2

6.6K 750 6
                                    

"Marry me, Livia Octavira."

Di tengah ruangan luas yang menunjukkan penerangan gedung-gedung tinggi yang setara bahkan lebih tinggi dari tempat mereka, lelaki itu berujar. Dia sampai mengubah posisinya. Awalnya, dia berdiri tegap di sisi Via. Kemudian, dia mengubah posisinya berlutut di hadapan Via sambil memamerkan cincin emas putih dalam kotak beludru hitam.

Dimas melamarnya. Dan ini kali pertama Via dilamar seseorang dengan cara romantis. Bukan makan malam di fine dining terkenal atau menyewa tempat yang dihiasi bunga dan hiasan, hanya di tempat kerja mereka yang baru. Headquarter SmallHelp di masa yang akan datang. Dimas baru saja menyewa satu lantai di gedung perkantoran baru, yang dikhususkan untuk perusahaan startup.

Sejak kuliah tahun kedua sampai membangun bisnis startup bersama hingga terancam unicorn, Dimas selalu bersamanya. Saat berusaha untuk menyembuhkan diri usai putus dari pacar pertama, Azhar Lefrandy Ishaq, Dimas dengan sabar menunggu Via hingga mau menerimanya. Dimas, yang paham dengan kondisinya, selalu mengalah dan mengikuti keinginan Via. Dia selalu membuat Via merasa aman dan nyaman.

Dimas adalah sosok sempurna yang mampu mengimbanginya, membuat hidupnya lebih berwarna.

Tapi...

"Marry me, Livia Octavira." Ulang Dimas sekali lagi. "Aku janji, aku nggak akan pernah ninggalin kamu. We'll be together and always be together."

Apa Dimas adalah sosok yang tepat?

Bagaimana kalau dia berakhir seperti Ibu?

"Dim, aku..." Via meletakkan tangannya di atas tutup kotak beludru hitam itu, menutup cincin emas putih bermata berlian. Dia lakukan tanpa ragu. "aku masih belum bisa, Dim. Aku belum bisa nikah sekarang." Via menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Dimas tidak lagi berlutut. Dia meraih kedua pipi Via, menegakkan kepala Via agar menatapnya. "Kamu serius?"

Walau wajahnya berhadapan dengan Dimas, tatapan Via selalu mengarah ke arah lain. Kemanapun, asal bukan mata Dimas yang selalu membuatnya luluh.

"Vi, kita udah bareng dari zaman kuliah. Dari zaman kita satu organisasi sampai kita membesarkan bisnis ini bersama-sama. Kamu yang bikin aku bikin proyek ini jadi bisnis rintisan, Vi. Kalau bukan usul kamu nyuruh aku nyari suntikan dana, mungkin proyek ini cuman nama.

"SmallHelp tidak mungkin berjalan sejauh ini, Vi. And I really need you by my side. Not as business partner or girlfriend, Vi. Please, be my real life partner and spouse, Livia Octavira."

Panjang lebar, Dimas berusaha meyakinkan perempuan yang dicintainya itu untuk memikirkan kembali jawaban sebelumnya. Dia sampai menggigit bibir bawahnya, merapelkan doa agar perempuan di hadapannya itu bisa berubah pikiran.

Via memejamkan matanya. "Maaf, Dim. Aku masih belum bisa."

Dimas menghela nafas dengan kasar. Kali ini, tangannya lepas dari kedua pipi Via. Dengan kepala menunduk lunglai, Dimas kembali berdiri di samping Via, yang masih menundukkan kepala sambil memainkan jemarinya. "Kamu masih ragu sama aku?"

Via lagi-lagi berkata, "Maaf, Dim. Aku benar-benar nggak bisa."

Dimas lama-lama jengah dengan jawaban Via. "Apa sih yang bikin kamu nggak bisa buat nerima aku, Vi? Bisa kamu jelaskan, alasan kamu menolak aku apa?" Dia mendesak agar Via mau bicara.

"Aku belum siap, Dim. Aku belum siap membuat hubungan kita jadi lebih serius."

"Memangnya selama ini, kamu anggap aku apa, Vi?" Dimas masih berusaha menahan dirinya untuk tetap bicara dengan nada lembut. Padahal dalam hatinya, dia teramat jengkel dengan sikap Via. Dimas seolah dipermainkan oleh perempuan yang tengah ditatapnya lekat. Dia telah mencurahkan perhatiannya pada Via bertahun-tahun, tapi yang didapat malah ketidakpastian.

FLAW(LESS)Where stories live. Discover now