part 7

109 5 0
                                    

"Alhamdulillah, akhirnya sampai juga. Gimana perjalanannya lancar?" tanya Umi Nissa lembut.

"Agak macet tadi ustazah,"

"Gak usah panggil ustazah, panggil aja Umi dan ini Abi Yusuf." Umi Nissa memperkenalkan suaminya.

"Iya ust, eh..Umi," ucap Claudya gugup.

"Ya sudah ayo masuk, kamu pasti capek setelah perjalanan jauh."

"Iya Umi, sebentar saya ambil koper dulu di mobil." pamit Claudya untuk mengambil kopernya di mobil.

Claudya membuka bagasi dan menurunkan barang-barangnya. Sebelum masuk rumah  ada seorang santriwati yang datang.

"Assalamualaikum, maaf Umi panggil saya?" tanyanya.

"Iya, malam ini Umi tidak bisa mengajar. Karna Umi sedang ada tamu. Beritahukan pada ustazah Mia untuk menggantikan Umi ya!"

"Iya Umi." jawabnya singkat.

"Ya sudah, Itu saja yang ingin Umi sampaikan."

"Saya permisi Umi, assalamualaikum" pamit gadis itu berlalu.

"Ayo, Umi tunjukkan kamar kamu."

Nissa menggandeng tangan Claudya berjalan masuk ke rumah. Sedangkan Abah harus kembali ke masjid.

Di rumah itu ada tiga kamar, dua kamar sudah terisi sisa satu kamar lagi dan itu sekarang yang akan ditempati oleh Claudya.

"Ini kamar kamu Claudya." Nissa membukakan pintu kamar.

Kamar yang cukup luas untuk kamar tamu. Semua sudah dipersiapkan olehnya. Kamar bernuansa putih, bersih dan harum. Ada meja dan lemari di ujung kamar.  Di sebelah lemari ada jendela yang menghadap ke asrama putri.

"Dan ini kamar keponakan Umi. Sekarang dia masih kuliah di kairo.
Sebentar lagi wisuda dan akan langsung ke sini." tanpa ditanya Umi Nissa menjelaskan penghuni kamar sebelah. Itu sudah menjawab pertanyaan Claudya di dalam hatinya.

"Silahkan kamu beristirahat. Oh ya, Claudya sudah makan?"

"Alhamdulillah sudah Umi tadi di jalan."

"Ya sudah, kalo ada apa-apa jangan sungkan panggil Umi ya?" Nissa tersenyum dengan tulus.

Claudya menghempaskan tubuhnya yang lelah. Ia menghembuskan nafasnya dengan kasar. Pikirannya menerawang jauh. Ia sedih karna harus meninggalkan Riana.

Sudah hampir satu tahun Claudya berada di pondok pesantren. Ia makin dekat dengan keluarga Umi Nissa dan ustaz Yusuf. Mereka sangat menyayangi Claudya seperti anak mereka sendiri. Kehadirannya menjadi obat rindu akan anaknya yang sudah tiada.

"Sini nak Umi mau ngomong!" Umi Nissa melambaikan tangannya saat Claudya hendak ke dapur.

"Iya Umi." ia menghampiri Umi dan Abi Yusuf tang sudah menunggunya.

"Claudya betah di sini kan?" tanya Umi.

"Betah banget Umi. Claudya senang disini banyak teman. Claudya juga bisa melupakan masa lalu. Di sini Claudya merasa lebih dekat kepada Allah, Umi."

"Claudya kamu harus menata hidup kamu lebih baik. Bersihkan hati dan pikiran mu dari dendam masa lalu. Itu akan membuatmu lebih tenang. Umi tahu setiap malam kamu masih sering melamun. Jangan tanamkan dalam hati akan dendam.

"Claudya mau kan jadi anak Umi dan Abi?" tanya ustazah Nissa sambil membelai lembut kepala Claudya yang tertutup hijab.

"Iya nak, kami merasa kesepian di rumah yang besar ini tanpa kehadiran seorang anak. Tadinya kami punya seorang putri. Dia seumuran sama Claudya. Tapi penyakit menggerogoti tubuhnya. Dan Allah lebih sayang padanya. Umi sangat terpukul kehilangan putri kami satu-satunya. Jadi kami harap Claudya mau menjadi putri kami." terang ustaz Yusuf.

Claudya menatap calon kedua orang tuanya itu secara bergantian. Ia bagai menemukan keluarga baru, kehidupan baru. Manusia boleh merencanakan tapi Allah lah yang berkehendak. Claudya sangat bersyukur bertemu dengan keluarga yang baik.

"Tentu Umi tentu Claudya mau," Claudya mengusap belir bening yang meluncur di kedua pipi mulusnya.

"Alhamdulillah, terima kasih sayang. Umi janji akan melakukan yang terbaik untuk Claudya." Umi Nissa memeluk erat anak gadisnya itu.

'Beberapa tahun kemudian'

"Assalamualaikum Bu," sapa Rey di ambang pintu.

"Lora, coba kamu liat siapa iti yang datan, tangan Ibu kotor ini." Bu Ainun menunjukkan tangannya yang masih dilumuri tepung.

Lora beranjak dari duduknya untuk membukakan pintu.

"Abang! U-udah pulang?" Lora terkejut dengan kedatangan Rey. Karna seingat dia masih ada beberapa tahun lagi Rey baru keluar dari penjara.

" Ibu...! Abang udah pulang...." pekik Lora memanggil Ibunya.

Dengan tergopoh-gopoh Bu Ainun menghampiri anak-anaknya. "Ya Allah Rey, kamu sudah keluar?" ucap Bu Ainun terharu melihat kepulangan putra sulungnya. Ia lupa jika tangannya masih kotor. Hingga membuat baju Rey kotor penuh dengan adonan tepung.

"Iya Bu, alhamdulillah Rey selama di dalam LP berbuat baik jadi Rey dapat remisi Bu, potongan masa tahanan."

"Alhamdulillah." ucap mereka serempak.

"Trus sekarang rencana mu apa nak? Jangan pernah kau ulang lagi yang sudah-sudah."

"Insya Allah gak buk, Rey mau ke pondok pesantren. Rey mau memperdalami agama islam.
Sekaligus menenangkan hati dan pikiran Rey Bu."

"Ha, kamu yakin? Alhamdulillah ya Allah. Ibu akan merestui jalanmu jika itu di jalan Allah. Ibu tidak akan melarangmu." pondok pesantren mana?

"Pondok pesantren di jawa timur Bu. Sewaktu di sel, seorang sipir memberikan alamat pesantren disana Bu. Ada kenalannya disana makanya Rey disarankan untuk mondok disana." terang Rey.

"Kapan berangkatnya Bang?" Lora menimpali.

"Insya Allah secepatnya."

Dengan menaiki bus jurusan jombang jawa timur Rey memantapkan langkah menuju jalan yng diridhoi Allah. Butuh beberapa jam untuk sampai disana. Di dalam bus Rey sebangku dengan seorang gadis yang badannya cukup berisi.

"Maaf permisi mbak, ini bangku saya. Bisa mbaknya geser kesana?"

"Mbak, mbak! Emang aku mbak mu opo?"  geram si gadis.

"Eh maaf, bisa geser? Mas aja yang disana! Aku gak mau duduk disitu."
Karena tak mau ribut akhirnya Rey Pun mengalah.Si gadis bangkit dari duduknya untuk membuka jalan.

Tempat duduk sempit serta suara dengkuran yang sangat mengganggu membuat Rey tak bisa memejamkan mata meski sangat mengantuk.

Perjalanan masih cukup jauh, tapi ia sudah merasa seluruh tubuhnya kaku karna sulit untuk bergerak.
Rey pun memutuskan pindah tempat duduk di samping supir bis itu.

Sepanjang perjalanan sang kernet dan supir mengajaknya bercerita. Hal itu membuat Rey tidak merasa kesepian.
Sepuluh jam sudah ia lalui , sebentar lagi Rey sampai ddi tempat tujuan.

Rey bersiap-siap dengan barang bawaannya. Di ujung jalan sudah terlihat gerbang pesantren. Ia memberitahu sang supir untuk berhenti tepat di depan gerbang pesantren. Kini di hadapannya terpampang gapura bertuliskan pesantren Darul Ulum.
--------

Cinta Sang Mantan NapiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang