malam menjadi tempat hiburan rakyat, gubernur saat itu, Bang Ali, setuju dengan usulan dibuatnya Jakarta Fair.

Jakarta Fair pertama kalinya diadakan tahun 1968 di Monas. Sukses tuh, Jack. Akhirnya, PRJ menjadi agenda rutin Pemda DKI. Nah, pada tahun 1992, aku belum lahir saat itu, PRJ pindah ke Kemayoran, tepatnya di Jakarta Internasional Expo sampai sekarang. Namun, saat pandemi melanda, selama dua tahun PRJ ditiadakan.

Dulu, rasanya satu kemewahan bisa masuk ke arena ini, Jack. Kenapa, ya? Bisa jadi pergi ke PRJ adalah  kenangan indah tidak terlupakan untuk kami dari keluarga sederhana saat itu. PRJ seolah menjadi hiburan murah dan terjangkau, Jack. Tidak seperti masuk ke Ancol dan Dunia Fantasi. Aku hanya bisa memandang dari luar saja dengan perasaan penasaran. Pikiranku selalu berputar dan bertanya pada diri sendiri, kapan aku bisa masuk ke Dufan dan naik wahana yang selalu dibicarakan teman-teman? 

Kadang, aku hanya bisa melongo saat mereka bersemangat menceritakan serunya naik Bianglala, atau betapa menakutkan duduk di Kora-kora. Duh, Jack. Kalau ingat itu, sedih rasanya.

Satu hari, aku masih ingat sekali, Bapak ingin mengajakku ke Dufan dan beliau sengaja menabung cukup lama. Setiap waktu selalu kutanya mengenai jumlah uang yang sudah terkumpul. Bapak bilang, masih kurang karena Bapak ingin mengajak Ibu yang saat itu sedang hamil Raya. Sampai akhirnya, Bapak bilang tabungannya sudah cukup.

Namun, saat esok harinya kami mau berangkat, kotak sol Bapak hilang di parkiran sebuah toko besar. Saat itu Bapak tengah salat Zuhur di masjid, tidak jauh dari lokasi. Beliau menyimpan kotak di pojok toko dekat tong sampah. Entah ada yang berniat jahat atau bagaimana. Akhirnya, uang simpanan Bapak untuk pergi ke Dufan dipakai membeli perlengkapan sol baru.

Jack, di PRJ, Bapak senang mengajakku ke stan makanan ringan atau main mandi bola, terkadang, kalau ada uang sisa, Bapak membeli tiket Bom-bom Car. Meskipun hanya sekali, itu sudah membuatku puas dan senang.

Kamu tahu apa yang dilakukan Ibu saat itu? Ibu paling suka masuk ke stan alat-alat rumah tangga dan baju-baju. Kadang, jika harganya ada yang murah atau diskon gede, Ibu berani membelinya. Itu pun kalau ada uang sisa belanja yang disimpan di kaleng bekas biskuit dekat gentong beras. Untuk barang-barang mewah, Ibu hanya bisa memandang kagum sambil berkata  pelan jika suatu saat beliau bisa membelinya. Kalau sudah begitu, Bapak menghibur Ibu dengan mengusap punggungnya.

Setelah masuk SMP, aku tidak lagi ke pameran itu, Jack. aku lebih memilih berkegiatan di alam dengan teman-teman di Bandung. 

Satu hal lagi yang belum kuceritakan padamu, Jack, mengenai Wisma Atlet Kemayoran. Sebentar ... aku ingin menarik napas panjang dulu sebelum menulis kembali. Dadaku terasa sesak.

Dulu, aku pernah memiliki teman dekat, orang Bandung. Sarah, namanya. Bisa dikatakan, hubungan kami ini aneh. Pacar bukan, tetapi aku dan Sarah seolah memiliki ikatan, saling membutuhkan. Sampai akhirnya, kami terbuka satu sama lain. Kukatakan jika aku menyukainya, tetapi jika dia tidak memiliki perasaan yang sama, aku tidak masalah. Ternyata, Sarah juga menyukaiku, Jack. Saat itu, aku merasakan sebuah sensasi jatuh cinta yang sebenarnya.

Sarah cantik dan baik. Dia mahasiswa keperawatan. Aku dan Sarah berkomitmen, kami tidak akan saling terbuka kepada siapa pun mengenai hubungan ini sampai kami menggapai impian masing-masing. Aku ingin menjadi pebisnis dan Sarah bekerja di rumah sakit. Itu rencana awal. Kami saling suport saat itu. Hingga akhirnya, pandemi datang dan Sarah lulus kuliah.

Karena panggilan jiwa, Sarah mendaftar menjadi relawan tenaga kesehatan angkatan pertama di Wisma Atlet, Jack. Berani sekali dia. Tidak ada ketakutan akan tertular virus yang sangat berbahaya saat itu. Orang tuanya tidak bisa mencegah atau mematahkan tekad Sarah, apalagi aku yang saat itu masih merangkak dalam usaha serabutan. Sarah meminta pengertianku. Mau tidak mau, aku hanya bisa mengangguk dan mendoakannya meskipun hati ini banyak ketakutan.

Berbulan-bulan dia mencurahkan segalanya di sana, padahal nyawa taruhannya. Kami jarang berkomunikasi dan bertemu. Apalagi kondisi Jakarta cukup genting saat itu. Hingga akhirnya, suatu saat aku mendapat kabar jika Sarah mengikuti seleksi Caba TNI AL lewat jalur khusus tenaga kesehatan dan dinyatakan lulus setelah mengikuti serangkaian tes.

Aku kaget, Jack. Ada apa dengan Sarah. Kenapa, ya? Kenapa dia tidak berdiskusi denganku terlebih dahulu. Aku kemudian meminta penjelasan panjang saat ada kesempatan bertemu setelah sekian lama sulit menghubunginya.

"Aryo, aku ingin mengabdi kepada negara. Ibu Pertiwi memanggil para nakes seperti aku dan teman-teman untuk berjuang. Apalagi, menjadi perawat atau tentara adalah dua hal yang aku inginkan selama ini. Ini impianku, Yo. Kebetulan ada kesempatan. Sayang sekali jika kulewatkan."

Saat itu, aku mendengar suaranya terasa asing dan jauh di telinga. Sarah yang kukenal lembut, berubah menjadi sosok tegas dan berwibawa. Kupandangi matanya dalam-dalam, mencari  binar-binar cinta yang pernah berpendar saat menatap. Masih ada, Jack. Namun, berkurang dan terhalang sekat impian. Aku sadar, kami berada di jalur yang berbeda. Kami tidak bisa lagi menjadi satu ikatan. Dia ... telah memilih jalan terbaik untuk masa depannya.

Sejak saat itu, Jack, aku tidak lagi pernah melihatnya atau berkomunikasi. Dia langsung mengikuti pendidikan di Surabaya. Tidak ada yang kusesali. Hanya doa-doa mengalun untuknya. Sarah punya hak untuk mengatur kehidupannya. Beberapa waktu yang lalu, seorang kawan memperlihatkan foto Sarah tengah tersenyum dalam balutan seragam loreng kebanggaannya di depan sebuah rumah sakit. Cantik sekaligus gagah. Sarah, semoga selalu bahagia.

Jack, kusudahi tulisan ini. Aku tidak ingin lagi terlena kenangan tentang Sarah Prandina Malika. Biarlah, memori itu terkubur bersama embusan angin dan perjalanan waktu.

JEJAK LANGKAH SI TUKANG SOL SEPATUWhere stories live. Discover now