9

3.6K 560 17
                                    

Dikebut biar bisa update Rabu, eh pas beres sudah Kamis. Jadilah update-nya tengah malam. Jangan kendor kasih aku semangat ya hehe :')

Happy reading! 

"Livia? Elo nggak masuk?"

Via mengerjapkan matanya berulang kali. Rupanya dia masih berada di ambang pintu kantor Dimas. Pemilik ruangan itu masih duduk di meja, memperhatikan Via yang tidak kunjung bergerak sambil menatapnya. Via bisa merasakan pipinya menghangat gara-gara pikirannya tadi.

Livia Octavira, bisa-bisanya kamu keceplosan berfantasi begitu dengan Dimas! 

"Eh? Oh, oh iya," Via melangkah masuk dan menutup pintu kantor Dimas. Lelaki itu kembali tenggelam dengan pekerjaan, tidak memedulikan keberadaan Via.

Cara Dimas menyambutnya kali ini sangat berbeda dari sebelumnya. Seperti yang sempat dia bayangkan sebelumnya, Dimas biasanya menyeretnya masuk sambil memeluknya erat dan menciumnya tanpa ampun. Kemudian, mereka akan menghabiskan waktu di kantor Dimas atau Via sampai sekuriti gedung berpatroli masuk untuk meminta mereka pulang.

"Elo masih betah kerja sampai jam segini?" Tanya Via, sambil memperhatikan tumpukan file berserak di atas meja dan sebagian sofa di kantor Dimas.

Dimas mengangguk, tanpa memandang Via, "Gue mau liburan sampai Minggu. Makanya kerjaan dikebut, biar nggak banyak kerjaan juga ntar Senin. Oh ya," Dimas menegakkan kepala, sambil menatap satu titik di atas coffee table yang penuh berkas dan sisa makan malam Dimas. "Vi, tolong ambilin file yang di meja dong. Yang nggak pake map." 

Via meraih salah satu tumpukan file tanpa map, terpisah dari tumpukan file lain. "Ini?"

Dimas menatap sekilas, lalu mengangguk. Via langsung menyerahkannya pada Dimas, yang kembali fokus dengan pekerjaannya.

Pemandangan dari kantor Dimas kurang lebih sama dengan kantornya. Beberapa gedung tinggi menjulang di antara hamparan perumahan padat penduduk. Kalau sudah musim penghujan, titik banjir bisa terlihat dengan mata telanjang. Biasanya, tempat-tempat yang langganan banjir adalah pemukiman padat penduduk yang mengepun gedung-gedung tinggi. Salah satu gedung tinggi itu adalah gedung apartemennya, yang bisa dilihat dengan mata telanjang pula saking dekatnya.

Yang membuat Via memperhatikan pemandangan tengah malam ibu kota adalah suara rintik hujan. Mula-mula turun malu-malu, kemudian turun deras tanpa ampun. Tidak cukup di situ, Via juga menangkap cahaya kilat dari kejauhan sebelum mendengar suara yang cukup menggetarkan gedung perkantoran lima puluh lantai. 

Via bersyukur besok adalah Sabtu. Melihat cuaca sangat tidak kondusif untuk pulang ke gedung apartemennya seorang diri, menunggu cuaca tengah malam sedikit bersahabat adalah tindakan yang tepat. Atau, menunggu Dimas pulang untuk menebeng pulang dengan mobil, bisa menjadi pilihan Via. Hanya saja, dia tidak tahu kapan Dimas akan pulang. Lelaki itu begitu fokus menyelesaikan pekerjaannya sampai suara hujan yang memekak pendengaran bisa diabaikannya.  

"Tungguin aja," Dimas tiba-tiba bersuara, "Nanti gue anterin pulang."

Tanpa suara, Via menyetujui tawaran Dimas. Sambil menunggu Dimas, dia mengambil tempat di sofa kosong. Sekalian saja, dia melanjutkan pekerjaannya di sini. Siapa tahu dia bisa menghabiskan waktu seharian tanpa bekerja besok. Mereka larut bekerja dalam keheningan untuk waktu yang cukup lama.

"Lembur buat laporan kinerja perusahaan, Vi?" Tanya Dimas, masih sambil bekerja.

"Yap. Bisnis resto di Bandung yang mau nyoba buka bisnis di Jakarta."

Dimas mengernyit. Salah satu perusahaan yang dimaksud Via adalah bisnis kaferesto yang dia ketahui. "Bukannya itu kerjaan junior lo, Si Rafi?"

Via mengangguk, "Memang. Sialnya," Via menghela nafas, "Rafi nggak masuk hari ini tanpa kabar. Gue dan semua staf junior jadinya bagi-bagi tugas. Soalnya kerjaan Rafi ini buat Senin besok. Takutnya, dia beneran nggak muncul Senin nanti dengan pekerjaannya. Gue inisiatif untuk ngerjain. Buat jaga-jaga aja."

FLAW(LESS)Where stories live. Discover now