9 | helm

84.3K 12.5K 2.9K
                                    

Rei hampir saja bergumam "Tuhan, jemput aku sekarang," saking malunya, tapi nggak berani, takut betulan dijawab "di mana?".

Cewek itu menunduk, nggak berani melihat wajah Jenar karena terlalu shock. Sekujur badannya kaku, bikin dia rikuh bergerak. Satu tangan Jenar masih bertumpu di tembok, tepat di sebelah kepala Rei, sementara dia menarik tangannya yang lain dari punggung cewek yang ada di hadapannya. Selain memasang kembali pengait yang terlepas, Jenar tidak melakukan tindakan lain.

"Oy."

"..."

"Oy!"

"..."

"HEH!!" Jenar malah panik, akhirnya menepuk pelan salah satu pipi Rei. "Napas! Jangan bikin gue takut!"

Oh... pantas berasa sesak... ternyata Rei lupa napas.

Rei menghela udara dalam-dalam seperti orang yang barusan tenggelam. Jenar mengernyit, memandang padanya dengan tatapan meneliti berbalut kecemasan. Rei balik memandang Jenar. Mata mereka saling beradu, terkunci dengan menyisakan jarak yang serasa bertransformasi menjadi medan listrik tidak kasat mata.

Kemudian...

Rei menampar pipi Jenar keras-keras, hingga tangannya sakit dan pipi Jenar memerah. Telapak tangannya meninggalkan bekas yang cukup kentara di sana. Jenar mengerjap tidak percaya, tapi perlahan, kekagetannya terganti oleh seringai.

"Tamparan lo lumayan juga."

"You're unbelievable." Rei berkata pelan, suaranya nyaris tidak terdengar.

"Apa? Gue nggak dengar."

"LO UNBELIEVABLE!!" Rei mengulangi. Dia barusan menampar Jenar. Tangannya panas. Tapi kenapa pipinya jadi ikutan panas seakan-akan lagi tertempeli setrikaan? Waktu melihat wajah Jenar, Rei berani taruhan, tamparannya pasti terasa sakit. Tiba-tiba saja dia merasa takut. Mereka lagi ada di departemennya Jenar. Kalau cowok itu nggak terima... maka habislah sudah riwayat seorang Regina Arunika.

"Good."

"Apanya?"

"Kalau dipegang-pegang cowok sembarangan, bagusnya emang lo kayak gitu."

"What?!" Rei nggak mengerti apa maksud Jenar, namun dia hanya bisa menunduk dengan tegang dan kikuk saat tawa Jenar pecah. Lesung pipinya muncul lagi, jauh lebih jelas daripada ketika dia tersenyum. Rambutnya dipermainkan angin, beberapa helai yang terkena sinar matahari secara langsung tampak cokelat kemerahan.

"Gue... gue..."

"Mau ngomong sesuatu?" Jenar bertanya.

Rei ternganga, lantas sebuah ide melintas di kepalanya. Dia memandang ke kejauhan, melewati bahu Jenar sambil pura-pura kaget. "KAK JOHNNY?!!!!"

Jenar refleks menoleh ke belakang dan saat dia begitu, Rei memanfaatkan situasi buat... kabur. Dia berlari sekencang-kencangnya, membuat Jenar yang telah sadar ditipu sempat melongo. Namun cuma sebentar, karena secara tidak terduga, dia justru mengejar Rei.

Rei berasa kayak aktris tolol yang secara nggak terencana, tiba-tiba harus syuting adegan ala film India.

Mereka jadi tontonan beberapa mahasiswa Mesin yang kebetulan lagi berjalan atau duduk di sekitaran koridor yang mereka lewati. Rei malu banget, tapi sudah kepalang basah, nggak mungkin juga dia menyerah. Jenar juga nggak tahu malu, masih saja berlari mengejarnya.

Rei terus bergerak melewati pintu samping departemen Mesin, melompati selokan lebar yang kering tanpa air layaknya seekor kancil dan tengah bermaksud menyeberang jalan ketika dia dikejutkan oleh suara klakson motor yang terdengar nyaring dan panjang. Seluruh tubuhnya langsung terhenti, membatu di tempatnya berdiri. Dia bengong, nggak ngerti harus berbuat apa hingga sebuah tangan mencengkeram lengannya, menariknya kembali ke pinggir jalan.

Teknik ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang