Part 23

923 140 21
                                    

Happy Reading
...

Setelah mengantongi restu dari Ibu dan Bapak Rubi, kini saatnya memberitahu kabar baik ini kepada Bu Hartini. Biru sudah bisa membayangkan bagaimana reaksi Mamanya, pasti sangat senang dan bersyukur karena hati Biru akhirnya terketuk untuk menikah.

Biru mengajak Rubi ikut serta untuk memberitahukan kabar bahagia ini kepada Bu Hartini.

Rubi mengekor di belakang Biru, melewati lorong-lorong Rumah Sakit yang ramai.

Saat Biru sudah menyentuh ganggang pintu ruangan rawat inap Bu Hartini, Biru bisa mendengar dengan jelas suara Papanya, Pak Bramantyo. Biru mengurungkan niatnya untuk membuka pintu.

"Kenapa Mas?"tanya Rubi bingung.

"Kita ke kantin Rumah Sakit dulu deh, Papa ada di dalam kayaknya."

Rubi semakin bingung,"Bukannya bagus ya Mas, jadi kita bisa sekalian ngasi tau kabar baik ini sama Papanya Mas juga."

"Kenapa saya harus kasihan sama anak sialan itu! Biru, bukan anak kandung saya, apa kamu mendadak amnesia Hartini? Biru itu anak hasil perbuatan bejatmu! Sampai kapanpun saya tidak akan bisa menganggap anak haram itu seperti anak saya sendiri!"Suara teriakan Pak Bramantyo jelas terdengar sampai ke luar ruangan.

Tiba-tiba pandangan Biru rasanya berembun, ada bulir-bulir hangat yang menerobos keluar dari matanya. Lutut Biru terasa lemas, hingga rasa-rasanya ia tidak punya kekuatan lagi untuk berdiri tegak.

"Mas."Rubi langsung dengan sigap menopang tubuh Biru.

"Gue anak haram, Rubi? Gue salah denger kan?"

Biru menangis. Ia tidak menjerit, tidak terisak, hanya air mata yang mengalir di pipi Biru yang menandakan kalau saat ini hatinya begitu hancur.

"Biru bukan anak haram, Mas. Ini bukan salah Biru, ini salah saya. Gak ada yang boleh mengatakan Biru anak haram! Bukan dia yang haram, perbuatan saya yang haram! Camkan itu baik-baik!"Kali ini teriakan Bu Hartini yang terdengar.

Hati Biru semakin remuk redam, tidak bisa didefenisikan lagi oleh kata-kata.

"Mas, ayo kita duduk di sana dulu ya."Rubi mengusap air mata yang membanjiri wajah Biru dengan jari-jemarinya.

"Jadi karena ini, Papa selalu marah-marah sama gue, ternyata gue bukan anak kandungnya, Rubi."Suara Biru semakin lemah.

Rubi membawa Biru ke dalam pelukan hangatnya, Rubi menepuk-nepuk punggung Biru lembut.

Biru pun menumpahkan semua air matanya dalam pelukan Rubi.

Rubi merasa saat ini belum saatnya untuk meminta Biru berhenti menangis, karena menangis juga terkadang dibutuhkan untuk menyelesaikan semua rasa sesak yang berhimpit di dada.

Jadi, Rubi menjadikan pelukannya sebagai tempat Biru untuk menumpahkan air matanya. Rubi memilih mendengarkan semua curahan hati Biru, membiarkan Biru mengutarakan semua kesedihannya.

Perlahan Rubi bisa merasakan pelukan Biru semakin mengendur, menyadari hal itu Rubi langsung menuntun Biru untuk duduk di kursi panjang yang tersedia di lorong Rumah Sakit.

Rubi menyenderkan kepala Biru di bahunya, lalu ia meraih jari jemari Biru lalu menautkannya dengan jari jemarinya.

"Gue gak bisa terima semua ini, Rubi! Kenapa harus gue? Kenapa!"

"Mas gak boleh ya ngomong gitu, itu sama aja Mas sedang meragukan garis Takdir yang telah Allah tentukan untuk kita."

"Tapi ini gak adil Rubi..."

Rubi meletakkan jari telunjuknya di atas bibir Biru.

"Mas, kita pulang ya. Mas perlu waktu untuk menenangkan diri dulu."

Biru menggelengkan kepalanya,"Jangan tinggalin gue, Rubi."

"Gak ada yang mau ninggalin, Mas. Rubi cuma ngajak Mas pulang aja."Rubi menanggapi tuduhan Biru tersebut setenang mungkin.

"Lo pasti jijik kan sama gue! Makanya lo nyuruh gue pulang, abis ngantarin gue pulang lo pasti ada rencana kabur dari gue kan? Lo pasti gak mau punya calon suami yang gak jelas asal-usulnya kayak gue! Iya kan?"Biru meneteskan air mata lagi, emosinya tidak terkendali. Saat ini, segala pikiran-pikiran buruk telah menguasai hati dan pikirannya

"Gak gitu Mas."Rubi menangkup pipi Biru dengan kedua telapak tangannya.

"Rubi gak akan kemana-mana, Mas. Bagi Rubi, Mas itu tetap orang yang sama. Setelah mengetahui semua ini, tidak akan ada yang berubah Mas. Kita tetap sama, kita akan menghadapinya bersama. Mas udah janji loh, mau belajar mencintai Rubi, jadi apapun yang terjadi Mas harus menepati janji itu, Rubi gak mau tau."

"Rubi jangan tinggalin gue ya."Biru menatap Rubi dengan tatapan penuh harap.

"Iya Mas, Rubi gak akan kemana-mana. Percaya sama Rubi, Mas."

Rubi kembali membawa Biru ke dalam pelukannya, Biru memeluk pinggang Rubi sangat erat. Terlihat jelas, Biru takut satu persatu orang yang ada di sekitarnya akan meninggalkannya begitu mengetahui kalau ia hanyalah anak di luar nikah, yang tidak jelas siapa Ayah kandungnya.

"Kita pulang ya, Mas. Ke Basecamp, nanti Rubi temenin."

Biru menganggukkan kepalanya. Benar apa yang dikatakan oleh Rubi, Biru memerlukan waktu untuk menenangkan diri.

Kalau Biru memaksakan diri untuk masuk ke ruang inap Bu Hartini, suasana dapat dipastikan akan semakin tidak kondusif.

Biru pasti akan kesulitan mengontrol emosinya.
...

Tidak cukup satu kesedihan memeluk erat hati Biru hari ini.

Satu kesedihan yang lebih dahsyat lagi telah tiba.

Pasca perdebatan Bu Hartini dengan Pak Bramantyo menyebabkan akibat yang sangat fatal.

Bu Hartini mengalami serangan jantung.

Beliau tidak terselamatkan.

"Mama!"Biru berteriak frustasi.

Seiring dengan teriakannya, bulir-bulir hangat mengucur deras dari matanya.

"Mama, bilang sama Biru kalau ini cuma mimpi! MAMA."Biru berteriak lagi.

Dunianya serasa berhenti detik ini juga. Wanita yang melahirkannya ke dunia ini, telah pergi untuk selama-lamanya.

"Mama jahat sama Biru, Mama jahat!"Suara Biru semakin lemah.

"Mas."Rubi segera menahan tubuh Biru yang nyaris terhuyung.

"Rubi gue pengen mati aja!"

"Mas, ayo kita ke Rumah Sakit. Mas harus kuat, supaya Mas bisa ngantar Tante sampai ke pemakakan."Rubi tudak menanggapi ucapan Biru tadi.

Jujur saja Rubi juga sebenarnya ingin menangis seperti yang dilakukan oleh Biru, tetapi sebisa mungkin Rubi menahannya karena Rubi tahu betul kalau dia adalah kekuatan Biru yang tersisa.

"Rub, ini cuma prank aja kan? Iya Kan, Rubi? Ayo bilang iya."Biru menatap Rubi dengan tatapan memohon.

"Maafin Rubi Mas."Rubi menundukkan wajahnya.

"Ya Allah."Tangisan Biru semakin tidak terkendali.

Hingga, tatapan Biru semakin kabur.

Biru tidak sadarkan diri.

"Mas."Rubi menepuk-nepuk pipi Biru.

"Kasian banget ya kamu, Mas."Pada akhirnya Rubi tidak bisa lagi menahan air matanya.

Hari ini begitu kelam untuk Biru.

Air matanya tidak diberi jeda.

Hatinya tidak diberi jeda.

Pikirannya tidak diberi jeda.

Kenyataan pahit ini datang secara bersama.

Barangakali hari ini adalah hari terberat yang dialami Biru selama hidupnya di dunia ini.

...

Tbc

Double Up nya meluncur menjelang dini hari.

Jangan lupa vote dan comentnya ya😘

BI-RU Where stories live. Discover now