part 6

112 9 0
                                    

Kalo jam segini biasanya Bu Ainun belanja mbak dan kalo anak perempuannya sekolah." jelas Ibu muda itu, sambil memandangi dari dari atas sampai bawah tubuh Claudya.

"Ooh gitu ya mbak, makasih ya, kalo gitu saya permisi dulu." pamitnya.
Sebelum melangkah ada seseorang yang datang.

"Nah, itu Bu Ainun sudah pulang." ia menunjuk ke arah pintu.

"Makasih ya Bu" Claudya sedikit membungkukkan sedikit badannya.

"Sama-sama mbak."

"Siapa ya tu cewek, cantik banget. Tumben ada cewek cantik yang nyari Bu Ainun." gumamnya.

Ibu itu berlalu meninggalkan tempatnya. Sementara itu di rumah Rey.

"Bu Ainun, kenalkan saya Claudya." tanpa basa basi ia memperkenalkan diri.

"Iya, maaf nyari siapa ya?"

"Ibu tau siapa saya? Saya adalah anak dari orang yang telah anak Ibu lenyapkan."

Bu Ainun membekap mulutnya. Ia tidak percaya jika orang yang dihadapannya kini anak dari orang yang telah rey bunuh.

"Ya Allah, saya atas nama Rey anak saya. Saya minta maaf atas apa yang sudah Rey dan teman-temannya lakukan pada keluarga mbak. Saya betul-betul minta maaf. Dan saya juga tau dengan meminta maaf tidak akan mengembalikan semuanya. Tapi saya benar-benar menyesal karna telah gagal mendidik anak saya." Bu Ainun bersujud di hadapan Claudya.

"Anak Ibu tidak akan pernah keluar dari penjara. Apa salah keluarga kami pada kalian? Mengapa mereka berbuat seperti ini?"

"Saya mohon maaf atas semua perbuatannya. Saya tau anak saya bersalah dan harus mendapatkan hukuman. Tapi dia sudah bertaubat. Saya mohon maafkanlah dia. Itu akan menjadi jalannya untuk yang lebih baik."

"Segampang itu kah meminta maaf setelah apa yang anak Ibu lakukan? Tidak, saya tidak akan pernah memaafkan anak Ibu dan teman-temannya. Dan ingat hukuman panjang menantinya."
Gawai Claudya berdering ada nama suster yang memanggil.

"Apa! Ok saya kesana sekarang!" Claudya panik setelah mendengar penjelasan dari suara sebrang.

Claudya setengah berlari menuju mobil yang ia parkir tau jauh dari rumah Bu Ainun. Dengan kecepatan sedang ia menjalankan mobilnya.
Sesampainya di rumah sakit, kondisi Riana memburuk setelah seorang polisi datang memberi tahukan perihal sang Ayah.

"Kenapa bisa begini sus? Tadi sewaktu saya tinggalkan Riana baik-baik saja."

'Tadi ada polisi datang mbak. Polisi itu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Dan ia juga memberitahukan kalo Ayah mbak sudah meninggal. Itu yang membuat mbak Riana seperti ini." terang suster yang menjaga Riana.

"Maafin mbak Ri, mbak gak bisa terus terang. Ini yang mbak takutkan." sesal Claudya.

"Assalamualaikum," sapa seseorang dari balik pintu.

"Waalaikum salam, bunda!" Claudya mencium tangan Hanah, Ibu angkatnya.

"Makasih Bun, udah mau datang." Claudya memeluk hanah.

"Bagaimana keadaan Riana?" tanya Hanah.

"Dia koma lagi Bun, padahal sebelumnya Riana sudah siuman. Ia shok mendengar kabar soal Ayah." bulir bening meluncur dari pipinya yang mulus.

"Sabar sayang, Allah tidak akan menguji hambanya diluar batas kemampuannya. Pasti ada hikmah dari setiap ujian. Kamu harus kuat demi Riana. Jika kamu lemah siapa yang akan menguatkannya." Hanah sangat menyayangi Claudya seperti anaknya sendiri.

"Jangan penuhi hati dengan amarah dan dendam itu hanya akan membuatmu tidak tenang. Itu penyakit hati sayang, biarkan Allah yang membalas semua perbuatan mereka. Tata hidupmu dengan lebih baik." Hanah memberi wejangan kepada Claudya.

"Balas dendam memang dapat memuaskan hatimu nak, tapi itu tidak dapat mengubah keadaan menjadi lebih baik. Semakin kamu membenci, mengganggu dan memaki semakin membuat dia yang kamu benci jadi begitu penting dalam hidupmu."

Claudya melangkah ke jendela samping ranjang Riana. Ia memandang lurus ke depan. Pikirannya menerawang ke masa-masa indah bersama Ayah dan Ibunya. Dahulu sebelum ajal menjemput sang Ibu, Claudya sangat dekat Ibunya. Seperti hal nya ia dekat dengan Hanah. Sosok Hanah bisa mengisi kekosongan hati Claudya akan kerinduan seorang Ibu.

Setelah Ibunya dipanggil yang maha kuasa Claudya pergi meninggalkan Ayah dan Adiknya. Ia diam seribu bahasa. Semua yang Hanah katakan benar adanya. Tapi hatinya memang sudah dipenuhi dengan dendam.

"Jadi aku musti gimana Bun? Aku gak tau harus bagaimana, sekarang hanya tinggal kami berdua. Aku gak mau terjadi apa-apa dengan Riana Bun."

"Hilangkan semua dendam dan rasa benci dari dalam hatimu. Bersihkan hati dan pikiran dari penyakit hati. Itu akan membuat hati damai. Bunda ada kenalan seorang teman. Ia mengelola sebuah pesantren di daerah jawa timur. Pergilah kesana nak, disana kamu akan belajar agama dan bisa lebih mendekatkan diri pada sang khalik. Kamu juga bisa menenangkan hati dan pikiran." usul Hanah.

"Tapi Bun, bagaimana dengan Riana?"

"Kamu gak usah khawatir, Riana akan jadi tanggung jawab Bunda."

"Disana kamu akan bertemu dengan ustazah Nissa. Ia tidak mempunyai anak, Bunda yakin ia akan membimbingmu ke jalan yang lurus. Bunda sudah memberitahunya kalo kamu akan kesana."

"Baiklah Bun, jika itu yang Bunda inginkan. Claudya yakin itu yang terbaik untuk Claudya. Makasih ya Bun, Bunda sudah mau menerima Claudya dan Riana." ucap Claudya dengan memeluk Hanah.

"Sama-sama sayang. Jaga diri baik-baik disana. Semoga kami juga bisa menemukan jodohmu disana." Hanah menggodanya.

"Iiis, Bunda apaan sih," Claudya tersipu malu.

Hanah dan Claudya saling melempar senyum. Hanah memang tau cara membuat Claudya tersenyum. Claudya beruntung bisa bertemu Hanah. Mereka seperti pasangan Ibu dan anak pada umumnya.

Mentari pagi yang masuk begitu menyilaukan mata si pemilik yang enggan beranjak dari buaiannya. Setiap matahari terbit membawa hari baru dengan harapan baru untuk awal yang baru. Kenangan itu seperti embun, tanpa kita pinta, matahari dengan caranya akan membawanya pergi.

Claudya membuka matanya. Ia teringat dengan nasehat Hanah untuk segera pergi ke pesantren di jawa timur. Ia mempersiapkan diri dan mempersiapkan segala keperluan yang ia butuhkan bila berada disana. Ia mematut di depan cermin. Dari pantulan cermin nampak seorang wanita dengan pakaian serba tertutup menggunakan hijab ungu. Sungguh ia terlihat anggun.

Claudya hanya membawa sebuah koper dan tas sandang nya. Ia tidak ingin membawa banyak barang. Karena ia hanya ingin fokus di jalan Allah. Ingin mencari ketenangan batin yang bergejolak akan dendam dan amarah.

"Ternyata aku cantik juga kalo begini," Claudya berputar-putar di depan cermin.

"Aduh, bisa kesiangan ini. Mana jam kerja pasti macet. Aku harus cepet-cepet nih," dengan tergesa-gesa Claudya menarik kopernya melangkah menuju mobilnya.

Ia membuka bagasi belakang untuk menyimpan kopernya. Setelah terjebak beberapa jam dalam kemacetan akhirnya Claudya sampai di tempat tujuan.

Sebelum masuk area pondok pesantren. Ia harus melewati gapura bertuliskan Pondok Pesantren DARUL ULUM. Pesantren ini tepatnya di jombang jawa timur.

Mobil melaju dengan perlahan, para santri berlalu lalang. Lingkungan pondok masih di daerah pedesaan suasananya begitu asri dan sejuk.

Claudya menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang berada di tak jauh dari masjid.
Ia disambut hangat oleh ustazah nissa dan suami yang sebelumnya sudah diberitahu jika ia sudah sampai di pondok.
-------

Cinta Sang Mantan NapiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang