Part 24

955 144 21
                                    

Happy Reading
...

Biru kecil berlari kesana kemari dengan riang. Hartini sampai kesulitan mengejar putra sematawayangnya itu, Biru terlalu aktif.

"Awas ada batu Nak."

Terlambat, kaki Biru sudah terlanjur tersandung batu.

"Mama."Biru menangis sesenggukan.

"Makanya kalau Mama larang itu didengerin. Jadinya jatuh kan? Bandel sih kalau dibilangin orangtua."

Hartini menggendong Biru, meski berat badan Biru tidak terbilang ringan lagi. Hartini tetap kuat menggendong, Biru. Itulah hebatnya seorang Ibu, selalu memiliki kekuatan yang tidak terduga jika sudah menyangkut soal anaknya.

"Sakit, Ma."Biru merengek.

"Nah kan giliran sakit aja merengek, tadi mulut Mama udah hampir berbusa ngelarang kamu lari-lari, gak didengerin. Emang harus kena batunya dulu kamu tuh, baru bisa nyadar."Hartini mengomel.

"Maafin Biru ya, Ma. Lain kali Biru gak akan nakal lagi, janji."Biru mengacungkan jari kelingkingnya.

"Kamu ini kebanyakan janji sama, Mama. Gak bisa dipercaya, kecil-kecil udah suka ngumbar janji."Hartini menjawil hidung Biru.

"Iya Mama maafin, lain kali kalau Mama udah ngelarang didengerin ya Nak."

"Iya Ma, Biru sayang banget deh sama Mama."

"Mama juga, kamu adalah alasan Mama masih bertahan sampai sekarang, Nak,"ucap Hartini, sebenarnya Biru belum bisa memahami apa maksud perkataan Mamanya itu.

"Kamu yang rajin ya belajarnya, Nak. InsyaAllah, Mama akan mendampingi kamu sampai kamu sukses. Dengan begitu kalau suatu saat nanti Mama pergi, Mama bisa meninggalkan kamu dengan tenang, Mama bisa memastikan kalau kamu telah bisa menghadapi dunia ini sendiri tanpa bantuan Mama."Biru kecil hanya menganggukkan kepalanya, walaupun sebenarnya ia tidak mengerti maksud perkataan dari Mamanya itu.

Biru mengingat kembali kata-kata yang diucapkan oleh Mamanya pada saat ia masih berusia 8 tahun, dahulu Biru tidak paham dengan kata-kata itu. Tetapi sekarang, hanya sekadar mengingat kata-kata itu kembali, sudah cukup untuk membuat hati Biru semakin sesak.

Biru berdiri di depan pusaran Mamanya. Tanahnya masih basah, sama halnya seperti kenangan antara Biru dan Mamanya yang masih basah dalam ingatan.

Sejak hari ini, Biru tidak akan menemukan wajah teduh Mamanya lagi di dunia ini. Biru juga tidak akan mendapati senyuman hangat dari Mamanya lagi di dunia ini.

Karena, Biru dan Mamanya telah berada di dua alam yang berbeda.

Segalanya telah menjelma menjadi sebuah kenangan.

"Ma, bagaimana bisa Biru melanjutkan hidup tanpa Mama?"

"Mama bahkan belum melihat Biru menikah. Maafin Biru, Ma."

Biru menjatuhkan lututnya ke atas tanah, air mata Biru kembali membanjiri pipinya. Mata Biru bahkan sudah tampak membengkak, karena terlalu lama menangis.

"Mama, Biru ngerasa sulit bernafas Biru harus gimana, Ma?"

Biru menekan dadanya, di dalam sana terasa sangat perih.

"Mama."Biru terus memanggil Mamanya.

Rubi dan para sahabat Biru berdiri tidak jauh dari posisi Biru. Mereka membiarkan Biru menumpahkan semua kesedihannya, Biru membutuhkan itu supaya hatinya terasa lebih lega.
...

Sepeninggal Bu Hartini, Biru menjadi sangat kacau. Biru jatuh sakit, demamnya sangat tinggi, belum lagi Biru sangat susah untuk dibujuk makan.

Biru saat ini bak mayat hidup.
Sorot mata Biru, terlihat telah redup tidak ada lagi semangat hidup yang terpancar di sana.

BI-RU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang