part 5

130 10 0
                                    

Selama di dalam penjara Rey dihantui rasa bersalah yang amat mendalam pada sahabat dan perempuan yang ia lenyapkan. Ia sangat menyayangkan sikap Eman yang ingin melindunginya. Pria bertato itu kini menyesal atas semua perbuatannya.

Karena Ia, kini Eman harus menjalani hukuman yang sangat berat.
Setiap malam ia selalu bermimpi tentang sosok perempuan yang ia lenyapkan.

Peristiwa itu selalu berputar dalam pikirannya seperti sebuah rekaman film. Rey tersiksa karena harus jauh dari keluarganya.

Rey berjanji pada dirinya sendiri. Jika nanti keluar dari penjara , ia akan berubah dan akan menebus kesalahan dengan meminta maaf kepada keluarga korban.

Di dalam sel penjara Rey tidur hanya beralaskan tikar tipis tidak ada kipas angin apalagi sebuah tv. Di ruangan sel tahanan Rey ada 15 orang. Alhasil hanya bisa menekuk kakinya setiap ia tidur.

Bu Ainun semenjak Rey masuk penjara ia membuka usaha catering lewat media sosial yang dibantu  Lora anak perempuannya. Jadi ia juga bisa memantau anak gadisnya itu. Ia khawatir jika sesuatu terjadi pada Lora karena ketiadaan Rey saat di penjara.

"Hieh....kesel kesel kesel!" Lora mencampakkan tas sekolah ke kasur.

"Kamu kenapa? Pulang-pulang kok ngomel!" tanya Bu Ainun heran.

"Lora kesel Bu, orang-orang ngejek keluarga kita. Mereka bilang keluarga kita keluarga napi, keluarga perampok. Semua ini gara-gara bang Rey. Udah kerjanya gak jelas juntrungannya. Malah bikin ulah kayak gini. Kan Lora malu Bu." Wajahnya merah karena menahan amarah bukan merah karena sedang jatuh cinta.

"Sabar Lora, Abang kan udah jelasin kalau dia berbuat demikian karna ingin membantu Jejen."

"Iya Bu, tapi kan gak harus Seperi ini."

"Kita doakan saja supaya Abang mu bisa segera bertaubat. Tidak akan pernah mengulanginya lagi."

"Aamiin...mudah-mudahan saja Bu."

"Sekarang ganti baju, cuci tangan trus makan Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu."

"Ini kan juga kesukaan Abang Bu!"

"Iya, sengaja Ibu masak banyak hari ini kita jenguk Abang mu ya!" ajak Bu Ainun.

Lora mengangguk semangat karena ingin menemui Rey. Sudah beberapa hari mereka tidak menjenguk Rey di penjara. Lora ingin meluapkan apa yang ia rasakan hari ini, agar Rey tau apa yang Ibu dan adik nya alami.

"Di rutan inilah Abang mu harus melewati beberapa tahun kedepan."

Ucap Bu Ainun setelah mereka sampai di depan rutan.
Mereka saling pandang dan bergandengan tangan berjalan ke pos pemeriksaan. Semua bekal yang mereka bawa tak luput dari pemeriksaan.

"Ibu, Rey kangen sama Ibu." Rey menangis terharu melihat Ibunya datang meenjenguk.

"Maafin Rey ya Bu, belum bisa bahagiain Ibu, belum bisa buat Ibu bangga. Rey janji gak akan pernah mengulanginya." lanjutnya kemudian.

"Sudah-sudah, kita lupakan masa lalu. Yang penting sekarang kamu sudah berubah menjadi lebih baik." Bu Ainun mengusap lembut punggung tangan Rey.

"Bang Lora mau verita l, kalau..." ucapan Lora menggantung karena kode Bu Ainun untuk tidak melanjutkan kata-katanya.

"Kami pulang dulu ya nak, ini Ibu bawakan makanan. Kamu bisa makan bersama temanmu di dalam sana." potong Bu Ainun.

"Eh, iya bang kamu pulang dulu ya."

Hampir setiap hari Rey menerima sebuah surat yang isinya sebuah peringatan bisa dibilang sebuah ancaman. Ia tidak tau siapa yang mengirim surat-surat itu. Rey mulai merasa terganggu dan khawatir jika ini menyangkut dengan keluarganya.

Isi surat:

'Pembunuh, pembunuh.
Aku gak akan pernah maafin kamu yang sudah melenyapkannya. Suatu saat nanti aku akan menuntut balas.
Aku tau kalo kamu yang membunuh bukan temanmu itu.
Tunggu giliranmu.'
****

Semua surat-surat itu Rey simpan, jika keluar nanti ia berencana akan mencarinya. Dan ingin meminta maaf, walaupun peluang dimaafkan sangat kecil. Tapi Rey akan tetap melakukannya.

Sementara itu di rumah sakit. Dua orang gadis berhadapan satu sama lain. Tapi sayang hanya salah satu dari mereka terbaring tak berdaya.

Beruntung nyawanya bisa diselamatkan dari peristiwa yang telah merenggut nyawa sang Ayah.

"Ri, aku janji akan menuntut balas atas semua yang orang itu lakukan pada Ayah kira. Kamu harus kuat, aku gak mau sendirian Ri." ucapnya dengan memegang tangan Riana.

Semua memang sudah menjadi kehendak yang maha kuasa.
Tangan Riana bergerak, perlahan Riana membuka matanya. Ya, Riana telah sadar dari koma nya.  Tangisnya pecah seketika melihat saudara kembarnya siuman setelah melewati masa kritisnya. Ia berlari keluar ruangan untuk memanggil dokter.

"Alhamdulillah mbak Riana sudah melewati masa kritisnya. Kita harus menunggu hasil lab hari ini. Jika hasilnya baik akan kami pindahkan ke ruang perawatan." terang dokter yang merawat Riana.

"Tapi jangan banyak diajak berbicara, ia masih harus banyak istirahat."

"Terima kasih dok,"
Riana tersenyum. Wajah pucatnya masih menghiasi parasnya. Walaupun begitu ia masih terlihat cantik. Selang oksigen  terpasing di hidung mancungnya.

"Ayah gimana mbak? Gimana keadaan Ayah? Riana mau lihat Ayah," lirih Riana nyaris tak terdengar.

Claudya diam, ia tak tau harus berkata apa. Ia tidak mau membuat adiknya sedih dan anfal. Sedangkan ia baru siuman. Ya dia adalah Claudya Anggraeni saudara kembar Riana Anggraeni.

"Mbak ditanya kok malah bengong." Riana menarik-narik ujung baju Claudya.

"Eh, kamu bilang apa tadi? Mana yang sakit? Apa mau ku panggilkan dokter? Ee..Mau makan? Mau makan apa? Mau aku bawain novel kesukaan kamu? Apa mau...!" Riana mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Mbak ngomong apa sih? Satu-satu nanya nya," Riana tersenyum geli melihat tingkah kakaknya.

"Sudah, kamu jangan banyak ngomong dulu. Kamu harus banyak istirahat. Aku mau berangkat kerja dulu ya. Nanti aku kesini lagi. Ok!" Claudya bangkit dari tempat duduknya.

"Akan ada suster yang nemenin kamu 24 jam disini. Jadi gak usah khawatir." lanjutnya.

Riana tersenyum simpul, menganggukan kepalanya. Sebelum pergi Claudya memeluk Riana dengan erat. Itu ia lakukan karna rasa bersalahnya tidak bisa memberitahukan yang sebenarnya.

Claudya berniat mengunjungi rumah orang yang telah melenyapkan sang Ayah, yang sebelumnya alamat ia dapatkan dari temannya yang seorang polisi.

Setelah menempuh perjalanan selama dua jam ditengah kemacetan akhirnya Claudya sampai di rumah Rey. Rumah berdinding kayu ber cat biru itu nampak lengang.

'Tok-tok-tok' Claudya mengetuk pintu.
Sepi tak ada seorang pun di rumah itu. Ia mencoba bertanya kepada orang yang melintasinya.

"Permisi, saya mau tanya. Penghuni rumah ini kemana ya? Kok sepi?" tanya Claudya pada seorang Ibu muda.
---------

Cinta Sang Mantan NapiWhere stories live. Discover now