BAB 7

322 54 3
                                    

***

Pulang ke rumah Setyadi, Vio membereskan barangbarang penting saja. Sisanya akan diangkut akhir pekan.
Agak sedih juga dia harus meninggalkan kamar yang telah dihuni selama bertahuntahun. Seperti inikah rasanya menikah? Kita memulai hidup baru dan meninggalkan kehidupan lama. Memang bukan berarti melupakan orangtua dan lainlain, tapi tetap saja banyak hal yang dikorbankan. Salah satunya adalah meninggalkan tempat yang sudah jadi ruang ternyamannya selama ini.

"Tak tahan harus meninggalkan kamarmu?" tanya Haidar melihat Vio melihat sekeliling kamar dengan sedih.

"Ada banyak kenangan di kamar ini. Tempat ini adalah duniaku. Pintu itu adalah pemisah antara duniaku dan dunia luar. Di dunia luar aku bisa berpurapura, tapi di sini aku bebas menjadi diriku. Setelah menikah, aku harus tinggal di dunia suamiku. Aku tak keberatan. Tapi aku tetap sedih harus meninggalkan ini semua."

Haidar memegang tangan Vio, "kamu tak harus meninggalkan duniamu demi saya. Kamu bisa sering kembali kesini kalau mau. Kita akan menginap di sini tiap akhir pekan, apa kau setuju?" Haidar mengangkat dagu Vio agar menatapnya. Mata istrinya itu sudah berkaca ternyata.

"Baiklah. Terima kasih Abang!"

"Iya samasama!" balas Haidar.

***

Lepas isya tadi Haidar dan Vio sampai di rumah mereka. Saat ini Vio sedang membereskan barang bawaannya sementata Haidar memasak di dapur. Katanya ingin menunjukkan skill masaknya pada sang istri, adaada saja.

Menyimpan baju di samping baju Haidar membuat Vio tersenyum sendiri. Mereka sudah menjadi suami istri, mulai sekarang mereka berbagi setengah hidup mereka. Termasuk lemari. Vio mengambil ponsel dan memotret lemari baju mereka, barang milik Vio dan Haidar bersebelahan. Entah kenapa terlihat sangat manis.

Sebelum menemui Haidar di dapur, Vio memeriksa tugas kuliahnya dulu. Takut ada yang terlewat seperti hari ini. Bisa masuk ke daftar hitam dosendosen jika kejadian seperti itu terus berulang. Naya! Bisabisa tak jadi dapat predikat cumlaude saat lulus nanti.

Memang ada tugas  kuliah yang harus Vio kerjakan, dia pun segera menyelesaikan semua.

Namun Vio terlalu asyik mengerjakan sampai lupa waktu dan lupa suami.

Haidar bersandar di pintu memperhatikan Vio yang tekun menulis.
Saat Vio mendongak dia bertemu tatapan Haidar.

"Abang, sejak kapan berdiri di situ?"

"Sudah cukup lama."

"Sudah selesai masak?"

Haidar mengangguk, "tapi mungkin sudah dingin lagi sekarang."

Vio segera melihat jam, dia jadi merasa bersalah. Tapi kenapa Haidar tak memanggilnya, malah berdiri saja seperti itu buat apa? Haidar memang aneh, tadi juga saat di mobil dia tak membangunkan Vio. Ish dasar! Sepertinya ada yang salah dengan otaknya.

"Aku becanda!" ucap Haidar tibatiba. "Ayo kita makan! Makanannya sudah dingin tapi bukan berarti basi. Kalau tak dingin mana bisa kita makan kan? Bisa melepuh lidah nanti."

Haidar berjalan pergi lalu Vio segera meninggalkan tugas kuliahnya mengikuti Haidar.

"Hmm wangi sekali. Abang masak apa?" tanya Vio begitu sampai di meja makan.

"Hanya memasak bahan yang ada di kulkas saja," jawab Haidar.

Kemampuan masak Haidar luar biasa, Vio kagum melihat makanan cantik di depannya. Baru melihat saja sudah membangkitkan selera.

***

Sakit perut Vio karena makan banyak. Dia hanya bisa rebahan di sofa sekarang. Memang masakan Haidar ada rupa, tapi rasanya ... mohon maaf, ternyata tak sesuai ekspektasi. Tapi setidaknya masih bisa dia telan. Haidar memaksanya menghabiskan semua. Lagilagi dia jadi tukang sapu bersih. Suaminya itu mau menyiksanya atau apa.

"Maaf kalau masakanku kurang enak," ucap Haidar duduk di samping Vio.

"Makanan Abang baikbaik saja. Tak masalah. Hanya saja porsinya terlalu banyak. Aku tak bisa lah makan seperti itu terus. Kalau Abang mau aku menambah berat badan, ada satu cara!"

"Apa?" tanya Haidar mengangkat alis.

"Buat aku hamil!" jawab Vio tenang.

"What?" Haidar terkejut sampai jatuh dari sofa. Kenapa Vio sangat frontal sekali.

"Hahah aku becanda!" Vio membantu Haidar bangun.

Haidar mencubit pipi Vio geram.

"Eh Abang aku kau tanya boleh?"

"Apa?"

"Kenapa Abang memutuskan mau menerimaku di saatsaat akhir sebelum kita menikah?" tanya Vio.

Haidar menoleh pada Vio, "entahlah. Aku sudah istikharah dan aku rasa menikahimu adalah hal benar."

"Sebelumya Abang benarbenar tak melirikku sedikit pun. Jujur aku terkejut mendapat pesan Abang saat itu."

"Mungkin karena kamu tak pernah lelah menghadapi semua sikapku makanya aku luluh. Awalnya aku akui sangat risi kau ganggu terus. Tapi beberapa hari kau tak menggangguku aku merasa ada yang kurang."

"Benarkah?" tanya Vio memastikan.

Haidar mengangguk meyakinkan.

"Uhh tapi yang di harihari kemarin itu bukan aku tak mengganggu Abang, tapi Abangnya saja yang menghindar dan tak muncul dalam pandanganku. Jadi mana ada kesempatan aku mengganggu Abang."

"Yealahyealah. Sekarang giliranku yang bertanya boleh?"

"Abang mau tanya apa?" Vio mengernyit dahi.

"Kenapa kamu terus mengejarku meski aku tolak berkalikali?"

Vio mengetukngetukan jari ke dagu, "hmmm kenapa ya?" Kemudian dia menatap Haidar tersenyum. "Sudah jelas kan karena aku mencintai Abang!" ucap Vio.

Haidar segera mengalihkan pandangan dari Vio. "Kenapa mencintaiku?" tanya Haidar lagi tanpa berani menatap Vio.

"Karena Abang selalu menemaniku saat aku sendirian," jawab Vio. Dia terkenang saat ketika dirinya masih anakanak. Ketidakharmonisan orangtuanya selalu membuatnya sedih. Dia sering menghabiskan waktu merenung di ayunan belakang rumah. Saat itu kadang dia akan menangis sendiri.
"Abang ingat gak dulu saat aku kecil kita adalah tetangga? Saat kita tinggal di kota XYZ."

"Kau tetanggaku?"

Vio mengangguk, "saat itu aku sering menangis di halaman belakang. Tapi Abang selalu datang menemaniku."

"Jadi anak kecil yang saat itu sering menangis adalah kau?" tanya Haidar tak percaya.

Vio mengangguk, "perasaanku pada Abang sudah muncul sejak saat itu. Karena orangtuaku sering bertengkar, kupikir kehidupan pernikahan itu buruk. Tapi bertemu Abang membuatku ingin menikahimu. Makanya meski Abang menolakku berkalikali, aku tak bisa menyerah."
Seorang anak yang kesepian bertemu dengan pria yang bersedia menghilangkan kesendiriannya. Membuat Vio perlahan percaya dan teruz bergantung padanya.
Saat itu mungkin Vio masih kecil dan belum paham tentang perasaannya sendiri, tapi keinginannya untuk menikah dengan pria pujaannya tak pernah berubah. Dulu, saat mereka berpisah hati Vio terasa hancur untuk kedua kalinya setelah pertama ditinggalkan oleh Mamanya. Jadi saat dia bertemu lagi dengan Haidar, dia tak mau melepaskan kesempatan lagi. Dia tak mau kehilangan lagi. Dia tahu dia egois, tapi dia ingin Haidar jadi miliknya.

"Jadi karena itu kamu sangat mencintaiku," gumam Haidar setelah mendengar penjelasan Vio.

"Abang belum bisa membalas perasaanku tak apa. Asal Abang mau berusaha mencintaiku pelanpelan aku sudah senang. Tak perlu buruburu. Aku akan sabar menunggu sampai Abang bisa membalas perasaanku suatu hari nanti. Meskipun harus seumur hidup!"

Haidar menggenggam tangan Vio.
Vio balas mengelus punggung tangan Haidar sambil tersenyum. Sejujurnya dia tak mau membebani Haidar dengan perasaannya.

***

Bersambung.

Bukan Salah Jodoh ✔Where stories live. Discover now