33

2.7K 483 16
                                    

Happy reading :)
.
.

Selepas dari pantai, Via tidak langsung kembali ke tempat tinggalnya--kos-kosan Bian. Ada satu tempat yang terlintas di benaknya. Sejak lama, ia kerap mensimulasi kedatangannya ke tempat itu dengan beragam cara. Dia sama sekali tidak mengira akan berkunjung dalam keadaan seperti ini: lusuh, lemah, dan pasrah.

Keterangan yang terukir pada pusara itu mulai memudar. Nama panjang, tempat tanggal kelahiran serta kematiannya. Di usia yang belum genap berkepala dua, bahkan masih pertengahan belasan tahun.

Cinta pertamanya.

Ini kali pertama Via berkunjung ke makam Candra setelah kematiannya. Ia tidak pernah datang saat pemuda itu dinyatakan meninggal. Ketika teman-teman sekelas datang untuk melayat, Via sama sekali tidak ikut. Yang ia lakukan hanya mendekam di dalam kamar, berhari-hari, sebelum ia diseret keluar kamar oleh kedua orang tuanya untuk sekolah.

"Hai Can," sapa Via setelah memanjatkan doa. "Kamu nggak marah kan, kalau aku baru datang sekarang?"

Hening. Tentu saja, tidak ada jawaban balik dari gundukan tanah yang kini penuh dengan rumput.

Ia berdeham. Dalam perjalanan menuju kemari, Via punya banyak cerita yang ingin ia sampaikan. Namun setibanya di tempat, mulutnya mendadak kering. Matanya tiba-tiba gatal, rasa-rasa ingin menangis. Via pikir, ia dapat menatap tempat peristirahatan terakhirnya dengan tegar. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Dadanya mulai sesak, air matanya pun jebol.

Setelah mengatur napas, "Kira-kira aku mulai dari mana dulu ya," gumam Via mencari kata dengan mata berkaca-kaca. "Ah, mungkin kamu penasaran aku selama ini ngapain aja." Ia berhenti sejenak untuk menelan ludah dan menghirup hidungnya yang penuh cairan yang menumpuk. "Sampai-sampai aku nggak pernah datang mengunjungi kamu. Maaf ya, Candra."

Nyaris setengah perjalanan dari usianya kini, hampir empat belas tahun silam. Via masih menyesal kenapa harus memilih waktu dan tempat yang salah untuk berkencan dengan Candra. 

Kalau saja, dia tidak terus mendesak Candra untuk menghabiskan waktu pertama mereka sebagai sepasang kekasih di tempat yang terlalu riskan dijajal bagi pengendara motor pemula.

Kalau saja, dia tidak keras kepala meminta Candra berkendara alih-alih diantar oleh sopirnya.

Air matanya lagi-lagi menitik dengan cepat. Ia tidak bisa menghentikan dirinya untuk bersimpuh, mengusap rerumputan hijau hingga mengelus pusara marmernya.

"Maafin aku."

Via mengatakannya.  Suaranya lirih, dengan air mata yang tidak kunjung berhenti mengalir. Seiring embusan angin menerpa, pipinya yang basah menjadi setengah kering.

Cerita yang ingin ia bagi tidak kunjung keluar dari bibirnya. Ia tidak sanggup membagikannya. Semua pencapaian yang berhasil melampaui ekspektasi masa kecil. Ambisi yang dulu sekadar angan menjadi nyata. 

Pertemanan, perjalanan cinta.

Belum lagi lika-liku kehidupannya: kejatuhan dirinya setelah dikhianati. Kariernya yang tiba-tiba terhenti. Ritme hidupnya yang kini berubah total setelah ditusuk dari belakang oleh rekan sendiri.

"Mungkin, ini balasan yang harus aku terima setelah menghilangkan nyawa kamu," gumam Via sembari mengusap air matanya yang baru saja keluar. "Dia benar. Harusnya, aku nggak maksa buat ketemu jauh dari pusat kota." Via menambahkan dengan lirih, merujuk pada momen yang lama terkubur di ingatan. 

Alasan utama Via tidak pernah datang kemari, meski Bian berulang kali membujuknya. 

"Di sini kamu rupanya."

Suara berat itu menyentaknya. Via menoleh ke arah Bian, yang berdiri di balik punggungnya.

Penampilannya membuat Via tertegun sejenak. Jaket jins biru pucat, kaus hitam, lalu kacamata gagang yang selama ini tidak pernah digunakan.

FLAW(LESS)Where stories live. Discover now