BAB 4

364 58 1
                                    


***

Resepsi pernikahan dibuat megah sesuai pengaturan Rayya. Banyak rekan diundang. Sebenarnya keluarga Vio sama sekali tak terlalu suka publisitas seperti itu.
Pernikahan adalah awal kehidupan baru untuk putri mereka. Hidup berumah tangga tak selalu mulus, tak selalu segembira saat resepsi pernikahan. Meski dalam hati kecil tetap berdoa agar kehidupan pernikahan Vio dan Haidar selalu dinaungi kebahagiaan kekal. 

"Dunia orang kaya, begitu mudah membuang uang!" ucap Jingga saat memakan hidangan pernikahan.

"Telan dulu makananmu baru bicara!" nasihat Alin. "Jangan menjudge begitu. Siapa tahu sedekah para orang kaya ini jauh lebih banyak dari kita. Entahentah ibadah lain pun mereka lebih baik dari kita."

"Ish kau serius sekali!" cebik Jingga. "Coba kau lihat muka tertekan si Vio. Pasti dia sedang meratap dalam hatinya 'daripada buat hajatan begini mending duitnya aku pakai beli novel penulis kaporit aku'." Jingga menirukan gaya bicara Vio.

"Dia bukan tertekan karena duit hajatan, tapi dia sedang menahan sakit memakai korset lah. Kasihan sekali! Kenapa lah badannya tibatiba membesar saat akan menikah. Kan jadi tak muat itu baju."

"Tapi bukannya dia sudah mencoba baju itu sebelumnya? Harusnya tak ada masalah dengan ukuran."

Alin melirik Jingga, "kau lupa barubaru ini siapa yang mengajak si Vio makan seblak mie tulang tiga hari berturutturut? Mana setelah makan itu langsung memesan eskrim super besar pula, oh iya ditambah donat madu juga. Itu jelas kau yang membuatnya gendut di hari pernikahannya sekarang."

"Vio yang mengajakku bukan aku yang mengajaknya!" sangkal Jingga.

"Ish yasudahlah cepat jilati piringmu itu kita harus berfoto di pelaminan!" gesa Alin.

"Coyyy aku bukan penjilat macam si Nia lah. Kurang kerjaan  menjilati piring," kata  Jingga sembari menyuap lengkuas ke mulut. "Bah kupikir cincin lamaran yang kugigit!" Jingga mengambil tissue dan memuntahkan lengkuas tadi. Macammacam.

"Kualat kau karena tibatiba ghibahin si Nia barusan. Karma dibayar kontan!" ledek Alin.

"Tapi aku bicara benar lah."

"Kau paham kan arti ghibah itu apa? Ghibah itu adalah ...."

"Stop ya ustazah. Khotbah nikah si Vio tadi saja sudah membuatku kenyang dan rohaniku tersirami sampai basah. Jadi tak usah kau tambah lagi okay? Kelelep aku nanti."

"Yealahyealah!" Alin mengalah.

"Aku nunggu di pelaminan kalian malah bercengkrama di sini!"

Suara Vio mengagetkan Jingga dan Alin.

"Kenapa kau turun dari pelamin?" tanya Alin.

"Aku mencari kalian lah sludud! Ayo kita berfoto sebelum aku menghapus dandanan anehku ini!" jawab Vio.

"Kau di sini, terus tamutamumu bagaimana?"

"Tamu apaan woy!" Vio menekup pipi Alin dan menghadapkan ke kiri kanan. "Mereka sudah pulang. Kalian asyik makan di sini sampai tak lihat aula ini sudah macam hatinya si Jingga, sepi."

Mereka benarbenar tak sadar tamu sudah pergi. Mungkin karena terlalu lelah ikut mempersiapkan ini itu, jadi saat punya kesempatan istirahat duduk dan makan mereka jadi tak memperhatikan sekeliling.

"Yasudah  cepat kita fotofoto dulu!" ajak Jingga sambil mengelap mulut yang masih memiliki rasa lengkuas.

Saat sampai di pelaminan, mereka tak melihat Haidar. Mungkin sudah pergi ganti baju.

"Lah bodo amat tak ada Haidar. Kita foto bertiga saja. Berfoto bersama dengan laki orang apa bagusnya ya kan?" ucap Alin.

"Dia lakiku woy bukan laki org!" protes Vio.

