23

3.8K 668 42
                                    

Happy reading!
.
.

Via tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak menyebut namanya. Sosok yang sejak di Jakarta menjadi salah satu bahan pemikirannya. Terutama setelah mengetahui dia mengundurkan diri sebelum kontrak kerjanya sebagai konsultan junior SmallHelp di bawah pengawasannya usai.

"RAFI!"

Pemuda yang mengetuk pintu toilet itu langsung terkesiap melihat sosok Via keluar dari pintu toilet yang diketuknya.

"M...mbak Via?"

Rafi jelas kaget. Dia baru saja tiba di Oasis, untuk bekerja sambilan. Saat salah satu pelanggan mengeluhkan toiletnya tidak tersedia karena dipakai pelanggan lain terlebih dulu. Rafi langsung menegur pengguna yang masih berada di dalam. Mana terpikir dia kalau mantan atasannya itu akan berada di sini.

"Kamu," geram Via, menahan emosi. "Kenapa kamu bisa ada di sini?"

"Errr... itu," Rafi tidak bisa langsung menjawab. Pramusaji lain menegur keduanya untuk tidak bercakap di depan toilet. Mereka segera menyingkir dan Via segera menyeret Rafi ke mejanya.

Di meja tempat Via duduk, Bian masih berada di sana. Seorang diri. Seperti yang diharapkan Via, kakaknya sudah pergi dari situ.

"Vi, tadi Leo pamit pulang--lho? Kamu kenapa ke sini, Raf?"

Rafi memasang wajah masam ketika Bian bertanya padanya. "Mas, gue ketahuan sama atasan--mantan atasan gue."

"Atasan?" Bian lantas melirik Via, yang duduk di sampingnya. "Dia atasan kamu di SmallHelp kemarin?"

Rafi mengangguk.

"Yang bikin kamu nggak bisa cuti tuh dia?" Bian bertanya lagi.

"Eh?" Rafi terkesiap. "Bu--"

Kali ini Via mengernyit pada Rafi. Dia langsung menyela dengan nada tinggi. "Apa maksudnya? Kapan kamu minta cuti?"

Hal itu baru kali pertama Via dengar.

"Err, Mas Bian, anu, itu..." Rafi berusaha menyusun kata-kata, tapi dua orang di hadapannya ini mulai bertengkar tanpa mendengar penjelasan Rafi lebih lanjut.

Bian menatap Via, garang. "Aku tahu kamu ini orangnya gila kerja, Livia. Tapi menahannya untuk nggak pulang dan terus bekerja untuk kamu itu lama-lama nggak sehat. Bikin stres. Kamu tahu itu?"

Via mendesah tidak percaya. "Kamu menuduhku nggak pernah ngasih dia waktu buat istirahat? Begitu?"

"Well, aku tahu reputasi kamu di sana kayak apa. Livia Octavira, gila kerja, kerja, dan kerja. Tidak peduli dengan kesejahteraan bawahannya."

Via tidak terima dengan kata-kata Bian. "Sudah? Apa masih ada lagi kebohongan yang mau kamu bagi?"

"Kebohongan? Itu fakta!"

"Aku nggak seperti itu! Aku bahkan tidak pernah memaksa bawahanku untuk bekerja tanpa istirahat! Aku akui, kalau aku memang kelampau keras orangnya."

Via jelas tidak terima dengan perkataan Bian. Baru saja dia menyudutkannya saat membahas masalahnya dengan Dimas, kali ini Bian menyudutkannya karena kinerjanya sebagai atasan Rafi yang dicap buruk.

Gila. Via benar-benar tidak pernah memaksa anggota timnya bekerja sampai tidak mengizinkan mereka cuti.

Lagi pula, Via sama sekali baru dengar soal Rafi berniat untuk cuti sejenak. Terlepas apa alasannya, kalau dia tahu dari awal, sudah pasti Via izinkan.

Namun informasi itu sepertinya dititipkan lewat orang lain. Dan orang itu pasti luput untuk menyampaikan langsung pesan Rafi padanya.

"Kamu pasti bilang ke orang lain kan? Kamu menitipkan pesan kamu itu ke seseorang untuk disampaikan ke aku. Benar begitu, Raf?"

FLAW(LESS)Where stories live. Discover now