7. Malaikat tak Bersayap

1 1 0
                                    

7 Juli 2022

Halo, Jack!
Aku masih ingin bercerita tentang Anneke, boleh 'kan? Bukan apa-apa, setelah kejadian kemarin itu setidaknya aku tahu jika dugaan selama ini pada gadis itu tidak sepenuhnya betul. Anneke memiliki sisi baik juga, meskipun di luar dia terlihat judes dan sombong.

Anneke kemarin berinisiatif membawa ibu itu dan anaknya ke rumah sakit, setelah sekian lama menunggu petugas medis tak kunjung datang. Katanya, ibu dan anaknya harus segera ditangani segera di rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Untungnya, si ibu sadar dan sudah bisa menggerakkan tubuhnya. Anneke meminta bantuan orang-orang untuk mengangkat ibu itu ke mobilnya yang terparkir beberapa meter dari tempat kejadian.

Si penabrak? Oh, tentu saja ditangani polisi dengan cepat, itu pun hampir saja wajahnya babak belur dipukuli orang-orang yang kesal padanya.

Jack, Anneke memintaku untuk menemaninya ke rumah sakit.  Oh, please! Aku yang masih grogi saat itu, bertambah  kaget dan deg-degan. Gadis itu seperti tidak butuh jawaban, yang dia inginkan aku segera mengikuti langkahnya menuju mobil. Secepat kilat aku mengembalikan bangku kayu dan kotak sol pun dititipkan ke tukang bakso. 

Jack, dalam perjalanan, Anneke fokus dengan kemudinya. Sesekali dia menengok ke belakang, ke tempat si ibu dan anaknya duduk. Bersyukur, si ibu bisa duduk dengan baik, meskipun wajahnya sering terlihat meringis. Di sampingnya, si bocah memeluk tangan ibunya erat-erat.

Aku bingung, Jack. Anneke tidak sedikit pun mengalihkan perhatian kepadaku, atau setidaknya ada obrolan apa pun. Padahal, aku duduk di sebelahnya. Diam-diam kuperhatikan, ternyata Anneke cantik juga. Kulitnya putih, mata bulat yang beberapa waktu memelototiku itu dibingkai bulu mata lentik dan lebat. Gadis itu mirip ibunya.

"Mas, tolong Ibu dan Adek itu kasih minuman yang ada di boks kecil, mungkin mereka haus."

Suara Anneke menyadarkanku saat itu. Sepertinya, dia tahu jika aku memperhatikannya. Untuk menutupi  galau hati ini, aku segera memberikan ibu dan anak itu minuman kaleng. Si bocah begitu antusias, mungkin dia kehausan. Anneke kembali menatap ke depan mencari rumah sakit terdekat.

Sesampai di rumah sakit, Anneke bergerak cepat. Dia menghubungi petugas UGD dan meminta segera ditangani. Semua dia yang mengurus. Aku mengikuti seraya memegang si bocah. Jack, aku merasa kagum pada gadis itu. Kepeduliannya kepada orang lain begitu besar. Kembali, aku merasa salah menilai.

Seharian kemarin aku menemani Anneke hingga sore. Menurut hasil pemeriksaan dokter, tidak ada masalah berat di bagian dalam tubuh si ibu, meskipun begitu, dia mendapatkan jahitan cukup banyak di beberapa bagian tubuhnya. Setelah itu, mereka diperbolehkan pulang. Anneke menanggung semua biaya. Bahkan, gadis berambut sebahu itu memberikan uang kepada si ibu dan mengantarkan mereka pulang ke Kayumanis. Dia baik ya, Jack.

Sepulang dari sana, Anneke mengajakku ke sebuah restoran mewah di Jalan Salemba Raya. Duh, aku malu lagi, Jack. Anneke yang rapi dan harum mau berjalan denganku yang beralaskan sandal jepit. Bajuku juga tidak bagus. Aku terlihat kampungan. Bahkan, ada beberapa teman Anneke yang sempat bertemu dengan kami di depan parkiran mengerutkan dahinya dengan pandangan aneh saat melihatku.

Kudengar, salah satu dari mereka, seorang laki-laki, mengatakan sesuatu saat itu.

"Ne, lu enggak salah? Ke sini bawa siapa itu? Enggak mungkinlah bodyguard lu yang baru. Kucel gitu."

"Stt ... Dia tetangga gue. Tadi abis nolong orang kecelakaan. Eh, dia jago jahit, lho! Mungkin mulut lu yang nyinyir mau dijahit sekalian?"

Jack!
Aku mendengar Anneke berkata seperti itu hanya bisa tertawa kecil. Bahaya! keluar lagi garangnya. Kulihat temannya melotot, lalu tertawa sambil mencolek pipi gadis itu. Jack, aku merasa kurang suka dengan perlakuan pemuda itu. Kurang ajar sekali. Tidak sopan, seperti meremehkan. Tapi, apa hakku? Anneke bukan siapa-siapa. Bahkan kami pun tidak terlalu kenal. Aku dan dia seperti bumi dan langit.

Jack, gadis itu gambaran perempuan modern yang memiliki banyak impian dan keinginan tinggi untuk masa depannya. Dia juga bukan tipe orang yang berdiam diri  menunggu keajaiban datang. Kehidupannya  penuh perhitungan, bukan seperti Cinderella dan sepatu ajaibnya. Lagi pula, Jack, tidak mungkin dia menurunkan standarnya untuk orang sepertiku ini. Kalau pun aku diajaknya makan, anggaplah bayaran sebanding dengan bantuan yang dimintanya. Apalagi, pagi hari sebelum kejadian itu, aku baru menjahit  sepasang sandal milik nenek tua yang tarif hanya dibayar dengan setangkup roti bakar isi cokelat. 

"Mas, kok ngelamun? Dari tadi aku manggil lho. Enggak denger, ya? Aku udah di dalem, Mas malahan diam aja. Ayo, kita makan dulu sebelum pulang."

Lamunanku buyar seketika saat itu, Jack.  Rupanya, teman-teman Anneke sudah tidak ada lagi di parkiran, dan aku mendapati diri ini tengah berdiri di depan pintu masuk. Anneke rupanya sudah memesan beberapa menu makanan. Terus terang, perutku bereaksi meminta haknya untuk segera diisi. Cacing-cacing kelaparan itu pasti senang sekali. Makanannya membuat air liurku hampir menetes. Ada ikan, sayuran, daging, dan entah apalagi yang tersaji di piring oval putih itu. Aku belum pernah melihatnya. Anneke pintar memilih menu.

Aku sungkan, Jack. Takut cara makanku menarik perhatian Anneke dan orang-orang. Sesekali kuintip cara makannya. Pisau di kiri, garpu di tangan kanan saat memotong daging.  Aku hendak mempraktikkannya. Hmm ... Jack, niatku ingin terlihat natural, tetapi, daging itu sulit dipotong dan terlempar ke meja. Anneke tertawa. Duh, Jack, andai ada kaca di depanku, wajah ini pasti memerah menahan malu tingkat dewa. Aku meminta maaf seraya mengusap kening yang berpeluh.

"Enggak kenapa, Mas. Santai aja, udah sebisa Mas aja makannya gimana. Pegang dagingnya pake tangan aja sebelum digigit. Aku juga ribet makannya pake ala table manner begini."

Anneke menjauhkan pisaunya setelah berbicara tadi. Dengan cuek, dia mengambil sepotong iga bakar dan memasukkannya  ke mulut tanpa bantuan garpu. Gadis itu tertawa dan menyuruhku melakukan hal serupa. Yeah, Anneke, dia mencairkan suasana yang bikin aku ingin kabur dari tempat itu. Selesai makan, kami pulang.

Ketika melewati taman bermain anak-anak yang sudah sepi, sekitar 100 meter dari lokasi kontrakan Haji Romli, aku meminta turun di depan gang. Anneke heran, karena kosanku berada di belakang rumahnya. Kukatakan saja jika aku hendak menjahitkan sepatu milik salah satu penghuni kontrakan. Namun, bukan itu alasannya. Aku tidak ingin mengundang pertanyaan orang-orang dekat rumah Annneke. Apalagi tertangkap basah emak-emang berdaster yang suka bergibah.

"Mas, kan ikut aku enggak bawa kotak sol. Gimana mau jahit sepatu orang?"

Jack, kotak solku 'kan masih di tukang bakso. Jadi, besok bagaimana?

JEJAK LANGKAH SI TUKANG SOL SEPATUWhere stories live. Discover now