TIGA PULUH DUA

319 22 4
                                    

Gina tersadar dari lamunannya ketika pintu gudang terbuka memperlihatkan sosok tinggi yang berdiri menghalangi cahaya dari luar gudang. Ia bergerak gelisah ketika sosok tinggi itu berjalan mendekat.

"Sepertinya kau tertidur dengan nyenyak," ujar orang itu. Ia akhirnya berdiri di hadapan Gina yang diikat di kursi. Gina mendongak melihat pria itu.

"Gema," gumam Gina. Sosok lelaki tampan itu tersenyum.

"Kau terlihat tidak suka dengan kehadiranku. Apa kau merindukan Alex?"

Gina geram mendengar nama itu. Alex sudah membuatnya ketakutan setengah mati. Pria Psikopat itu sangat gila.

"Alex sedang tidak ada disini, ia menjemput kak Ralex. Mereka akan menunggumu di kantor polisi," jelas Gema tanpa diminta.

"Ka...kantor polisi?"

Gema berdehem, pria itu melepas ikatan pada tubuh Gina. Ia menahan tubuh Gina ketika gadis itu ingin melarikan diri setelah ikatannya terlepas.

"Apa kau tidak bisa diam?!" wajah Gema datar. Ia menatap Gina tajam. "Pantas saja kakakku sangat muak padamu."

Wajah datar Gema cukup membuat Gina terdiam. Gadis itu menurut saja pada Gema yang menariknya kuat dan membawanya keluar dari gudang. Sepanjang jalan melewati lorong-lorong menuju pintu utama, Gema menarik pergelangan tangan gadis itu kasar.

"Apa kau tidak bisa lebih lembut menarik tanganku?"

Tidak ada balasan dari Gema, lelaki itu malah bertambah kasar menarik tangan Gina. Sama sekali tidak mempedulikan keluhan Gina.

"Aww," Gina meringis kesakitan tangan kirinya yang bebas menahan tangan kekar Gema yang memegangi tangannya. "Ku mohon jangan menarik tanganku terlalu kasar."

Pinta Gina, ia tidak terima tangan mulusnya ditarik sangat kasar oleh Gema. Berbeda dengan Ralex, walaupun pria itu sangat dingin padanya perlakuannya tidak pernah kasar. Dulu bahkan Ralex sama sekali tidak dingin padanya, tetapi semenjak bertunangan pria itu berubah. Gina tersenyum sakit hati, ini semua gara-gara Riana. Seandainya gadis itu tidak ada, ia yakin masalah ini tidak akan pernah terjadi.

Semenjak ada Riana, Ralex berubah padanya. Sekarang lihat apa yang gadis itu lakukan padanya. Riana membuatnya dipenjara.

"Kau kesakitan?" tanya Gema sedikit lembut. Gina tersentak tidak tahu kalau Gema mendengar keluhannya.

"Iya tolong jangan menarik tanganku terlalu kasar," ujar Gina. Gema mengangguk.

"Baiklah," katanya tapi bukannya menarik tangan Gina lebih lembut, ia malah menarik tangan Gina lebih kasar dari sebelumnya. Gadis itu berteriak kesakitan sepanjang jalan. "Tidak ada kelembutan bagi seorang tahanan."

Kata-kata Gema membuat Gina sakit hati. Air matanya jatuh tanpa di kendali, ia menyimpan dendam pada Riana. Suatu saat nanti gadis itu harus merasakan apa yang ia rasakan. Pasti Gina akan membalas perbuatan Riana kepadanya.

Mereka keluar dari rumah tua itu dan Gema mendorong kasar Gina masuk mobil. "Jalan pak!"

Supir pribadi Argamawan menjalankan mobilnya sesuai perintah tuannya. Gina sendiri gelisah, ia ingin kabur tapi tidak bisa. Lagipula ia tidak ada jalan keluar untuk kabur apalagi Gema terus menerus mengawasinya. Jalanan yang mereka lewati adalah hutan-hutan yang diingat Gina, mereka menuju kota.

Mobil berhenti membuat perhatian Gema teralih, "ada apa pak?"

"Tuan sepertinya ada mobil polisi yang menghadang." Ujar pria paruh baya itu.

"Mobil polisi?"

"Iya tuan. Bagaimana ini?" tanya pria paruh baya itu gelisah.

"Tenang pak. Coba bapak turun dan tanya ada apa mereka menghadang jalan kita." Perintah Gema yang disetujui supir Argamawan. Pria itu turun dari mobil dan Gema menunggu cukup lama. Supir pribadi Argamawan berlari menuju mobil tuannya.

