3

5.8K 693 7
                                    

Happy reading 😊

"Makasih ya, Pak!" Ucapnya tulus, sesampainya taksi daring tersebut mengantarnya ke tempat tujuan. Dia langsung menuju lokasi duduk Dimas, yang sudah dibagi sejak sepuluh menit lalu.

Di kedai kopi franchise langganan, tatapan Via menuju dua sosok laki-laki yang tengah berbincang seru. Dia melihat mereka berbincang sambil mengisap batangan di sela jemari. Lawan bicaranya sesekali tertawa lepas. Tawanya menunjukkan isi percakapan tadi sekedar basa-basi menyenangkan hati klien besar.

Melihat itu, Via menyeringai sinis. Dia memutuskan untuk membeli kopi pesanannya sebelum bergabung di meja tersebut: Ice Americano with Triple Shot of Espresso and less sugar ukuran Grande.

Usai mendapatkan minumannya, dia bergabung bersama dua laki-laki yang masih seru berbincang. Bedanya, laki-laki yang tampak lebih muda itu tidak lagi menyalakan rokok. Lawan bicaranya, kembali menyalakan rokoknya yang baru selagi berbincang. Keduanya menyadari kedatangan perempuan yang mereka tunggu sejak dua puluh menit lalu tiba.

"Pak Deri," Via melempar senyum seraya menjabat tangan dengan laki-laki berusia hampir 40 tahun itu ramah. "Maaf terlambat. Hari ini jalanan cukup padat." Ujarnya basa-basi, sebelum duduk di samping laki-laki berkaca mata yang menjadi atasannya.

"Tidak masalah, Mbak Via. Saya bisa maklum kok." Balasnya seraya tertawa. Via diam-diam tersenyum kecut dengan balasan lelaki itu.

Terus terang, Via tidak pernah nyaman berinteraksi dengan klien SmallHelp yang satu ini. Selama satu tahun memegang kendali tim kecil untuk menyelamatkan bisnis kecil klien yang nyaris kolaps, Via harus rela menahan emosi yang kerap lepas kendali usai menghadapinya. Kalau bukan Dimas yang membujuk untuk bertahan, dia sudah pasti membiarkan klien potensial tersebut membatalkan kontrak kerja sama di tengah jalan.

"Tadi ngobrol apa aja?" Bisik Via, mengambil duduk di samping Dimas.

"Biasa, ngomongin anaknya Pak Deri. Katanya lagi seneng nyanyi gara-gara penyanyi korea." Balas Dimas singkat.

Via menganggukkan kepalanya. Mereka kembali mendengar keluhan Pak Deri mengenai keluarganya, yang sejak tadi menjadi topik pembicaraan selingan Dimas dengan Pak Deri.

"...bayangkan saja. Setiap pulang, lagunya itu lagi itu lagi. Ibunya juga sama saja. Bukannya nyetel lagu anak, eh malah ikutan nyanyi sama anak saya. Aduh." Ujarnya sambil mengisap kembali rokoknya yang telah habis setengah. "Kadang saya jadi males pulang. Mending cari hiburan di luar. Gara-gara saya nggak suka sama musik-musik korea itu, bisa berantem sama istri. Jatah saya dalam seminggu bisa tujuh kali, jadi dua kali gara-gara debat."

Dimas dan Via saling lirik. Tatapan Via mengisyaratkan Dimas soal pendapatnya mengenai klien di hadapan mereka yang mati-matian di jaga Dimas.

"Duh. Pokoknya nih Mas Dimas, cari perempuan jangan obsesif sama pria-pria cantik begitulah." Ujar Pak Deri, seraya mematikan rokoknya. "Cari yang kayak Mbak Via ini lah, Mas Dimas. Saya sih kalau jadi Mas Dimas udah pasti gebet Mbak Via jadi istri. Smart, beautiful, hot, sexy--"

"Jadi bagaimana, Pak Deri? Masih mau memakai kami sebagai konsultan bisnis KebabLokal?" tanya Dimas memotong ucapan Pak Deri. Via sudah menatap Dimas dengan tatapan kesal karena seloroh Pak Deri.

Untungnya, Pak Deri langsung kembali fokus dengan topik awal. "Tentu, tentu saja, Mas Dimas." Jawabnya semangat. "Saya sangat puas dengan kerja SmallHelp yang sudah memberi pengarahan terkait bisnis saya. Sampai punya cabang di tempat lain lagi. Sesuatu yang nggak bisa saya bayangkan kalau tidak bekerja sama dengan SmallHelp." Ujarnya diakhiri dengan tawa.

Dimas menganggukkan kepalanya. "Untuk fee-nya--"

"Tidak masalah. Langsung kirim saja ke kantor untuk surat perjanjiannya, Mas Dimas." Masih dengan semangat yang sama, Pak Deri memotong penjelasan Dimas.

FLAW(LESS)Where stories live. Discover now