part 10

77 5 0
                                    

Tadi sebelum turun Rizal memperingatkan kalo pasar ini rawan pencopetan. Jadi harus ekstra hati-hati.

Dari kejauhan Rey melihat seorang pria yang mendekati Claudya. Dari gerak geriknya sungguh mencurigakan. Bergegas Rey menghampiri Claudya. Ia tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Tapi sayang, sebelum Rey sampai dompet Claudya sudah berpindah tangan. Claudya tidak menyadari itu.

"Copeeet...!" teriak Rey lantang sambil berlari. Hal itu mengundang perhatian warga dan membuat suasana pasar menjadi ricuh.

Pencopet panik karna aksinya diketahui. Ditambah massa yang begitu banyak. Ia berlari ke arah belakang pasar. Dengan sigap Rey pun mengejarnya. Warga pun tak mau kalah mereka membawa alat yang dapat melumpuhkan pencopet itu.

"Heh, copet... Mau kemana kamu, berhenti jangan lari."

Sekilas Rey melihat ada mangga yang tergeletak di bawah pohon mangga. Secara spontan ia melemparkan mangga itu tepat mengenai punggung si pencopet.

"Argh" ia kesakitan dan jatuh tersungkur ke tanah.

"Kurang ajar loe ya, berani-beraninya nyopet di tengah keramaian begini. Terlebih lagi loe nyopet orang yang salah." Rey berhasil menangkapnya dan menghadiahi satu kali pukulan.

Tak berselang lama para warga berdatangan. Mereka beramai-ramai menghajar pria itu. Warga sangat kesal karena ia sangat meresahkan masyarakat. Ia babak belur dihajar massa.

"Stop..stop bapak-bapak sudah cukup bisa mati nih orang!" Rey menenangkan para warga yang emosi.

"Biar saja mas, sudah sangat meresahkan warga kampung sini dia!" teriak salah satu warga.

"Kita gak boleh main hakim sendiri bapak-bapak. Kita serahkan pada pihak berwajib aja. Dan polisi akan mengusut kasus ini dan bisa menangkap komplotan pencopet lainnya."

"Ya sudah, kalo gitu kita seret ramai-ramai ke kantor polisi." pekik yang lain.

Pencopet itu diseret ramai-ramai ke kantor polisi terdekat. Sedangkan Rey kembali ke pasar dengan membawa dompet Claudya yang sebelumnya sudah di poto sebagai bukti di kantor polisi.

Di pasar Claudya dan Rizal menunggu dengan cemas. Mereka tidak menyangka akan jadi korban pencopetan.

"Gimana ini mbak? Apa saya harus nelpon Umi aja kalo kita habis kecopetan."

"Jangan dulu, kita tunggu mas Rey sebentar lagi. Semoga dia berhasil mengambil dompet mbak lagi. Kasian Umi nanti malah khawatir."

"Insya Allah ya mbak."

"Nah, itu mas Rey udah balik, mbak!" Rizal menunjuk dimana Rey berada.

"Mana Zal? Mbak gak lihat!" Claudya celingak celinguk mencari keberadaan Rey.

"Itu yang di belakang pohon mangga yang lagi jalan kesini."

"O iya, alhamdulillah..."

"Maaf ya nunggu lama. Nih, dompetnya coba di cek dulu masih utuh gak isinya." Rey memberikan dompet Claudya pada pemiliknya.

"Alhamdulillah masih utuh isinya. Makasih ya mas Rey udah bisa balikin dompet ku."

"Sama-sama, ya udah ayo belanja nanti kita terlambat pulang. Jangan bikin Umi khawatir."

"Lah mas, terus pencopetnya gimana?" tanya Rizal penasaran.

"Tenang, dia udaj diamankan ke kantor polisi sama warga setempat."

"Ehm, gimana kalo kita bagi-bagi tugas aja? Takut kelamaan kita nanti di pasar. Udah siang ini." Claudya mengusulkan saran.

"Boleh tuh, jadi apa tugas kita?" Rey menerima usulan Claudya.

"Rizal beli telur 5 kg, minyak goreng 5 bungkus ukuran 2 liter, sama gula putih 7 kg. Dan ini uangnya. Trus mas Rey beli beras 2 karung ukuran 30 kg sama buah-buahan aja. Ini uangnya. Sedangkan aku beli sayur mayur, ikan dan bumbu-bumbu. Setelah semua siap kita ngumpul lagi di sini. Ok?" Claudya membagi-bagi tugas.

"Ok!" mereka semua berpencar untuk tugas masing-masing.

"Semoga Umi tidak marah dan khawatir karena kami terlambat pulang," gumam Claudya.

Selang tiga puluh menit Rizal dan Rey sudah kembali ke titik temu dengan membawa belanjaan masing-masing. Mereka masih menunggu kedatangan Claudya.

'Krukuuuk' suara perut minta diisi.

"Zal, kamu lapar gak? Mas lapar nih!. Apalagi tadi habis olahraga lari jadi perut keroncong minta diisi." Rey mengelus-elus perutnya.

"Iya nih mas, tadi juga belum sempat sarapan di pondok."

"Gimana kalo sambil nunggu si nyonya balik kita makan bakso. Tuh...." Rey menunjuk warung bakso yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri dengan dagunya.

'Di warung bakso'

"Mas pesan bakso dua mangkok sama es teh manis dua gelas ya!" pesan Rey pada penjual bakso.

Jam dinding di rumah Umi Nissa sudah menunjukkan pukul 10.00. Tapi Claudya dan yang lain belum juga pulang. Tidak ada satu pun dari mereka yang membawa ponsel. Hal itu membuat Umi Nissa khawatir.

"Ya Allah, mereka kok yo belum pada pulang to. Dari jam enam tadi sampai sekarang belum pulang. Udah empat jam mereka belanja. Semoga tidak terjadi apa-apa."

Umi Nissa begitu nampak sekali khawatir. Ia menunggu di teras rumahnya. Bolak balik menunggu dengan cemas.

"Umi kenapa kok gelisah begini? Dari tadi gak bisa duduk dengan tenang. Apa gak capek mondar mandir?" ustaz Yusuf bertanya pada istrinya.

"Umi khawatir Bi. Claudya dan yang lain sampai sekarang belum pulang dari pasar. Seharusnya mereka gak selama ini kalo ke pasar."

"Insya Allah mereka akan baik-baik saja. Mungkin jalan macet."

"Memang Jakarta ada macet dimana-mana. Ini kan di kampung Bi, mana ada macet."

"Kita berdoa saja. Semoga mereka pulanh dengan selamat tidak kurang satupun."

Sedangkan di pasar Claudya sibuk mencari Rey dan Rizal. Ia hanya menemukan belanjaan mereka di titik temu.

Semilir angin yang sejuk, awan hitam yang bergelayut di langit menandakan akan turun hujan. Claudya bergegas mencari dua pria itu.
-------

Cinta Sang Mantan NapiWhere stories live. Discover now