"Tuan mereka ingin menangkap tahanan," katanya sembari melihat pada Gina. Gema cukup mengerti dan turun dari mobil membiarkan para polisi itu menangkap Gina yang berteriak.

"Terimakasih atas kerjasamanya pak."

Gema mengangguk dan kembali masuk ke dalam mobil, "jalan pak, kita tetap menuju kantor polisi."

Di sisi lain Riana dikelilingi oleh sahabatnya membuat gadis itu cukup kewalahan.

"Jadi semua itu editan?" tanya Tiani yang diangguki Riana. Ia pun awalnya tidak percaya video semulus itu editan.

"Syukurlah hubunganmu dengan tuan Ralex baik-baik saja," ujar Misya.

"Hm," balas Riana. "Kenapa jadi kalian yang sibuk dengan hubungan kami?"

"Itu karena kau sahabat kami," jawab Misya. "Si Ailen itu dan kakaknya suka sekali merusak hubunganmu."

Riana tidak menjawab, gadis itu malah menatap kesana kemari. Ia menatap ke sekeliling kelasnya dan tidak menemukan Ailen.

"Mencari siapa?" tanya Sarly.

"Ailen." Jawaban Riana membuat Sarly muak. Ia tidak habis pikir kenapa Riana masih mencari gadis itu setelah apa yang terjadi.

"Untuk apa mencari gadis itu?" Tiani kelihatan tidak senang.

"Ada apa dengan kalian? Bukankah yang membuat masalah itu Gina kakaknya Ailen, kenapa Ailen yang jadi kalian benci?"

"Menurutku kakak beradik sama saja," kata Sarly yang disetujui kedua sahabatnya.

"Tidak, Ailen tidak bersalah. Gadis itu sangat baik," bela Riana yang membuat Misya kesal.

"Dengar Riana, mereka itu hanya jadi parasit di hubunganmu dengan tuan Ralex." Misya berusaha menyadarkan Riana. "Ailen ataupun kakaknya sama-sama bisa merusak hubunganmu."

"Sudahlah kenapa jadi membahas hubunganku dengan Ralex. Yang menjalani hubungan aku, kenapa jadi kalian yang repot."

"Jadi kau tidak menganggap kami sebagai sahabat lagi?" Misya tersinggung.

"Bukan begitu, aku tidak ingin siapapun ikut mencampuri hubunganku dengan Ralex, sekalipun itu orang tuaku."

"Baik, kami tidak akan mencampuri hubunganmu," ujar Sarly. "Tapi kau juga tidak boleh bodoh. Ailen dan kakaknya sama saja. Jangan mentang-mentang gadis itu berpura-pura baik padamu, kau jadi mempercayainya."

Riana menghela nafas, sekuat apapun ia mengatakan kalau Ailen orang yang baik, sahabatnya tidak akan percaya. Tiba-tiba terdengar suara ribut dari luar kelas. Cukup menarik perhatian keempat bersahabat itu, mereka bangkit dari duduknya.

"Ada apa diluar kelas?" Sarly menahan salah satu murid yang baru saja masuk kelas.

"Itu, guru multimedia baru saja dibawa polisi," ujar murid itu.

"Dibawa polisi? Kemana"

"Aku tidak tahu, bisakah kau melepaskan tanganmu," pinta murid itu pada Sarly. Sarly tersadar dan melepaskan teman sekelas Riana itu.

"Guru multimedia? Mungkinkah?" Riana bertanya pada dirinya sendiri.

"Kenapa?" tanya Sarly ketika ia mendengar gumaman dari Riana. Gadis itu segera menggeleng.

"Bukan apa-apa," balasnya. Sebenarnya Sarly tahu kalau Riana menyembunyikan sesuatu, tetapi ia tidak bertanya.

"Guru multimedia? Bukankah itu pak Arez?" tanya Misya.

"Iya, itu memang pak Arez. Tapi aku tidak percaya dia ditangkap polisi," ujar Tiani.

"Aku juga tidak percaya," kalau dia bersekongkol dengan Gina. Sabung Riana dalam hati, ia tidak mungkin mengutarakannya pada sahabatnya. Yang ada mereka pasti membully Ailen lagi.

"Aneh kenapa pak Arez ditangkap polisi ya?" Misya kebingungan.

"Pencemaran nama baik mungkin, dia guru multimedia. Mengedit bukanlah perkara sulit baginya," kata Sarly membuat Riana menatapnya lama.



TBC.

Riana & RalexTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang