23 | lupa diangkat

68K 9.2K 3.2K
                                    

"Lo mau kemana?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Lo mau kemana?"

Dhaka baru bangun dari duduk waktu Tigra menembaknya dengan tanya. "Kenapa nanya-nanya?"

"Lagi pengen posesif."

"Najis."

"Serius." Tigra nyengir sambil menatap sebentar ke sekelilingnya.

Sebagian besar teman-teman mereka memang sudah pada ngilang. Nggak tau siapa pergi dengan siapa. Kalau Dhaka ngilang juga, apes buat Tigra. Ditambah lagi, perasaan Tigra lagi berbadai. Kedengarannya dangdut dan cengeng banget sih, tapi betulan, Tigra lagi nggak kepingin sendirian. Jangan salah ya, cowok juga bisa jadi korban perasaan.

"Rei lama banget nggak balik-balik."

"Paling udah cabut sama Jenar."

"Justru itu, dia cabut sama Jenar." Dhaka berdecak. "Rei nggak aman sama tuh orang."

"Kebalikannya, Jenar yang justru nggak aman sama Rei." Tigra menenggak minumannya lagi. Sudah mulai tipsy, kelihatan dari matanya yang sayu dan wajahnya yang memerah. "Rei udah gede, Ka. Lo juga bukan nyokapnya. Dia bisa jaga dirinya sendiri."

Dhaka memandang Tigra sebentar, terus waktu sadar kalau Tigra beneran serius dengan ucapannya, cowok itu mengalah. Dia duduk lagi. Tigra berdecak, mengisi gelas Dhaka yang sudah kosong.

"Gue lagi nggak mau mabok malam ini."

"Oh come on." Tigra memutar bola mata. "Everyone is having a good time. Kita cuma punya satu sama lain, at least buat malam ini—"

"Jijik banget, kampret."

Tigra terkekeh, tapi Dhaka lagi-lagi menurutinya, meraih gelas dan membawa tepi gelas untuk bertemu bibirnya.

"Apa maksud omongan lo tadi?"

"Yang mana?"

"Tentang gue yang kata lo juga jago pura-pura."

Dhaka mengangkat bahu. "Terus terang ya, lo nggak kelihatan baik-baik aja saat Jenar yang jalan ke toilet buat nyamperin Rei, walau lo berusaha mati-matian nutupin itu."

"Nggak salah."

"Kenapa lo ngebiarin Jenar begitu aja?"

"Sebab untuk saat ini, gue rasa memang Jenar yang Rei mau."

"Sotoy."

"Nggak kayak lo, gue pernah jadi pacarnya."

Wajah Dhaka memerah seketika. "Lo menang selangkah dari gue cuma karena lo punya keberanian untuk menyatakan perasaan lo. Itu aja. Kalau gue sesinting lo—"

"Pertanyaannya adalah, Dhaka, kenapa lo nggak sesinting gue?"

"Gue kenal Rei lama. Gue tau dia gimana."

Teknik ✅Where stories live. Discover now