One Call Away

235 21 16
                                    

SPECIAL THEME : One Call Away - Charlie Puth

"Kenapa aku?"

"Ya kamu lah." Tania menjawab jutek. Aku hanya menunduk. "Sekarang gini deh, yang pacar aku siapa? Kan kamu! Masa aku minta tolong orang lain buat ngelakuin hukuman aku? Terus apa gunanya kamu?"

Aku mengangkat pandanganku. Ingin protes, tapi raut wajah Tania yang sedikit kesal membuatku mengurungkan niat. "Yaudah iya, sayang. Aku yang bakal ngelakuin hukuman kamu buat ngeberesin gudang sekolah karena udah bolos sekolah."

"Nah gitu dong." Tania melebarkan senyumnya. Aku ikut terseyum melihatnya bahagia. "Oh iya, Van. Sekalian kerjain tugas kimia aku ya?"

Lagi-lagi dia memintaku mengerjakan tugasnya. Dan lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. "Emangnya kenapa kamu nggak bisa ngerjain? Kamu nggak ngerti? Mau belajar bareng?"

"Udahlah nggak usah banyak tanya." Tania mendecak sebal.

"Ya kan aku perlu tau." Aku berkata, lirih. Sial. Aku benci menjadi lembek di depan Tania.

Tania melirik jam tangannya. "Soalnya aku mau pergi sama gengnya Gary sampe malem. Jadi nggak sempet." Oh. "Yaudah aku tinggal ya, kayaknya mereka udah nunggu. Yang becus beresin gudangnya. Bye!"

Aku hanya bisa menatap tak berdaya Tania yang perlahan menjauh. "Tania!"

Dia berbalik, menatapku dengan sebal.

"Aku sayang kamu!"

Tanpa membalas kalimatku, Tania tetap melanjutkan perjalanannya dan menghilang di balik gerbang sekolah.

Aku memejamkan mata sebentar. Lelah. Kenapa selalu saja begini? Kenapa Tania selalu saja begini? Seakan aku bukanlah apa-apa baginya. Seakan... Aku hanyalah orang yang pantas ia suruh-suruh. Bukan pacarnya.

Aku tak keberatan jika sekali dua kali dia menyuruhku mengerjakan tugasnya, sungguh. Aku senang melihatnya bahagia. Aku senang melakukan sesuatu yang membuatnya tersenyum. Tapi mungkin dia tidak mengerti kalau aku bukan pembantunya.

Ah, apa yang baru saja aku pikirkan? Aku mencintainya. Karena itu aku rela melakukan apa pun yang dia ingin. Aku ingin dia selalu membutuhkanku. Aku mencintainya dengan sungguh-sungguh.

Jangan mengeluh, dan lakukan saja apa yang dia suruh.

Perlahan aku menghampiri bola basket yang terletak di sudut ruangan. Gudang ini terletak persis di depan lapangan sekolah karena semua alat-alat olahraga yang dimiliki sekolah disimpan di sini. Gudang peralatan olahraga tepatnya. Sekolah sudah sepi karena bel pulang sudah berbunyi sekitar lima belas menit yang lalu.

Pertama yang aku lakukan adalah membereskan alat-alat yang ada di sini. Memasukan bola basket ke dalam tempat khusus bola basket, memasukkan kok ke dalam tabungnya, menggulung matras, dan lain sebagainya.

Setelah itu aku membersihkan debu-debu yang ada dengan kemoceng yang aku temukan di balik pintu. Debu yang terbang saat aku membersihkan ruangan sempat membuatku batuk-batuk sebentar. Tapi aku tetap melanjutkannya agar pekerjaan ini cepat beres dan selanjutnya tinggal mengerjakan PR kimia Tania.

Tenanglah, debu-debu ini tidak akan membuat asmaku kambuh kan?

Tapi ternyata, dugaanku salah. Tiba-tiba saja aku jadi susah bernapas. Sial. Keringat dingin sudah mengalir di dahiku. Aku coba bernapas pelan-pelan, tapi gagal.

Sial lagi, sekarang aku sudah terduduk di lantai dan rasanya seperti hampir mati karena susah bernapas. Sial. Sial. Sial. Susah sekali rasanya bergerak ke arah tasku yang ada di luar gudang.

Behind Every LaughNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