37 | kafe

50.4K 8.1K 4.8K
                                    

warning: kuburan. 




***

Jujur, Rei berasa macam curut yang terjebak di pojok ruangan. Nggak ada tempat kabur. Dia benar-benar doomed. Mana mukanya Dhaka tampak serius banget. Johnny lebih kurang mengintimidasi, karena dia lebih memilih meminum teh manis hangatnya sambil menggulirkan layar ponsel. Tigra diam saja, sesekali berdeham dan kentara sekali, dia menghindari menatap Rei.

Duh, Rei nggak suka banget berada dalam situasi seperti ini.

"Gue mau beliin Rossa—"

"Beli apa?"

"Rossa pengen sarapan pake soto. Gue di sini mau beliin, terus gue Go-send ke kosan."

"Kenapa mesti Go-send?"

Rei nggak paham, ada apa sama Dhaka sampai-sampai dia sebawel hari ini? Mana masih pagi. Biasanya, pagi-pagi gini tuh nyawanya Dhaka belum sepenuhnya berkumpul. Masih grumpy dan mager ketemu orang. Lah ini kok bisa-bisanya dia sudah fasih merepet?

"Soalnya... gue kan mau makan di sini..." Rei beralasan.

"Ngaco. Pasti karena semaleman, lo tidur di tempatnya Jenar."

"Dhaka—"

"Lo segitu cinta matinya sama dia?" tanya Dhaka terkesan sinis dan menusuk.

"Nggak!"

"Nggak salah lagi." Dhaka menyambung, lalu berpaling pada dua rekannya yang sama-sama kompak diam. "Lo berdua malah pada diam! Nggak tiba-tiba kecepirit di celana kan?"

"Emangnya kita kudu ngapain?" Johnny bertanya.

"Lepasin unek-unek! Mumpung orangnya ada di sini!"

"Gue kan nggak punya unek-unek..."

"Rasa yang lo pendam itu tuh unek-unek, John."

Johnny batuk-batuk, sementara Rei ternganga. Ini kenapa ya, sepertinya ada yang salah dengan udara pagi ini karena orang-orang jadi pada aneh semua. Tapi maksud Dhaka soal rasa yang Johnny pendam tuh apa? Mana yang bikin makin mencurigakan, Tigra nggak kelihatan kaget sama sekali, justru sibuk mengaduk-aduk kuah soto pakai kerupuk—yang nggak berapa lama, langsung mlonyos layaknya kebanyakan benda crispy kalau kena air.

"Oke, apa pun itu yang mau lo omongin, gue bakal dengerin. Tapi bentar dulu, gue kudu beliin Rossa soto. Setelah gue send sotonya lewat abang ojek, gue duduk dan dengerin semua khotbah lo sampai selesai. Oke?"

"Kalau sampai lo bohong, gue sumpahin lo mandul." Dhaka menukas pedas.

"Emang nggak ada niatan punya anak, sih."

"REGINA!"

"Astaga, iya, Dhaka, iya!" Rei mengiakan, kemudian buru-buru mendekati penjual soto yang sedang beraksi di depan gerobak. Dia pesan sotonya empat. Tiga untuk dikirimkan ke kosan soalnya Rossa biasanya ditemani sama Jella dan Yumna, terus satu lainnya di makan di tempat, buat dirinya sendiri. Untuk sarapannya Jenar, nanti Rei belikan ketika dia sudah mau balik ke apartemen saja, berhubung kayaknya ceramah dari Dhaka—mungkin juga dari Johnny dan Tigra—bakal berlangsung cukup lama.

Sehabis mengirimkan tiga soto via abang ojek, Rei pun duduk di ujung meja, hanya bisa pasrah ditatap oleh tiga pasang mata cowok yang duduk semeja bersamanya.

Rei berdeham gugup. "Jadi... mau ngomongin apa?"

"Siapa yang mau pertama?"

"Lo dulu aja." Johnny berujar pada Dhaka yang barusan bertanya.

Teknik ✅Where stories live. Discover now