part 9

89 5 0
                                    

"Mas, mas Rey! Ada apa kok malah melamun." tegur ustaz Reza yang ternyata mereka seumuran.

"Eh i-i-iya ustaz, maaf. Saya hanya merasa kasian padanya." ucap Rey dengan jujur.

"Iya, Umi dan Abi Yusuf cukup lama membimbing Claudya hingga sekarang ini. Claudya gadis yang pendiam. Beberapa bulan belakangan ini Claudya sudah ceria dan mau berbaur dengan para santriwati." tutur ustaz Reza sambil menaikkan sorban yang merosot ke bahunya.

"Terima kasih, ustaz. Maaf sudah mengganggu."

"Sama-sama mas. Tidak apa-apa."

"Kalo gitu saya permisi mau ke kamar dulu." lanjutnya.

"Iya silahkan!"

Di dalam kamar Rey melangkah ke lemari. Ia merogoh ke sela-sela bajunya untuk mengambil sebungkus rokok yang ia sembunyikan disana. Di pesantren ini ada peraturan dilarang merokok untuk semua penghuni pondok tanpa terkecuali.

Rey pergi ke belakang asrama. Ia duduk di bawah pohon mangga yang cukup rindang. Tempat itu sudah menjadi tempat favorit Rey kala ia sedang ingin sendiri.

Rey mengeluarkan sebatang rokok yang ia sembunyikan di dalam kantong celana di balik kain sarungnya. Ia menghisap rokok secara perlahan dan menghembuskan asap ke udara. Benda yang berada di celah jarinya ia biarkan habis tertiup angin.

Rey terlihat makin frustasi setelah mendengar penjelasan tentang Claudya dari ustaz Reza. Kembali ia hisap rokok itu dan menghembuskan asap ke udara hingga menguar entah kemana. Ia bertekad ingin melakukan pendekatan pada Claudya.

Pagi hari setelah sholat subuh Umi Nissa menyuruh Claudya untuk berbelanja ke pasar.

"Ndok, Umi minta tolong boleh?" tanya Umi ragu.

"Umi kok ngomong gitu, tentu aja boleh. Apa itu Umi?"

"Claudya bisa kan pergi ke pasar? belanja kebutuhan dapur, untuk keperluan para santri. Mbok Ijah yang biasanya belanja, tapi beliau lagi sakit."

"Bisa dong Umi. Jadi apa aja yang harus dibeli?" Claudya mengambil secarik kertas siap untuk mencatat.

"Ini daftar belanjanya." Umi menyodorkan catatan belanjaan pada Claudya.

"Ini banyak banget, Umi! Gimana bawanya?" Claudya mengerutkan keningnya.

"Saya bisa antar Umi." potong Rey yang tanpa sengaja mendengar percakapan mereka.

"Eh, nak Rey, betul bisa antar Claudya belanja ke pasar?"

"Insya Allah bisa Umi."

"Emang kamu bisa bawa mobil?"

"Jangankan bawa mobil, angkat mobil pun saya bisaa..." canda Rey.

"Nak Rey bisa aja..." Umi Nissa menutup mulutnya menahan tawa.

"Tapi kalian tidak bisa pergi berdua saja. Nanti bisa menimbulkan fitnah. Nak Rey ajaklah temanmu untuk ikut dengan kalian ke pasar."

"Siap Umi, nanti saya ajak Rizal untuk ikut."

"Nah, sayang masalah terselesaikan. Nak Rey datang. Bagaikan datang tak dijemput pulang tak diantar."

"Eh, jelangkung dong saya. Umi bisa juga bercandanya." tawa rey pecah.
Umi Nissa dan Rey saling pandang dan akhirnya tertawa bersama. Lain halnya dengan Claudya. Di dalam hati sebenarnya ia keberatan jika harus diantar oleh Rey. Pasalnya ia belum nyaman dengan orang yang belum ia kenal dekat.

"Ya udah, sekarang pergilah nanti kesiangan."

"Inggih, kami brangkat ya Umi, Assalamualaikum."

Mereka bertiga berjalan ke tempat dimana mobil Claudya di parkirkan. Claudya menghembuskan nafasnha kasar. Ia kesal dengan ulah Rey.

"Kamu ngapain sih, pake nawarin segala buat anterin aku? Kamu nguping ya?" cerca Claudya.

"Gak, siapa juga yang nguping. Kebetulan aku lewat gak sengaja denger pembicaraan kalian. Lagian kan aku cuma mau nawarin jasa." bantah Rey.

Rizal yang mendengar pertikaian kecil antara Rey dan Claudya hanya bisa diam.

"Halah, sok baik kamu." Claudya membuang muka ke sisi yang lain.

"Aku kan memang cowok yang baik dan tidak sombong." ucap Rey dengan tertawa kecil.

Claudya mempercepat langkahnya. Ia tidak mau mendengar ocehan dari Rey. Claudya tidak mengenali pria yang baru saja ia ajak bicara. Karena penampilan Rey sekarang lebih bersih dan rapi beda dengan Rey yang dulu.

"Claudya...tunggu, jutek amat jadi cewek. Nanti jauh jodohnya looh."

Claudya melirik dengan tajam. Matanya mengisyaratkan untuk diam.

"Ayo, Zal nanti si nyonya ngomel-ngomel lagi."

Rey dan Rizal juga mempercepat langkah mereka agar tak ketinggalan jauh dengan Claudya. Setibanya di mobil mereka berselisih lagi. Siapa yang akan menyetir mobil. Persis seperti kucing dan tikus yang tak pernah akur. Akhirnya Claudya pun mengalah dia duduk di samping Supir sedangkan Rizal duduk di belakang supir.

Di dalam mobil Rey curi-curi pandang dengan Claudya. Rizal berpikir jika Rey menyukai Claudya. Dan rey juga tau jika Claudya tidak menyukainya. Tapi ia tak akan pernah menyerah dan terus berusaha mendekati Claudya apapun yang terjadi.

Selama perjalanan ke pasar mereka hanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Rey mencoba mencairkan suasana dengan membuat lelucon berharap Claudya bisa tertawa.

"Claudya, kamu tau gak persamaan kamu sama pakaian?"
Claudya bergeming, ia tak menghiraukan pertanyaan Rey yang konyol. Pandangannya lurus ke depan sedangkan Rizal seperti nyamuk yang menggangu mereka berdua.

"Kamu tau gak, Zal?" Rey melirik ke spion tengah melihat penumpang yang ada di belakangnya.

"Gak tau mas, emang apa jawabannya?"

"Jawabannya sama-sama kusut. Hahahah..." tawa Rey menggema.

"Gak lucu tau!" pekik Claudya.
Hal itu makin membuat Rey tertawa melihat wajah Claudya yang cemberut.

'15 menit kemudian'

"Zal dimana pasarnya? Masih jauh gak?"

"Gak mas, itu di depan pasarnya!" Rizal menunjuk ke arah depan.

"Kalian masuk duluan ya! Aku mau parkir dulu." ucap Rey sebelum Rizal dan Claudya turun.

Ternyata tempat parkir mobil agak jauh dari pintu masuk pasar. Dan Rey harus memutar untuk bisa masuk ke area parkir mobil.
-------

Cinta Sang Mantan NapiWhere stories live. Discover now