17 | birthmark

79.1K 10.3K 3.4K
                                    

SEKITAR SATU SETENGAH BULAN KEMUDIAN.

Pagi baru dimulai lagi. Rei mengernyit, merasakan sesuatu yang empuk di bawah kulitnya, juga selimut dengan wangi parfum dan pelembut yang tidak familiar buat hidungnya. Masih dengan mata yang terpejam, dia mengernyit. Terdengar suara seseorang menggeser gorden sampai terbuka. Matahari sudah naik di luar. Garis cahayanya menyorot ke wajah Rei seperti lampu halogen, bikin dia merasa silau walau matanya tertutup rapat. Rei mengeluh samar, suaranya keluar seperti bisikan.

"Oy, bangun." Tiba-tiba ada yang mencolek sisi badan Rei pakai jempol kaki. Rei refleks membuka mata saat sadar itu suara Jenar. Dia kontan bangun dari posisi berbaring ke posisi duduk. Gelap sejenak, butuh beberapa saat buat Rei bisa melihat sekelilingnya dan dia sadar, dia tadi terbaring di atas karpet tebal, dengan bantal dan selimut.

Tunggu...

Ini kok tempatnya...

Kayak kenal...

"Jenar?!'

"That's me, babe." Jenar bertolak pinggang di depan Rei, berdecak. Dia kelihatan happy tapi tengil.

"Hah—"

"Kalau lo mau nanya ketika tidur lo ngiler apa nggak, jawabannya adalah... nggak."

"Bentar..." Rei mengerjap berkali-kali. "Jadi yang semalem itu..." Kata-kata Rei tertahan di tenggorokan. "KOK GINI SIH?!!"

"Lo inget?"

"NGGAK!!!"

"Jangan bohong." Jenar terkekeh, dari yang tadinya berdiri, kini dia duduk. Dia menumpukan tubuh pada kedua telapak tangannya yang melekat ke karpet, lalu mencondongkan badannya ke arah Rei. Tentu saja, Rei langsung menarik punggungnya ke belakang untuk mempertahankan jarak diantara mereka.

"J—Je—"

Jenar tersenyum simpul. "Lo inget."

Rei tercengang, terlihat sangat lost hingga Jenar bicara lagi. "Udah ingat beneran apa belom nih?"

"... DIAM!!!"

"Kalau belom inget, gue ingetin sini."

"NGGAK PERLU!!" Rei menggeser duduknya mundur, memicu tawa Jenar buat pecah.

"Oh, udah inget." Gitu katanya.

"NGGAK INGET!!!"

Gelak jenar mengeras. Ngakaknya betulan terkesan meledek. Mana puas banget, sampai suaranya menggema di ruangan. Berat suaranya bikin Rei teringat pada tawa bapak-bapak yang suka nongkrong bareng di tempat pemancingan sambil minum kopi hitam. Lantas, dia menggeser lagi posisi duduknya untuk mengeliminasi rentang tambahan yang tadi Rei ciptakan.

"Kayaknya lo butuh bantuan buat mengingat, deh." Jenar membungkukkan badan, jadi wajahnya tiba-tiba saja terasa begitu dekat seperti gambar yang sedang di-zoom. "... sini."

Rei makin panik ketika Jenar membasahi bibir bawahnya, bikin cewek itu buru-buru menutup bibirnya sendiri pakai telapak tangan. "NGGAK USAH!!!"

"Jadi... udah inget apa belum?"

"UDAH!!"

Jenar ternganga sebentar, tawanya lenyap tanpa bekas. Kemudian perlahan, senyumnya merekah lagi. Lebar, mengangkat kedua pipinya, mendorong kedua matanya untuk bertransformasi ke dalam sepasang bulan sabit. "It was mindblowing, right?"

"Apanya?"

"Apanya?"

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.
Teknik ✅Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt