part 1

470 29 0
                                    

Matahari terbit sebagai tanda berawal nya kehidupan baru, tapi kenyataannya masih banyak orang tenggelam dalam masa lalu yang kelabu.

Cahaya mentari pagi yang masuk melalui celah dinding rumah, telah mengusik tidur ku. Suara indah nan merdu juga terdengar dari arah dapur. Ya, mereka adalah ibu dan adik perempuan ku. Mereka lah hidup dan matiku. Dengan langkah gontai menuju toilet untuk menjernihkan hati dan pikiran Ibu memanggil.

"Rey, hari ini Ibu mau jualan ke pasar pagi. Jadi kamu bisa kan mengantar adikmu ke sekolah?" tanya Ibu.

"Yah Ibu, aku ada kerjaan hari ini,"

"Halah kerja kamu kan cuma keluyuran,"

"Iya, iya!" sahut ku dengan malas.

Setelah urusan di kamar mandi selesai, bergegas menuju kuda besi yang terpakir di sudut rumah. Tuan putri sudah mengoceh tidak karuan.

" bang cepetan donk, aku dah telat ini!" oceh Lora.

"Iya bawel,"

Di tengah jalan.
Mereka di hadang sekelompok preman dari kampung sebelah.

Mereka ingin menuntut balas karena salah satu dari mereka terluka oleh pukulan yang dilayangkan Rey. Lora panik, bukan karna para preman itu melainkan ia akan terlambat ke sekolah. Hari ini ada ulangan yang sangat penting bagi lora. Ia tidak khawatir akan nasib kakaknya itu. Lora yakin jika sang kakak bisa mengalahkan mereka semua.

"Gimana ini bang? Aku bisa telat kalo beginiii,"

"Mau gimana lagi para kecoak ini menghadang kita. Biar abang semprot dulu mereka. Biar pada KO."

"Woi man! Untung loe lewat nitip Lora ya ke sekolah gue lagi sibuk nih."

"Ashiaap!" ucap eman memberi isyarat hormat.

"Begini-ni kalo punya abang preman." ucap Lora menggerutu.

"Mereka banyak banget, mana gue gak ada persiapan lagi." ucap ku dalam hati.

Mereka memegang senjata masing-masing. Dan Rey hanya seorang diri. Sebenarnya Rey sangat jago bela diri tapi jika lawannya sekitar dua puluh orang, apa dia sanggup? Mereka mengepung dari seluruh penjuru. Salah satu dari mereka mencoba memukul kepala Rey tapi untung Rey bisa menghindar.
Ditengah perkelahian, datang beberapa pengendara motor. Rey tersenyum dengan kedatangan mereka.

"Woi, berani main keroyokan sini hadapi kita!"

Tawuran antar preman kampung pun tak terelakkan. Semua warga desa tidak ada yang berani mendekat. Mereka tidak ingin menjadi korban kebrutalan para preman itu.

Tiba-tiba

"Dor" ( suara senjata api)

Datang beberapa mobil polisi. Briptu Faisal yang menembakkan pistol ke udara. Ia sudah hapal betul tingkah para preman kampung itu. Dan polisi juga menembakkan gas air mata agar mereka semua membubarkan diri.
Rey dan teman-temannya pergi ke tempat biasa mereka nongkrong.

"Loe gak papa kan Rey? Sorry kita telat." tanya Joni sahabatnya

"Gak papa, loe semua dateng tepat waktu. Kalo gak udah gue jadiin perkedel tu orang."

"Oya loe udah ke pasar ngambil jatah kita? Gue dah tongpes nih!" ucap joni dengan melemparkan dompetnya.

"Rencananya gue baru mau kesana habis nganter Lora. Tapi malah para kecoak itu bikin rese."

"Ayo, cabut ke pasar!"

Rey dan joni berangkat ke pasar sedangkan yang lain membubarkan diri. Rey melakukan pungli di pasar. Mereka adalah preman pasar daerah tersebut. Tapi Rey tidak pernah melukai para pedagang, mereka mengingatkan Rey pada sang Ibu yang juga seorang pedagang.

Hari beranjak siang. Matahari berada tepat di bawah kepala. Kulit serasa terbakar sinarnya. Rey pulang ke rumah karna panggilan perut minta di isi. Begitu sampai di rumah ia melihat sang Ibu sedang memijat kakinya. Sungguh ia merasa bersalah tapi ia pun tak bisa berbuat banyak karena ia tidak bisa bekerja dengan layak. Rey hanya lulusan SMP.

Semenjak sang Ayah dipanggil sang pencipta Rey jadi tulang punggung keluarga dan tidak lagi bersekolah.

Diurungkannya mengambil piring, ia menghampiri sang Ibu. Diletakkannya kaki sang Ibu di pangkuannya, ia pun memijat kaki ibu.

Walaupun Rey seorang preman tapi ia sangat menyayangi orang yang telah melahirkan nya dua puluh lima tahun yang lalu itu.

"Maaf Rey ya Bu, belum bisa bahagiain Ibu dan Lora." ucap Rey lirih.

"Sudahlah nak kita jalani aja apa yang ada. Itu tandanya kita bersyukur dan gak banyak mengeluh." Ibu berucap dengan menitikkan air mata.

"Kamu harus segera mencari jodoh, kamu mau sampai kapan seperti ini. Ibu sudah tua, Ibu ingin menimang cucu Rey. Umur gak ada yang tau."

"Ibu jangan ngomong begitu, Ibu harus berumur panjang,"

"Insya Allah nak, makanya kamu cepat lah menikah."

"Rey laper Bu mau makan." Rey mengalihkan pembicaraan.

Rey hanya mengaduk-aduk nasinya. Ia masih memikirkan ucapan sang Ibu. Bukannya ia tidak mau menikah tapi mana ada seorang wanita yang mau dengan seorang preman pengangguran.

"Assalamualaikum!" Lora berucap salam.

"Waalaikum salam" jawab sang Ibu.

"Bu, tau gak tadi Abang......" Lora tidak bisa melanjutkan kata-kata nya karna sang kakak telah menutup mulutnya.

"Loh, kok ditutup mulutnya?" tanya sang Ibu pada Rey.

"Abang kenapa Lora?" tanyanya pada Lora.

"Heheh gak papa Bu, cuma main-main aja kok." ucap Rey sambil menarik tangan adiknya.

"Abang!" pekik Lora. "Kenapa mulutku Abang tutup?" lanjutnya.
"Sst...!" Rey meletakkan jarinya di mulutnya.

"Jangan kencang-kencang nanti Ibu dengar. Kamu jangan ngadu sama Ibu soal tadi pagi. Abang gak mau Ibu khawatir," jelas Rey.

"Oops! Iya maaf lupa..."

"Ya udah sana ganti baju gak usah bawel." ucap Rey sambil menyentil kening Adik yang ia sayangi.

"Wek wek wek" Lora berlari kecil meninggalkan dengan menjulurkan lidahnya.

Keesokan harinya Rey dikejutkan dengan kedatangan sahabat kecilnya. Yang ia kenal semenjak masih duduk di sekolah dasar. Tapi sahabatnya itu pergi merantau ke kota untuk mengadu nasib. Penampilannya sungguh memprihatinkan. Dulu Jejen lah yang lebih modis dibandingkan dengan para pemuda di kampung mereka. Tapi sekarang berbanding terbalik.

Hidup itu bagaikan siang dan malam. Kadang bersinar-sinar bagaikan cahaya matahari dan kadang redup bagaikan cahaya bulan. Jadilah dinding yang kuat ketika masa-masa sulit. Dan jadilah matahari yang tersenyum ketika masa-masa indah.

Jangan membandingkan hidup kamu dengan orang lain. Karena tidak ada perbandingan antara matahari dan bulan yang bersinar saat waktunya tiba.

"Jejen, kamu disini? Kapan sampai? Sini masuk nak!" ucap Bu Ainun mempersilakan Jejen masuk ke rumah.

Jejen mematung.

"Ayo, sini ngapain malah bengong!" Rey berkata sambil menarik tangan sahabatnya itu.

"Rey, gue boleh minta tolong gak?" lirih Rey nyaris tak terdengar.

"Pasti gue bantu, tapi sekarang loe makan dan istirahat dulu."

"Ini makanlah!" Bu Ainun menyerahkan sepiring nasi.

"Dan ini handuk, setelah makan mandi lalu istirahat." ucap Bu Ainun kemudian.

Jejen begitu dengan lahapnya menghabiskan sepiring nasi. Dia seperti orang yang berhari-hari tidak makan.

---------
#event25samuderaprinting

Cinta Sang Mantan NapiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang