#17 Damn you, Arka.

191 16 4
                                    

#30DaysWritingChallenge Day 17: Someone who broke your heart.

Apa yang salah dari orang yang nggak pinter Matematika?

Bertahun-tahun gue sekolah dan baru ngerti jawaban dari pertanyaan tadi akhir-akhir ini. Nggak ada yang salah dari orang yang nggak pinter MTK. Yang jadi masalah adalah, waktu orang yang lo suka, ternyata hobbi banget sama pelajaran yang satu itu. Dan, jelas. Dia lebih tertarik sama cewek yang juga pinter MTK. Kayak Arka yang tertarik sama Tata.

Awalnya, gue kira hubungan Arka sama Tata cuman sebates patner MTK biasa. Tapi ternyata... Ternyata guelah yang jadi orang ketiga di antara hubungan mereka. Haha. Tai emang.

Arka sama Tata adalah temen sekelas waktu kelas sepuluh. Sementara gue baru kenal mereka waktu kelas sebelas. Arka jailin Tata waktu kelas sepuluh, dan berhenti jailin di kelas sebelas karena... Entahlah, gue nggak paham. Yang gue paham, sejak Arka berhenti jailin Tata, Arka jadi mulai sering jailin gue.

Sakit banget waktu tau ternyata semua adegan jail yang Arka lakuin ke gue adalah adegan yang dulu pernah dia lakuin ke Tata. Semua anak yang ada di kelas, sebelas nganggep gue sama Arka itu couple paling cocok. Haha. Bego banget gue nganggep Arka suka sama gue. Arka sama Tata pasti juga dianggep couple paling cocok di kelas sepuluh. Tapi, Tata nggak bego. Arka emang suka beneran sama dia.

Dan, apa selanjutnya? Kenapa Arka mulai ngejailin gue? Karena Tata udah capek dijailin sama Arka. Karena Arka butuh pelarian dan akhirnya dia ke gue. Karena gue juga suka teriak-teriak kayak Tata. Karena Arka cuman mau mastiin, apa bener Tata suka sama dia, dan bikin Tata cemburu lewat gue. Tapi, setelah Tata deteng lagi? Arka pergi. Dia buang gue kayak gue adalah sampah yang paling hina. Dia bahkan nggak nganggep gue ada. Haha. Poor me.

Setelah Tata balik lagi, bahkan buat ngobrol sama Arka aja susahnya minta ampun. Padahal biasanya, dulu, Arka yang bersikap seolah-olah ngejar-ngejar gue. Bukan. Ini semua bukan salah Tata. Dia juga pasti ngerasain yang gue rasain. Dia juga pasti cemburu banget sama gue. Sakit hati banget sama gue. Tapi bedanya, dia sama Arka berakhir bahagia. Sementara gue... Haha. Miris. Sekali lagi gue bilang, kalo ternyata di sini guelah yang jadi orang ketiganya.

Sakit banget. Nunjukin ke orang-orang kalo hubungan kita berarti banyak, tapi kenyataannya? Gue doang yang ngarep. Haha. Kasian.

Gue denger. Gue denger waktu Arka akhirnya ngungkapin perasaannya ke Tata. Mereka ketawa. Bahagia. Gue juga bahagia. Bahagia sampe nggak tau lagi gimana caranya buat ketawa.

Gue yang udah terlanjur suka sama Arka. Tapi nyatanya, sampe kapanpun, hati Arka ya cuman buat Tata.

Gue ngedorong pintu kelas dari dalem dengan kasar. Ngebuat Arka sama Tata yang lagi duduk sambil ketawa di bangku panjang di depan koridor kelas, ngelirik sekilas ke gue. Gue nggak peduli. Gue langsung naik ke lantai paling atas gedung sekolah. Gue cuman mau sendiri. Gue mau baik-baik aja.

Bener. Lantai paling atas sepi, karena emang kelas dua belas yang nempatin udah mulai libur. Bagus. Gue langsung masang earphone sambil nyender di tembok yang ngadep langsung ke taman sekolah.

I'm broken, do you hear me?

Sialan. Dari sekian banyak lagu di dunia ini, kenapa harus lagu More Than This dari One Direction yang keputer?

Seiring dengan keputernya lagu itu, nggak tau kenapa, senderan gue di tembok semakin lama semakin merosot. Jadilah gue sekarang jongkok. Nahan mati-matian air mata yang udah ngegantung di sudut mata gue. Merana banget.

Nggak. Nggak boleh nangis. Rania nggak boleh nangis. Jadi gue angkat dagu gue tinggi-tinggi. Nggak boleh nangis. Sialan, air mata yang udah gue tahan akhirnya turun juga. Haha. Dasar cengeng.

"Damn you, Arka." Gue memaki pelan di sela isakan gue. Kenapa bisa begini sakit? Padahal gue udah nangis. Kenapa masih sesakit ini?

Tiba-tiba aja sebuah tangan muncul di depan gue. Nyodorin satu bungkus tissue kecil dua ribuan. Gue ngedongak. Dan nemuin kalo tangan yang muncul tiba-tiba tadi punya temen sekelas gue, namanya Reyhan.

Gue langsung lepas earphone gue. Waktu gue nggak juga nerima tissue yang disodorin Rey, cowok itu mutusin buat narik tangannya lagi, terus ikutan jongkok di samping gue.

Malu, gue lap sisa-sisa air mata gue pake punggung tangan.

"It's okay to crying." Gue nengok sedikit. "Nangis aja. Nggak apa-apa."

Gue tetep diem. Gue nggak mau dikecewain lagi sama perhatian yang tiba-tiba gini.

"Kadang, kita emang nggak bisa milih sama siapa kita jatuh cinta," katanya lagi. "Tapi kita bisa milih, siapa orang yang pantes dan nggak pantes buat kita tangisin."

Diam-diam gue mengiyakan kata-katanya.

"Kalo lo udah nangis tapi belom ngerasa lega, itu artinya lo harus cerita."

Dasar berisik. "Itu artinya gue butuh sendiri."

Rey tersenyum maklum. "Kalo lo berubah pikiran, lo tau kemana lo harus cerita." Rey lalu bangkit. Dan bersiap turun. Sialan.

"Oke."

Dia berbalik. "Oke?"

"Oke gue cerita."

Rey kembali lagi berjongkok di samping gue. "Soal Arka kan?"

"Iya." Gue mengangguk. "Bukan salah dia. Bukan salah Tata juga. Tapi salah gue. Salah gue yang terlalu berharap lebih sama perhatiaannya Arka."

Kenapa rasanya begini sakit?

"Bukan salah lo." Hah? "Cewek nggak bakal baper kalo cowoknya nggak caper, kan?"

Haha. Kenyataanya dari awal, Arka emang cuman caper ke Tata. Gue emang bego.

"Berhenti nyalahin diri lo sendiri, Rania." Yaampun, suara Rey kedengeran begitu tulus di kuping gue. "Yang udah yaa biarin aja udah."

"Udah gue iklasin. Cuman rasanya, yah masih sakit aja gitu. Lo nggak bakal ngerti seberapa ancurnya gue sekarang."

Rey langsung menatap gue dalam-dalam. Kenapa gue jadi salting gini? "Ya lo ambil aja hikmahnya."

"Apa tuh?" Gue mencibir. 

"Bisa ketemu gue, misalnya." Rey terbahak. Anehnya, suara ketawanya bisa bikin gue jadi ikutan ketawa juga. "Lo tau, Ra? Ini waktunya lo buka hati lo buat orang lain."

Gue mengerutkan kening.

"Gue tau ini terlalu cepet. Tapi di setiap cobaan, pasti selalu ada kebahagiaan yang menyertainya."

Apasih?

"Dan kalo lo siap, lo bisa buka hati lo buat..." Dia menggantung ucapannya. Entah kenapa gue jadi ikutan nahan nafas. "Buat gue."

Deg. Apa gue siap? Pertanyaan itulah yang pertama kali muncul di otak gue. Tapi setiap kali mata gue dan Rey ketemu, gue tau gue siap. Dan pastinya, Rey bukan cuman sekedar pelarian semata.

('−`) ンーTHE ENDヾ('▽`;)ゝ

Behind Every LaughWhere stories live. Discover now