38 | blip

48.1K 8K 2.2K
                                    

warning: hm, idk i think mention of some psychological condition? 




***

Meski kelakuannya suka semau gue banget begitu, bisa dibilang, Jenar adalah mahasiswa berotak encer. Jika menilik dari kemampuannya, dia malah tergolong under-achiever. Dia bisa saja mendapat banyak pencapaian kalau dia mau serius, tapi namanya juga Jenar. Dia terlalu slengean buat jadi mahasiswa berprestasi atau menduduki jabatan-jabatan tinggi di BEM, mau itu yang tingkat fakultas atau tingkat universitas.

Tapi sudah jadi hukum alam, mau sepintar apa pun mahasiswa, dosen akan selalu selangkah lebih maju. Apalagi perkara skripsi, yang bukan sekali-dua kali dijadikan dosen sebagai wahana untuk ngerjain mahasiswanya. Jenar sudah super pede dengan proposalnya, namun dosennya masih nggak sependapat, memintanya meninjau ulang metode yang mau dia gunakan. Jenar jadi rada mumet, makanya sehabis dari kampus, dia langsung bertolak ke kafe tempat Rei kerja part-time. Niatnya memperbaiki mood sekalian yayang-yayangan.

Siapa yang sangka, datang kesana justru membuat disuguhi pemandangan yang bikin moodnya makin buruk?

Buat Jenar, rasa hormat itu didapatkan, bukan diberikan. Menjadi orang tua nggak lantas membuat seseorang jadi berhak menerima rasa hormat. Dan meski laki-laki itu adalah salah satu alasan kenapa Rei ada, meski laki-laki itu adalah orang tua dari cewek yang dia sayang setengah mati, kata-kata yang dia ucapkan pada Rei membuat Jenar tahu dia nggak pantas dihormati sama sekali.

Jenar tak peduli dirinya jadi tontonan ketika dia melayangkan kepalan tinjunya ke rahang lelaki itu. Dampak dari pukulannya membuat ayah Rei terhuyung memegangi wajahnya yang sakit. Tapi lelaki itu pantang menyerah, jelas enggan dipermalukan di depan banyak orang. Dia membalas dan dalam waktu singkat, mereka telah saling bergumul di lantai.

"Jenar!"

Jenar mendengar Rei memekikkan namanya, namun dia terlalu murka untuk berhenti.

"Jenar!"

Dua tangan memegangi bahunya. Pada situasi normal, Jenar akan menepisnya, berkata pada siapapun yang sedang memegang pundaknya untuk jangan ikut campur. Tapi dia sadar sentuhan itu milik siapa, jadi mau nggak mau, Jenar memaksanya dirinya sendiri berhenti menghajar lelaki di depannya. Rei buru-buru menariknya mundur, bersamaan dengan Dhaka yang memegangi ayahnya Rei dibantu oleh beberapa pengunjung kafe yang lain.

Manajer kafe keluar karena mendengar keributan yang terjadi hanya sesaat kemudian. Dhaka menjelaskan garis besar situasi yang terjadi, membuatnya mengambil alih tanggung jawab untuk mengendalikan situasi. Tentu saja, dia mengusir ayah Rei secara halus dari kafe, sementara Rei sudah menarik Jenar untuk duduk di kursi yang tadinya ditempati Dhaka.

Napas Jenar masih terengah karena emosi yang bergejolak dalam dadanya. Tangannya dirambati tremor, dengan buku-buku jari yang memerah. Rei bersyukur, Jenar kelihatan baik-baik saja. Seenggaknya, dia tak melihat ada luka atau lebam di wajah cowok itu. Namun air matanya masih tidak bisa berhenti mengalir. Dia menangis, tetap sesenggukan meski dia sudah mencoba menahannya.

Jenar memandang cewek di depannya sejenak, tiba-tiba merasa bersalah, karena dia nggak pernah melihat Rei benar-benar menangis—kecuali di apartemennya malam itu, waktu Jenar membawanya dari acara perayaan ulang tahun Yumna. Tapi Rei yang berada di depannya sekarang adalah Rei yang sepenuhnya sadar, dan itu membuat isaknya terasa dua kali lipat lebih menyakitkan bagi Jenar.

"Sshhhit's okay." Jenar mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Rei dan menghapus air mata yang masih mengalir dengan iu jarinya. "Nggak apa-apa. Ada gue."

Teknik ✅Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon