5

4.4K 580 2
                                    

Happy reading all 😊

Via menundukkan kepala. Tatapan Dimas tidak dapat dibalas Via dengan matanya. Melemahkan hati. 

Lagi-lagi. Keraguan yang terlihat di mata Dimas. Tangan Via juga dirasakannya bergetar. Itu membuat Dimas semakin mengeratkan genggamannya. 

"Kamu benar-benar masih sayang sama aku atau takut melepaskan aku?"

Kalimat pertanyaan itu pelan saja diucap Dimas, tapi sanggup membuat Via mengangkat kepalanya. Dimas melihat mata Via sedikit berkaca-kaca.

Perempuan itu sedang berusaha menahan diri untuk tidak menangis.

Dimas memegang salah satu pipi Via, mengelusnya lembut. "Terus terang aja, Vi. Kalau kamu begini terus, aku jadi susah. Tingkah kamu kayak yang nggak bisa lepas dari aku, Vi."

Satu tetes air mata berhasil jatuh mengenai jemari Dimas.

"Livia," Panggil Dimas lirih, "are you mind to share what makes you tear?"

Dan tetes air mata Via tidak berhenti sampai di situ. Via tidak mampu menghentikannya. Air matanya luruh karena sikap Dimas. Dia semakin tersedu saat Dimas menariknya ke dalam pelukan. Dimas tidak bisa menghentikannya untuk tidak menangis.

"Atau pertanyaannya aku ubah. Kamu takut aku pergi seperti Ayah kamu, Vi?"

Tangisan Via semakin kencang. Isakan dan butiran air matanya terhalang sempurna oleh tubuh Dimas yang menjulang sedikit lebih tinggi dari tubuh Via. Beruntung, laki-laki itu mengenakan jaket berwarna jeans biru gelap sehingga air matanya tidak menyentuh kemeja biru langit yang dikenakan. 

"Aku... nggak tahu, Dim." Jawab Via di sela isak tangisnya. "Aku bingung."

Dimas mengusap punggungnya hingga Via lebih tenang. Entah berapa lama keduanya saling berpelukan dalam diam. Baik Dimas maupun Via mengabaikan lingkungan sekitar mereka. Riuh dari dalam gymnasium tempat Azle manggung menandakan lelaki itu hendak melakukan encore. Sebentar lagi, para sahabatnya akan segera menyadari kalau dia dan Dimas menghilang.

Via memang tidak tahu dengan isi hatinya sekarang. Dia masih sangat menyayangi Dimas. Dia tidak ingin berpisah dengan Dimas. Via juga yakin kalau Dimas juga merasakan hal yang sama. Tapi hubungan yang ditawarkan Dimas untuk mereka berdua membuat Via takut.

Via akui, lamaran satu tahun lalu membuatnya takut. Terlalu banyak yang dia pikirkan saat Dimas mengajaknya untuk menjalin hubungan lebih serius lagi. Bukan sekedar sepasang kekasih, tapi sepasang sejoli yang hidup bersama sampai maut memisahkan.

Sambil berpelukan, Via memikirkan matang-matang obrolannya dengan Dimas kali ini. Rasanya tidak adil kalau Via tetap mempertahankan Dimas dalam hubungan yang tidak ada kejelasan. Yang dikatakan Dimas ada benarnya. Kalau berada di posisi Dimas saat ini, Via pasti meminta kejelasan perihal hubungannya. 

Pacaran sama halnya dengan bisnis.  Ada kontrak kerja sama antara dua pihak untuk mencapai tujuan yang sama dan tentunya saling untung. Bedanya, kontrak bisnis ditulis di atas kertas dan materai. Sedangkan pacaran, kontraknya bisa dengan komitmen yang tidak akan bosan untuk bersama dalam jangka waktu ditentukan.

Kalau bisnis sudah berat sebelah alias menguntungkan satu pihak saja, tentu tidak sehat. Begitu juga dengan pacaran. Kalau hubungan ini sekedar menyenangkan satu pihak, sudah jelas bukan hubungan sehat yang berakhir bahagia.  

Dan Via menganggap hubungannya dengan Dimas hanya menyenangkan satu pihak semata.

"Aku janji. Ini yang terakhir, Dim."

Ucapan Via membuat Dimas menegang. "Vi, kamu serius?"

"Setelah ini, kamu bebas dari hubungan kita ini. Aku yang akan bilang ke teman-teman aku soal hubungan kita. Kamu nggak perlu ikut menjelaskan." Via melepas diri dan mengambil sedikit jarak untuk menatap Dimas. "After 12, we no longer involve in this kind relationship."

"Livia!" Dimas tercekat. Giliran ia yang tidak ingin mendengar kelanjutan kalimat Via.

"Aku sadar, aku nggak bisa terus-terusan nahan kamu dalam hubungan ini, Dim. You're so kind, perfect man ever. Nggak ada perempuan yang bakal nolak kamu kalau kita putus nanti, Dimas."

"Vi, aku ngomong bukan untuk dengar kata putus dari kamu!" Seru Dimas.

"Lalu apa? Kamu bersedia nunggu aku sampai siap? Alasan apa lagi yang bakal kamu pakai ke Diana soal hubungan kita ini, Dim? Fokus ke start-up? Masih nyaman pacaran? Masih ada ambisi yang harus dicapai sebelum kita nikah?" Via menjabarkan satu per satu alasan yang dipakai Dimas setiap keluarganya membahas hubungan Dimas dengan Via.

"Livia!"

"Dimas, aku nggak bisa egois nahan kamu tanpa kepastian." Tegas Via. Dia tidak lagi berada di pelukan Dimas. "Dengan atau tanpa desakan Diana dan keluarga kamu pun, aku akan bereaksi sama."

"Tapi kita..."

"Cinta itu tidak selamanya harus memiliki, Dim. Kamu pernah dengar kan, kalimat klise itu?" Kalimat Dimas dipotong oleh Via, saat perempuan itu menyeka sisa air matanya. "Mungkin hubungan kita harus berhenti sebagai rekan kerja. Kakak-adik juga kedengarannya bagus."

Dimas menggelengkan kepalanya. "Via, pikirkan lagi--"

"Hubungan kita kayak gini udah satu tahun loh, Dimas. Kamu bilang aku harus memutuskan, iya kan? Ini keputusan aku."

"Via," Dimas kembali meraup tangan Via. "Aku masih belum bisa..."

"Bantu aku ya?" Via mengabaikan rajukan Dimas. "Temani aku ketemu teman-teman aku sama kamu habis ini. Setelah itu, kamu bebas menemui siapa saja."

Dimas mendesah, lalu menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Aku janji, aku akan memperlakukan kamu sebagai bos aku di kantor." Ucap Via sungguh-sungguh. "Memang susah sih, tapi aku bakal coba. Lama-lama pasti terbiasa."

"Kamu... yakin? Kamu yakin kita bisa lakukan ini?" Dimas tidak lagi mengelak terhadap keputusan Via.

Via mengangguk. "Harus dicoba." Via lantas melepas tangan Dimas yang menggenggam jemarinya. "Kamu juga harus biasakan diri untuk nggak begini sama aku, Dim."

"Baik. Aku--"

"Dimas? Via?"

Suara itu membuat Via dan Dimas menoleh. Mereka kenal betul siapa dia. Perempuan itu satu-satunya yang tidak mengetahui hubungan Dimas dan Via sesungguhnya. Salah satu rekan kerja Dimas dan Via di SmallHelp.

"Dina?"

"Dinara?"

Baik Dimas dan Via memanggil namanya dengan cara yang berbeda. Via tidak memanggilnya selengkap Dimas.

"Mas Dimas sama Kak Via ke sini juga?" Sahut Dinara, berada di antara mereka.

"Kamu sendiri?" Tanya Dimas.

"Diajakin Mas Oji. Katanya dia butuh teman buat  nonton." Jawab Dinara.

"Kok kamu sendirian? Oji mana?" Tanya Dimas lagi, berusaha mencari sosok yang dimaksud.

"Masih di dalem gymnasium. Aku keluar duluan karena mau ke toilet." Tatapan Dinara terpaku kala menatap wajah Via. "Loh? Kakak kenapa?"

Via segera mengusap wajahnya. "Oh ini, nggak papa. Aku--Gue kelilipan. He eh, iya, kelilipan."

Dinara menyerahkan tisu yang diambilnya dari pouch kecilnya. "Pake ini aja, Kak. Atau mau bareng aku ke toilet? Kayaknya harus pake air deh biar bekasnya ilang." Saran Dinara, melihat wajah Via masih tersisa di sekitar pelupuk mata.

"A--Gue ke toilet bareng Dinara ya, Dim."

"Oke."

"Oh ya," Via sempat berhenti sejenak, memberitahu Dimas, "Jangan tiba-tiba ilang. Kita belum selesai."

(Bersambung...)


Bagi yang penasaran siapa Azle Ishaq, bisa mampir ke Storial untuk baca kisah Azle dan Fira berjudul Dilettante. Ceritanya masih on-going di sana dan masih gratis dibaca kok (asal punya akun Storial aja. Hehe)

Support karya teman-teman penulis yang nulis #Bidadari Series juga.

Support karya-karya aku dengan vote dan komentar yang mendukung juga.

Have a nice day 😊

FLAW(LESS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang