32

2.5K 485 22
                                    

Happy Reading :)
.
.

Tok! Tok!

"Via?"

Esok pagi, Bian mengecek kamar Via. Semalam, gadis itu tidak kunjung kembali. Padahal ia sudah mengirim pesan bahwa Aries dan Oji sudah tidak berada di Oasis. Bian juga mengatakan bahwa keduanya tidak akan datang mendadak seperti semalam.

Namun pesannya sama sekali tidak digubris. Dibuka pun tidak.

Lama menunggu di depan pintu, Bian mulai gelisah. Ia kembali mengetok pintu kamar Via lebih kencang dan lebih cepat dari sebelumnya.

"Livia?" Bian terus mengetok pintu sembari memanggil namanya.

"Semalam Mbak kamar sebelah nggak pulang, Mas Bian."

Alih-alih Via, pemilik kamar seberang kamar Via merespons dengan wajah menahan kantuk dari balik pintu. Bian ingat, dia adalah mahasiswa yang biasa begadang hingga subuh menjelang.

"Dia ... nggak pulang?"

Lawan bicara membalas dengan gumaman malas sebelum kembali melanjutkan tidurnya. Bian kembali mengecek pesan yang dikirimnya. Belum juga terbaca. Kalau sudah begini, Bian harus bertanya pada orang lain.

Bian mengeluarkan ponselnya. Ia hendak menghubungi Leo, tetapi hal itu urung ia lakukan begitu teringat sikap Via selama ini terhadap kakaknya.

Alhasil, Bian menghubungi Via. Kali ini meneleponnya. Beberapa kali panggilannya ditolak hingga berakhir di kotak suara.

Gadis itu mematikan ponselnya.

Dan Bian benar-benar khawatir. Ini kali pertama Via tidak pulang sejak menetap di salah satu kamar kos-kosannya. Tanpa kabar pula.

***

Di lain tempat, Via baru saja mematikan ponselnya karena jengah dengan sikap Bian hingga membuatnya jengkel. Pagi ini, Via sengaja mengikuti kegiatan Azle, yakni melakukan pemotretan untuk persiapan pernikahannya yang kurang dari enam bulan lagi.

"Lo lagi jengkel sama siapa sih, Vi? Sampe matiin hape segala."

Via menoleh. Azle baru saja bergabung dengannya setelah melakukan serangkaian pemotretan pre-wedding dengan kekasih yang dipacarinya sejak zaman kuliah. "Bukan siapa-siapa."

"Hoo," gumamnya sambil mengangguk paham. "Gue kira lo udah punya gebetan baru setelah--" Via memberi delikan tajam hingga Azle memutuskan untuk menutup mulutnya dengan cengiran canggung.

Pemuda itu memiliki kedekatan hubungan yang tidak biasa dengan Via. Sekarang, mereka sekadar berteman tanpa binar yang membutakan mata hati. Tetapi dulu, pertemanan mereka juga melibat perasaan kasih sayang yang istimewa hingga rasa itu hilang dan menciptakan jarak hingga bertahun-tahun lamanya.

Azle mengulurkan tangannya, meminta sesuatu. Via, tanpa bertanya, langsung menyerahkan botol minuman yang sebelumnya mereka beli di minimarket sebelum tiba di pantai. Azle meneguknya hingga habis seperempat. "Buset, panas banget. Siang juga belum padahal," keluhnya sembari mengipas dengan tangan.

"Ini pantai, bukan gunung." Via menimpali dengan nada malas.

"Dan pakaian lo sama sekali bukan pakaian yang ramah buat dibawa ke pantai." Azle membalas. Via memperhatikan pakaiannya. Ia masih mengenakan pakaian kemarin.

"Kenapa? Lo mau beliin gue baju yang lebih pantas buat ke pantai?"

Azle mendecak kesal. "Jelas-jelas duit lo lebih banyak dari gue. Beli aja kalau memang perlu."

"Lah buat apa? Bikin bawaan gue makin berat entar kalau balik."

"Terus, lo kenapa nggak balik ke kosan buat ganti baju? Gue nggak keberatan nungguin lo. Sekalian juga gue pengin ketemu Mas Dera," ujarnya lalu menghabiskan minumannya.

FLAW(LESS)Where stories live. Discover now