"Memang kau bukan orang?" tanya Alin.

"Buang liur bicara denganmu!" cebik Vio.

***

Duduk di kamar pengantin, hati Vio berdebar. Temantemannya pulang setelah berkalikali berfoto bersama. Tinggalah dia sendirian.
Baju belum diganti, riasan belum dihapus ... otak kotor Jingga dan Alin lah yang melarang. Katanya biarkan Haidar saja nanti yang membantu Vio membuka riasan.

Pintu kamar terbuka, Vio mengencangkan genggaman pada ujung baju.

"Vio!" Haidar memanggil.

"Ya!" jawab Vio yang masih membelakangi Haidar. Dia malu untuk menoleh.

"Boleh pinjam handuk? Aku mau mandi."

"Hah? Euh handuk baru ada di kanan bawah lemari."

"Okay. Terima kasih!"
Haidar berjalan menuju lemari. Setelah mengambil handuk dia langsung pergi ke kamar mandi.

Vio menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Lalu suara air terdengar. Jantungnya semakin berdebar. Dia memikirkan hal tidaktidak. Apakah Haidar akan keluar dengan seksi seperti yang ada di cerita novel? Tokoh utama oria keluar dari kamar mandi hanya berhanduk saja lalu tokoh utama wanita berteriak terkejut sambil menekup wajah malumalu.

'Arrghhh!' Vio menekup wajahnya tibatiba. Padahal cuma hayalan tapi dia sudah merasa malu seperti itu.

Tak lama Haidar keluar dari kamar mandi. Sudah lengkap berpakaian.

"Aku sudah selesai. Kau boleh memakai kamar mandi sekarang," ucap Haidar.

"Ah iya!" kata Vio lalu bangun dan mengambil handuk beserta baju ganti.
Tak sesuai ekpektasi. Sepertinya dia harus membuka riasan sendiri tanpa bantuan Haidar. Payah!

Selesai mandi dan berganti baju, Vio keluar dari kamar mandi. Namun dia mengernyit dahi melihat Haidar merapikan sofa.

"Aku tidur di sini, kau boleh tidur di kasur," ucap Haidar begitu melihat Vio sudah keluar dari kamar mandi.

"Kenapa Abang tak tidur di kasur?" tanya Vio heran. "Kita sudah menikah kan? Kita bisa berbagi tempat tidur mulai sekarang."

"Aku masih belum terbiasa. Aku memang sudah ridho menikah denganmu. Tapi beberapa perubahan setelah berganti status sebagai suami istri belum bisa kubiasakan. Aku tidak bermaksud mengabaikanmu, hanya aku masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Lagi pula jujur aku akan merasa canggung tidur denganmu. Mungkin melelapkan mata pun akan sulit. Tak terbiasa tidur dengan wanita cantik di sebelah."

Vio bisa mengerti dengan penjelasan Haidar. Tapi kalimat terakhir itu sukses membuatnya tersipu.
"Kalau begitu Abang tidur di kasir saja. Aku nanti tidur di kamar Lily!"

"Tidak. Apa yang akan orangtuamu pikirkan jika mereka tahu kita sudah tidur terpisah di malam pernikahan? Sebaiknya tetap seperti ini saja."

"Tapi sofa itu tak muat untuk kaki panjangmu. Abang tidur di kasur, biar aku yang di sofa. Bagaimana?" cadang Vio.

"Mana boleh seperti itu. Cepat kau tidur saja di sana! Tolong matikan lampu! Selamat malam!" ucap Haidar lalu berbaring dan langsung menutup mata. Tak mau menerima segala bantahan lagi dari Vio.

Vio hanya mengeluh kecil melihat Haidar menutup mata.
Malam pernikahan macam apa yang tidur terpisah begitu? Seperti cerita di drama nikah paksa saja.

'Huft tak usah berpikir macamamacam. Haidar mau menerima pernikahan ini sudaj syukur alhamdulillah. Aku masih punya banyak masa untuk membuatnya menerimaku seutuhnya!' batin Vio.

Menikah bukan hanya untuk sehari dua saja. Untuk pasangan yang baru memulai hubungan seperti mereka tentu saja tak bisa langsung akrab seperti pasangan lain. Memang akan canggung.
Masih banyak waktu di masa depan untuk mempererat hubungan.

***

Bersambung.

Bukan Salah Jodoh ✔Where stories live. Discover now