27

3.2K 604 108
                                    

Tok! Tok! Masih ada yang nungguin kisahnya Via nggak nih?

Selamat membaca bagian terbaru-nya Via!

.

.

Via merasa hidupnya berubah total setelah tiga bulan berlalu. Rutinitas yang dibangunnya sejak bekerja secara penuh bersama SmallHelp hancur begitu pindah ke Jogja.

Paginya tidak lagi diisi dengan rapat harian membahas progress pekerjaan bersama tim kecilnya: Sasi, Revan, Haifa, dan anggota tim lainnya yang kerap berganti. Tidak ada lagi segelas americano dingin yang dikonsumsinya setiap pagi untuk menahan kantuk. Tidak ada lagi tumpukan laporan dan terjun ke lapangan untuk mengecek implementasi solusi yang ditawarkan timnya untuk klien.

Selama tiga bulan di Jogja, Via memulai hidupnya dengan pola kebiasaan baru.

Via memulai paginya dengan berleha-leha di atas kasur, mengecek media sosial yang selama ini tidak pernah ia kunjungi lebih dari setengah jam ketika sibuk bekerja. Dia tidak lagi bergerak cepat untuk bersiap kerja karena statusnya sebagai pekerja lepas. Via lebih santai memulai pekerjaan barunya, kapan pun yang ia inginkan.

Gadis itu beringsut meninggalkan kasur untuk menyibak tirai jendela kamar yang menghadap jalan raya. Dalam tiga bulan ini, Via terbiasa melihat aktivitas masyarakat sekitar di pagi hari. Kalau ia bangun sekitar pukul lima pagi, tetangga depan rumah berpakaian lurik menyapu dedaunan kering dan sampah bungkus makanan yang menghiasi pinggir jalan. Berselang beberapa menit, jalanan yang kosong mulai ramai dilintasi kendaraan bermotor hingga matahari tidak lagi malu di balik garis cakrawala.

Setelah bertukar cerita dengan Bian sampai menjelang subuh kala itu, ia tidak ragu mengirimkan surat pengunduran diri ke semua chief executive di SmallHelp pada keesokan harinya. Tidak hanya itu, Via juga melepas kepemilikan sahamnya di SmallHelp. Dibantu Bian, Via mencuci bersih tangannya dari perusahaan rintisan yang menyita hampir separuh hidupnya di usia 20an.

Sayang? Memang. Akan tetapi, Via tidak menyesal dengan keputusan yang membuatnya sedikit lega.

Selama tiga bulan di Jogja, Via memantau berita perihal SmallHelp dari portal berita daring. Teman-temannya yang masih menetap di Jakarta juga masih rajin bertukar informasi soal mantan perusahaan dan orang-orang yang bekerja di dalamnya, seperti Dimas dan Dinara. Sasi juga masih menghubunginya sesekali, walau tidak lama. Kemarin, untuk kali pertama Sasi menghubungi via telepon.

Gadis itu menghubunginya lebih dulu untuk mengabarkan acara ijab kabul Dimas dan Dinara yang berlangsung kurang dari sebulan lagi. Berhubung acaranya hanya dihadiri keluarga saja, kabar itu belum terendus media dan baru tersebar di antara staf SmallHelp yang masih bertahan.

"Terus gimana keadaan tim kamu, Si?" Mengabaikan kabar pernikahan Dimas dan Dinara yang akan segera terlaksana, Via memilih untuk membuka topik baru. Setelah sekian lama, Via berani menanyakan kondisi tim terakhir yang ditinggalkannya begitu saja.

Pertanyaan itu malah membuat Sasi tertawa sinis. "Tim aku, Mbak? Udah lama bubar kali."

Hati Via mencelos kala Sasi mengatakannya. "Bubar? Dari kapan?"

"Sejak Mas Dimas mengabarkan bahwa SmallHelp akan bergabung dengan Putera Group," Sasi lalu terkekeh pelan. "SmallHelp yang sekarang bukan SmallHelp yang dulu lagi, Mbak."

"Mbak Dinara langsung menciutkan tim konsultan dan membubarkan tim bekas Mbak dengan memecah kami ke divisi yang berbeda. Revan masih bareng aku di bagian marketing, Haifa di HR. Selang dua minggu setelah Mbak pergi, Mbak Dinara meniadakan program inti SmallHelp dan fokus ke bisnis baru."

Tidak henti-hentinya, Via menghela napas. Kecewa. "Itu semua atas persetujuan Dimas, Si?"

"Tentu, Mbak. Sejak bertunangan, Dinara secara tidak langsung menjadi tangan kanan Mas Dimas. Apa pun ide Dinara, pasti Mas Dimas ngikut. Termasuk meniadakan bisnis inti SmallHelp, yang fokus memberi konsultasi untuk bisnis kecil-menengah dan fokus dalam mengembangkan aplikasi SmallHelp."

FLAW(LESS)Where stories live. Discover now