#6 (Judulnya Nyusul)

248 23 4
                                    

"Heh cupu!" Aku menggebrak meja kantin yang sedang ditempati cewek tidak tahu diri itu dengan tiba-tiba. Cewek itu mengangkat pandangannya, lalu menatapku takut-takut. Perhatian seluruh orang di kantin langsung terarah pada kami. Aku melipat tanganku ke depan. "Berani banget lo deketin cowok gue!"

Aku bisa melihat dia gemetar ketakutan. Halah. Sok lemah. "Gu—Gue ..."

"Haduh. Capek gue dengerin lo. Udah cupu, gagu lagi. Ngomong yang jelas!" Aku mengakhiri kalimatku dengan menggebrak meja lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya sampai tanganku terasa panas.

"Bukan begitu Cher ...." Dia berbicara dengan suara bergetar. Cewek di depanku ini benar-benar menyebalkan. Cupu. Namaku yang super imut jadi tidak imut lagi saat dia menyebutnya. "Gue sama dia emang nggak sengaja sekelompok kemarin. Tapi itu bener-bener nggak sengaja. Bukan kemauan gue."

"Halah, alesan!" Aku lalu berbicara kepada semua orang yang saat ini telah mengerubungi kami. "Kalian semua denger ya, kalo ada satu orang pun yang masih mau temenan sama dia." Aku menunjuk cewek cupu itu. "Gue jamin masa-masa SMA kalian nggak bakalan tenang."

Semua langsung menanggapinya dengan anggukan. Bagus. Aku ini memang keren banget.

Tiba-tiba saja aku merasakan lenganku ditarik oleh orang yang masih gaje. Aku ingin berteriak marah kepadanya. Tapi saat aku menyadari siapa orang yang menarikku keluar kantin, aku tidak jadi marah-marah.

"Kamu ngapain sih?" Orang itu, Azka, menatapku tajam. Dia itu kenapa sih? "Maksud kamu apa bilang kayak gitu ke orang-orang? Jahat banget sih kamu!"

Aku menghela nafas sambil menggelayut manja di lengan Azka. "Sayang, kamu tuh nggak ngerti. Dia itu suka sama kamu."

"Ya, yang penting aku kan nggak suka sama dia. Udahlah kamu jangan berlebihan gitu."

"Berlebihan gimana sih?" Aku mendengus kesal. "Ya, sekarang kamu nggak suka. Tapi, kalo dia deketin kamu terus kan lama-lama kamu bisa suka."

"Dia nggak deketin aku." Azka berkata dengan nada yang tidak bisa terbantahkan. "Kita nggak segaja sekelompok. Nggak sengaja karena itu bu Rita yang pilih. Kalo kamu mau marah, harusnya kamu marah sama bu Rita, bukan sama Indri!"

Oh jadi namanya Indri. "Kok kamu jadi belain dia sih?" Aku menghentakkan kakiku kesal.

"Terserah kamu deh!"

Aku hanya menatap kesal kepergian Azka. Dia kenapasih? Marah-marah terus. Akukan hanya tidak ingin kehilangannya. Kenapasi dia tidak mengerti, betapa aku sangat mencintainya?

♥♥♥

Azka. Sudah hampir satu tahun aku berpacaran dengannya. Menurutku dialah satu-satunya yang dapat mengerti dan sabar dengan sifatku yang—sebenarnya aku malas mengakuinya—kekanak-kanakakkan sekali. Aku mengenalnya sejak SMP. Dulu, dia itu bandel sekali. Suka bolos. Suka keluyuran tidak jelas. Lalu entah mengapa aku jadi dekat dengannya. Mengetahui alasan dia sering begitu. Menjadi tempatnya berbagi cerita. Perlahan namun pasti, dia berubah ke arah yang lebih baik. 

Ngomong-ngomong soal Azka, akhir-akhir ini aku tidak berkomunikasi sama sekali dengannya. Entahlah. Mungkin dia masih marah. Aku tidak mengerti. Padahal yang kulakukan sudah benar, kan?

Hari ini, kuputuskan untuk meminta maaf padanya. Walaupun aku masih belum terlalu yakin kalau aku yang salah, tapi aku akan minta maaf. Aku sangat merindukannya. Jadi kusingkirkan semua egoku deminya. Demi hubungan kita.

Aku menyusuri koridor sekolah ke arah kelas Azka. Koridor lumayan sepi karena bel pulang sudah berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu. Tapi aku yakin Azka masih di kelasnya. Dia kan, ketua kelas yang sangat bertanggung jawab. Pasti dia memastikan dan menunggu sampai giliran piket hari itu selesai melakukan tugasnya dengan benar.

Behind Every LaughWhere stories live. Discover now