BAB 12

277 52 3
                                    

***
Sudah lama Vio tak keluar bermain dengan Jingga dan Alin karena selalu sibuk mengurus Dara di rumah. Pulang dari kampus, Vio akan segera pulang menemani Dara. Takut anak itu kesepian.
Namun sejak kejadian kemarin, Vio memutuskan untuk pergi bersama Jingga dan Alin. Malam itu Haidar tak kembali ke kamar mereka, dan saat Vio bangun di pagi hari Haidar sudah pergi dengan Dara. Biasanya Dara memang akan diantar ke rumah Rayya dulu jika Vio ada kuliah. Tapi ini pertama kalinya Haidar pergi dari rumah tanpa pamit.

"Aku tak suka dah Haidar itu!" gerutu Jingga. Mendengar cerita Vio membuatnya emosi.

"Sabar! Jangan menambah api!" Alin memperingatkan Jingga.

Tangan Vio digenggam erat oleh kedua sahabatnya. Sebenarnya Vio tahu menceritakan masalah rumah tangga pada orang lain bukan hal benar. Tapi dia tak suka memendam semuanya sendiri. Dia merasa perlu mengeluarkan keluhannya. Dan Jingga dan Alin lah yang Vio percaya.
Mungkin orang berpikir dirinya terlalu berlebihan karena merasa buruk hanya karena ucapan Haidar. Namun Vio juga bukan tanpa alasan, dia merasa Haidar sangat berlebihan. Karena salah paham antara anakanak suaminya itu menyimpulkan hal sendiri dan melontarkan kata menyakitkan.

"Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" tanya Alin.

"Entahlah!" jawab Vio bingung. Dia tak tahu bagaimana menghadapi Haidar sekarang. Mengulang penjelasan atas kejadian kemarin jelas tak mungkin. Dan bagi Vio, meminta maaf juga akan membuat Haidar berpikir dia mengakui apa yang dituduhkan.

***

Setelah seharian pergi menenangkan diri bersama kedua sahabat. Vio akhirnya pulang.
Memasuki rumah Vio melihat Haidar duduk di sofa.

Haidar mengangkat kepala dan pandangannya bertemu dengan mata Vio.

Pada dasarnya Vio tak pandai memyembunyikan suasana hati, dia melewati Haidar menuju kamar tanpa menyapa.

"Vio!" panggil Haidar, membuat Vio berhenti. "Ayo kita bicara!"

Dengan malas Vio berbalik dan duduk di sofa menghadap Haidar.

"Vio, kamu marah?" tanya Haidar.

'Hah?' Vio tak percaya dengan yang didengarnya. Haidar bertanya apa dia marah atau tidak? Apa Haidar bodoh? Diamdiam Vio mengutuk Haidar dalam hatinya.

Melihat Vio diam membuat Haidar yakin bahwa Vio memang marah, "aku keterlaluan kemarin. Aku minta maaf!"

Meski kaget tapi Vio tetap diam mendengar permintaan maaf Haidar. Semudah itu?

"Vio!" panggil Haidar lagi. "Vio, aku terlalu mengkhawatirkan Dara kemarin dan tak berpikir jernih. Ditambah aku sedang lelah dengan urusan pekerjaan dan masalah sepupuku."

"Bolehkah aku bilang alasanmu itu terdengar klise? Entah kenapa aku bosan mendengar orang saat mengakui kesalahan memberi alasan dirinya melalukan itu karena sedang tak berpikir jernih, sedang banyak masalah, terlalu lelah. Itu tak bisa jadi pembenaran untuk kesalahan. Kemarin kau bilang, jika ada alasan apakah Lily berhak mendorong Dara? Sekarang aku tanya, jika kau sedang banyak masalah apakah kau berhak menyakiti dan menuduh orang lain seenaknya? Abang, aku tak bermaksud memperpanjang masalah. Tapi yang kau katakan kemarin benarbenar menyakiti perasaanku. Mengenai permintaan maafmu, kau tujukan untuk yang mana? Untuk tuduhan menyakitkanmu? Untuk sikapmu yang mengambil kesimpulan sesuka hati? Untuk ketidakpercayaanmu pada istrimu sendiri? Aku tahu kita menikah tanpa cinta awalnya, ah maksudku kita menikah dengan cinta sepihak di awal. Kau masih belajar menerimaku, katamu. Tapi aku tak sangka kepercayaanmu padaku sedangkal itu. Bahkan aku hampir tak melihat rasa percayamu itu saking kecilnya. Setelah enam bulan lebih bersama aku pikir Abang mulai sedikit mempercayaiku. Itu bukan waktu yang sebentar, jika Abang peka mungkin Abang akan tahu karakterku seperti apa dan tak mungkin menuduhku seperti kemarin. Tapi aku sadar, mungkin selama enam bulan lebih ini Abang tak pernah terlalu peduli dengan keberadaanku. Jadi bahkan karakterku pun Abang tak dapat pahami, padahal kita tinggal seatap, sekamar bahkan sekasur juga." Vio bangkit dari duduknya. "Abang, aku bukan seorang dewi baik hati, bukan malaikat. Aku belum bisa berhenti marah padamu."
Segera setelah selesai bicara Vio langsung pergi ke kamaf.

Haidar berinisiatif berbicara dan meminta maaf. Harusnya Vio senang, tapi dia tak mau langsung memaafkan. Vio paham dalam pernikahan tak selamanya mulus, akan selalu ada masalah. Ini mungkin rintangan awal dalam pernikahan mereka. Namun, jika Vio dengan mudah memberi kemaafan, bukan tak mungkin Haidar akan mengulangi hal sama kemudian hari.
Menjadi istri yang baik bukan berarti harus selalu menerima apa pun perlakuan suami kan?

***

Saat makan malam tak ada satu pun yang bersuara. Vio pikir Dara akan tinggal di rumah mertuanya setelah kejadian kemarin, tak sangka Dara kembali ke rumahnya dan Haidar. Dan jangan ditanya, wajah kebencian Dara pada Vio semakin terangterangan ditunjukkan.
Sesekali anak itu akan melirik sinis ke arah Dara saat Haidar menyuapinya makan.
Vio berpurapura tak melihat dan asyik dengan makanan di depannya.
Dia memang kasihan pada Dara, tapi mohon maaf sekarang dia lebih kasihan pada dirinya sendiri. Bukan hanya Dara saja yang butuh ayah, apa orangorang pikir Vio tak butuh suami? Demi menunjukkan kasih sayang ayah pada Dara, Haidar sepertinya lupa kalau dia adalah seorang suami. Harusnya jika pun istri salah Haidar menasihati bukan menghakimi. Mungkin Haidar bisa jadi ayah yang baik, tapi jujur dia belum berhasil menjadi suami yang baik di mata Vio.

Selesai makan Vio langsung pergi ke kamar. Haidar mungkin akan tidur dengan Dara lagi, biarkan saja.

Tak diduga Haidar datang ke kamar mereka. Vio yang tidur dengan posisi memunggungi Haidar bisa merasakan Haidar naik ke tempat tidur. Tak lama kemudian, tangan melingkar dipinggangnya. Memeluknya erat.

***

Keesokan harinya ...
Vio bangun tapi kembali tak menemukan Haidar di sampingnya. Jika tak melihat kasur kusut di sampingnya dia mungkin akan menganggap kehadiran Haidar semalam sebagai mimpi.

Selesai mandi dan bersiap, Vio menuju meja makan untuk sarapan.

"Aku baru saja akan memanggilmu!" ucap Haidar yang sedang menyiapkan sarapan.

'Apa dia sedang membujukku?' batin Vio.

"Duduk cepat!" arah Haidar sambil tersenyum.

Saat duduk Vio melihat Dara menjuih bibir padanya. Kenapa dengan anak itu? Bibirnya ada kelainan kah?

"Aku akan mengantarmu ke kampus hari ini," ucap Haidar.

"Oom, bukannya kita akan menemui Mama?" sela Dara.

"Iya Dara sayang. Setelah mengantar Tante Vio nanti kita ketemu Mamamu okay?" balas Haidar.

"Kalau mengantar pelakor ini dulu kita bisa kena macet di jalan dan lama ketemu Mamanya," ucap Dara dengan nada merajuk.

"Masih pagi. Tak akan macet sayang!" Haidar berusaha menjelaskan.

Vio meletakkan sendok, padahal baru dua suap dia makan. "Aku berangkat sendiri saja. Assalaamu'alaikum!"
Setelah mengambil tas, Vio pun pergi.
Dia kesal buka karena ucapan Dara. Tapi karena sikap Haidar. Berulang kali Dara memanggilnya pelakor, tapi tak sekali pun Haidar menegur anak itu. Apa pantas anak kecil seperti itu mengatakan kata tak sopan pada orang lain seperti itu? Haidar seolah  tak peduli dengan panggilan Dara pada dirinya. Bukannya membetulkan kesalahan Dara dulu Haidar malah membujuk anak kecil itu. Apa itu sikap seorang suami ketika istrinya dilecehkan? Membuat Vio semakin kesal saja.

***

Bersambung.

Bukan Salah Jodoh ✔Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu