35

2.1K 432 13
                                    

Happy reading :)
.
.

'Peluang bisnis itu seperti bus, yang datang silih berganti.'

Kutipan itu datang dari Richard Branson, pendiri grup Virgin. Dari ratusan artikel bisnis yang pernah Via baca, kutipan ini sangat menggambarkan kondisinya sekarang. Via membaca kutipan tersebut dari artikel daring yang membahas perihal membuka peluang bisnis, beberapa tahun silam.

Baginya, peluang bisnis yang dikatakan Richard Branson bisa diganti dengan kata peluang saja. Tanpa kata bisnis yang menyertai. Sebab, peluang atau kesempatan, yang katanya hanya datang sesekali, bisa saja datang silih berganti layaknya bus dengan tujuan berbeda.

Hantaman pandemi yang melanda dunia di tahun 2020 menjadi batu loncatan Via untuk mengeksekusi impiannya satu per satu. Di saat banyak orang yang mengalami tekanan secara sosial maupun finansial, bahkan gundah akibat situasi dan kondisi yang membatasi mobilitas banyak orang, Via justru bangkit. Ia kembali menguatkan lahir batinnya untuk menata hidup yang sempat porak-poranda. 

Tentu saja, ia tidak bangkit dengan mudah. Sulit. Setelah tiga bulan kehilangan arah juga rutinitas yang biasa dijalani, Via sempat lupa dengan dirinya. Bukan hanya lupa dengan kegemarannya mengonsumsi kafein, ia asing dengan pekerjaan lamanya. Seberapa keras usahanya untuk bertahan di depan layar laptop, memutar otak untuk membangun kembali koneksi yang sempat terputus, ia bergeming. Bahkan ponsel yang kerap menjadi kawan sejatinya sempat menjadi momok yang menakutkan.

Via sempat takut untuk melangkah.

Sahabat-sahabatnya sepakat bahwa ia berubah menjadi lebih buruk setelah kehilangan segalanya hampir bersamaan: kariernya di SmallHelp dan perasaannya terhadap Dimas. Dua hal itu belum sepenuhnya ikhlas ia lepas sekembalinya dari Jogja. 

Namun, waktu dan tempat memaksanya untuk sadar akan realita. Satu bulan kepulangannya dari Jogja, Dimas dan Dinara resmi menjadi sepasang suami-istri. Tentu saja, Via tidak menghadiri pernikahan mantan kekasihnya dengan mantan anak buahnya itu. Ia mengetahuinya lewat media sosial. Ia nyaris gila melihat senyum tulus Dimas kala berpandangan dengan Dinara. Keduanya tertangkap kamera sembari mengacungkan masing-masing buku nikah dengan balutan pakaian adat Jawa. Via tidak menyangka Dimas semudah itu memberikan tatapan dan senyuman tulus yang dulu hanya untuknya pada wanita lain.

"Wajar kalau dia tersenyum untuk perempuan lain. Semua itu karena kamu menolak lamarannya, Livia."

Sialnya, kalimat itu terus berputar dalam benak. Kalimat yang kerap diucapkan oleh dan untuk dirinya dalam diam. 

"Coba kalau dulu kamu terima lamaran dia, nggak keras kepala nolak."

"Andai waktu bisa kembali ke waktu dia melamar kamu."

Dan sederet kalimat lain bermakna serupa yang terus membayang hidupnya.

Tidak hanya itu. Kepulangan dari Jogja bukan perjalanan yang menyenangkan, apalagi membuat ia kembali segar untuk kembali bekerja dengan semangat baru. Sosok-sosok yang ia temui justru membuka momen-momen lama yang mulai terlupakan.

Kehadiran Bian. Kemunculan Leo. Aries. Ibunya.

Bahkan Oji.

"Le," panggil Via pada Azle, yang datang membantu Via mengosongkan apartemen di Jakarta. Ia dan Azle tengah membereskan ruang kerjanya selagi tunangan Azle pergi mengambil pesanan makan siang mereka di lobby depan. "Jujur deh. Gue ... nyebelin, ya?"

Pertanyaan Via membuat kening Azle berkerut. Lelaki itu sampai meletakkan kembali kotak berisi buku-buku bacaan Via. "Kenapa elo berpikir begitu?"

Via hanya mengangkat bahu. Sebetulnya, ia juga bingung menjabarkan. "Tiba-tiba aja, Le. Kepikiran."

FLAW(LESS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang